
Bunga di Kaki Gunung Kawi bag IX Bunga di Kaki Gunung Kawi bag X Bisikan Arwah - Abdullah Harahap Lembah Merpati - Chung Sin Panasnya Bunga Mekar Bag II
Saudagar itu benar benar tidak berdaya. Para perampok itupun telah memilih satu dari kedua petinya dan siap untuk membawanya, sementara saudagar itu hampir menjadi pingsan karenanya.
Beberapa orang kawan perampok itupun kemudian menggotong peti yang telah dipilih berisi barang-barang yang sangat berharga, meskipun peti yang ditinggalkan itupun berisi barang-barang berharga pula.
“Terima kasih Ki Sanak” berkata perampok itu “kami akan segera meninggalkan tempat ini. Mudah-mudahan anakmu segera berhenti menangis. Dan kau sendiri juga berhenti menangis. Kau tidak perlu kecewa karena barang-barangmu ini kami bawa, karena tidak ada gunanya”
Saudagar itu tidak mampu untuk menjawab. Jantungnya bagaikan berhenti berdetak ketika para perampok itu kemudian meninggalkan rumahnya dengan mengusung satu diantara kedua petinya.
Ketika para perampok itu sudah berada di halaman, maka salah seorang dari mereka masih berpesan “Dengar Ki Sanak. Jangan membuat gaduh, agar kami tidak kembali untuk mengambil petimu yang satu lagi”
Saudagar itu tidak menjawab. Ia hanya dapat memandangi saja para perampok itu hilang dibalik pintu regol.
Namun dalam pada itu, demikian para perampok itu pergi, tiba-tiba saja saudagar itu telah melompat kearah keempat orang penjaga rumahnya sambil berteriak “Bunyikan kentongan. Cepat”
Keempat orang penjaga rumah sudagar itu saling berpandangan. Tetapi mereka masih belum bergerak sama sekali.
“Cepat. Bunyikan kentongan” berkata saudagar itu hampir berteriak. p>
“Kami terikat” sahut salah seorang dari para penjaga rumahnya.
Saudagar itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian dengan tergesa-gesa ia melepas ikatan orang-orangnya yang membelenggu tangan mereka.
“Cepat“ saudagar itu sudah berteriak.
“Apakah ada artinya?“ bertanya salah seorang penjaganya.
“Biar orang-orang seluruh padukuhan ini terbangun” jawab saudagar itu.
“Tetapi perampok itu sudah jauh” jawab orangnya yang lain.
“Tidak peduli. Cepat lakukan” bentak saudagar itu. Salah seorang dari para penjaga itupun kemudian dengan segan pergi ke regol. Sejenak kemudian terdengar suara kentongan di regol halaman saudagar kaya itu memecah sepinya malam.
Ternyata suara kentongan itu telah mengejutkan orang-orang yang mendengarnya. Satu dua orang yang tidak mengerti apa yang terjadi telah menyambung dengan bunyi kentongan pula.
Sejenak kemudian padukuhan itu telah dipenuhi suara titir. Beberapa orang telah berlari-larian keluar rumahnya. Namun ketika mereka mendengar, bahwa rumah saudagar kaya yang kikir itulah yang dirampok, maka seorang demi seorang telah masuk kembali ke dalam rumahnya. Suara kentonganpun semakin lama menjadi semakin jarang, sehingga akhirnya hanya beberapa kentongan sajalah yang masih berbunyi. p>
“Biar sajalah” desis seseorang “saudagar kaya itu sekali-sekali memang memerlukan pelajaran”
“Orang itu sangat kikir” sahut yang lain “Aku tidak mau mempertaruhkan diri untuk malawan para perampok bagi saudagar kikit itu”
“Tetapi jika kita tidak berbuat apa-apa. maka para perampok itu akan mengulangi lagi perbuatannya di padukuhan ini, seolah-olah kami semuanya adalah pengecut” berkata seseorang.
“Jika pada saat lain terjadi pada orang lain, kita akan bertindak” sahut seorang anak muda.
Ternyata tidak seorangpun yang menaruh perhatian terhadap peristiwa yang baru saja terjadi. Karena itu, justru suara kentonganpun menjadi lenyap, kecuali suara kentongan di regol saudagar kaya itu sendiri.
Tetapi, justru di padukuhan saudagar kaya itu suara kentongan berhenti, di padukuhan-padukuhan lain, suara itu sudah menjalar, padukuhan terdekat yang mendengar suara kentongan itu, telah menyambutnya dan mengembangkannya. Demikian sahut-menyahut sehingga di beberapa padukuhan suara kentongan itu masih bergema.
Dalam pada itu. sekelompok pengawal Pakuwon Kabanaran yang telah mendapat tempaan khusus itu sama sekali tidak menghiraukan suara kentongan itu. Seandainya laki- laki dari beberapa padukuhan akan mengejarnya, maka merekaliduk akan menjadi gentar.
Namun demikian Mahisa Bungalan memperingatkan “Ingat. Kika kalian harus berhadapan dengan sekelompok orang Pakuwon Watu Mas, kalian tidak boleh bertindak semena-mena. Kalian memang mempunyai kelebihan dari mereka, tetapi tidak sepantasnya kalian kehilangan pengamatan diri dan berbuat benar-benar seperti segerombolan perampok”
Para pengawal itu mengangguk-angguk.
Namun selagi orang- orang dari padukuhan tetangga mencari keterangan, maka para pengawal yang merampok itupun menjadi semakin jauh.
“Dalam pada itu, saudagar kaya yang kikir itu menjadi heran, bahwa tidak ada seorangpun yang datang kepadanya untuk membantu. Para penjaga regolnyapun melihat bahwa orang-orang padukuhan itu tidak menghiraukannya sama sekali. Behkan merekapun telah kembali masuk kedai rumah masing-masing.
“Kenapa mereka berbuat begitu gila” teriak saudagar kaya yang kikir itu.
“Aku tidak tahu” jawab penjaganya.
“Mereka sama sekali tidak mengenal terima kasih“ geram saudagar kikir itu “tanpa aku, mereka akan mati kelaparan di musim paceklik. Aku adalah orang yang memberi pinjaman kepada mereka sehingga anak-anak mereka tidak mati kelaparan. Namun dalam keadaan begini mereka sama sekali tidak bersedia membantu aku”
Para penjaga rumah saudagar itu sama sekali tidak menyahut. Tetapi mereka mengerti, bahwa sebenarnyalah saudagar itu adalah orang yang sangat kikir. Jika saudagar itu bersedia memberikan pinjaman, maka pada saatnya, tetangga-tetangganya harus mengembalikan berlipat ganda. Tanpa kemungkinan itu, maka saudagar itu akan sampai hati menolak permintaan pinjam seseorang untuk membeli obat bagi kelurganya yang sakit keras.
Namun dalam pada itu, peristiwa itu adalah satu peringatan yang sangat keras bagi saudagar yang kaya tetapi sangat kikir itu. Ia sudah kehilangan sebagian dari simpanannya. Sementaa tetangga-tetangganya sama sekali tidak menghiraukannya ketika rumahnya dirampok oleh segerombolan orang.
Bagaimanapun juga ia harus menilai keadaannya. Meskipun sulit baginya untuk merubah perangainya itu.
Sementara itu, maka Mahisa Bungalan dan para pengawal dari Pakuwon Kabanaran yang telah menjadi sekelompok perampok itu telah menuju keperbatasan. Sejenak kemudian merekapun telah memasuki hutan kecil yang memisahkan Pakuwon Kabanaran dan Pakuwon Watu Mas, sambil membawa satu peti harta benda saudagar yang sangat kikir itu.
Perampokan itupun segera tersebar ke padukuhan-padukuhan di perbatasan. Para Pengawal di Pakuwon Watu Mas yang mendengar hal itupun segera berdatangan. Seperti perampokan yang pernah terjadi, maka peristiwa itupun telah membuat pemimpin pengawal menjadi marah.
Tetapi ada sesuatu yang menarik perhatian para pengawal. Pada peristiwa yang pertama, sebagian dari harta benda yang dirampok telah bertebaran di pendapa dan halaman rumah, sehingga pemiliknya masih sempat mengumpulkannya. Sementara itu pada peristiwa yang kedua, para perampok itu hanya membawa satu dari dua peti yang seolah-olah sudah tersedia. p>
“Menarik sekali” berkata pemimpin perampok “Aku kira hal ini jarang sekali terjadi. Para perampok itu tidak akan berbelas kasihan meninggalkan satu peti dari dua peti yang sudah diketemukannya. Mereka juga tidak akan menyebar perhiasan di halaman seperti yang pernah terjadi.
Para pengawal hanya dapat mengangguk-angguk saja. Tetapi mereka sama sekali tidak dapat membayangkan apa yang telah terjadi.
Ketika sekali lagi pemimpin pengawal itu menemui para perampok yang bersarang di hutan-hutan di tlatah Watu Mas, maka merekapun mendapat jawaban serupa sebagaimana pernah dikatakan oleh pemimpin perampok itu.
“Tidak mungkin terjadi” berkata pemimpin perampok itu “Orang-orangku bukan orang-orang gila. Meskipun mereka orang- orang kasar, tetapi mereka memegang teguh janji. Kami tidak akan melakukannya di daerah Watu Mas sendiri”
“Jika demikian, aku minta kalian membantu kami“ berkata pengawal itu “mau tidak mau. Jika kalian tidak bersedia, maka kami akan tetap menuduh kalian terlibat ke dalam perampokan yang aneh itu”
Pemimpin perampok itu tidak dapat membantah. Ia sadar, untuk mengatasi kejahatan, maka para pengawal terbiasa mempergunakan orang-arang dari lingkungan yang sama. Karena itu maka katanya “Kami akan membantu. Tetapi kalian harus mempercayai kami. Tanda-tanda dari perampokan itupun jauh berbeda dari yang kami lakukan. Kami tidak akan pernah menyisakan barang-barang yang telah kami dapatkan di rumah itu, atau sebutir permatapun yang jatuh dari tangan kami”
“Kalian tidak perlu bertindak sebagaimana kami lakukan. Tetapi bantu kami mengawasi daerah ini. Beri laporan kepada kami apa yang kalian ketahui kemudian. Kamilah yang akan bertindak atas para perampok itu. berkata pemimpin pengawal itu.
“Tetapi jangan curigai kami dalam hal ini” berkata pemimpin perampok itu. p>
Demikianlah, untuk menghilangkan segala kecurigaan, maka para perampok itu terpaksa bekerja keras untuk ikut serta memecahkan teka-teki tentang perampokan itu.
Sementara itu, kegelisahan mulai merayapi hati rakyat Watu Mas. Mereka mulai dibayangi oleh ketakutan di malam hari. Lebih-lebih orang orang yang memiliki sedikit kekayaan diperbatasan.
Namun dalam pada itu, ternyata Akuwu di Watu Mas memiliki perhitungan yang cermat. Meskipun ia belum menyatakan dengan terbuka, tetapi ia sudah berbuat dengan beberapa orang pemimpin di Pakuwon itu.
“Orang-orang Pakuwon Kabanaran telah mendendam kita” berkata Akuwu itu “tidak mustahil bahwa mereka telah melakukan sesuatu untuk membalas dendam”
“Mungkin sekali” sahut seorang Senopati “karena itu, maka pengawalan di daerah yang rawan itu harus diperkuat”
“Bagaimana sikap Pangeran Indrasunu?“ bertanya seorang Senopati yang lain.
“Masih belum jelas. Tetapi ia sudah bersedia melibatkan diri dengan pengikut-pengikutnya yang terdiri dari beberapa padepokan yang besar. Senopatinya terjadi perselisihan terbuka, maka ia mempunyai kekuatan untuk ikut serta menghancurkan Kabanaran. Pangeran Indrasunu pernah menduduki kota Pakuwon untuk beberapa lamanya. Tetapi karena ia memang tidak ingin merebut kekuasaan, selain sekedar memberikan peringatan saja kepada Akuwu Suwelatama” jawab Akuwu di Watu Mas. Namun kemudian “Tetapi kita tidak tergantung kepada Pangeran Indrasunu. Kita mempunyai sikap dan kekuatan. Menghadapi Kabanaran, Watu Mas sama sekali tidak gentar. Bahkan kita akan mempunyai alasan untuk menentukan sikap atas perbatasan di kemudian hari jika perang terjadi. Kami yakin akan dapat mengalahkan Kabanaran. Sementara itu kitapun akan dapat mempertahankan kebenaran sikap kita, seandainya kita harus mempertanggung jawabkannya di hadapan para penguasa di Kediri, bahkan Singasari sekalipun”
Para Senopati mengangguk-angguk. Watu Mas memang cukup kuat. Sementara para pemimpin di perbatasan menganggap bahwa para pengawal di Kabanaran sudah gelisah dan kehabisan akal menghadapi sekelompok perampok. Apalagi jika mereka benar-benar berhadapan dengan Watu Mas”
Namun dalam pada itu, Akuwu Suwelatama yang menyetujui sikap Mahisa Bungalan untuk mengadakan balasan atas sikap Akuwu di Watu Mas tentang perbatasan, telah memperhitungkan pula segala kemungkinan yang terjadi. Karena itu, maka dengan sungguh-sungguh para pengawal di Kabanaran telah meningkatkan kemampuan mereka. Bahkan Akuwu Suwelatama telah memanggil anak-anak muda yang bersedia untuk ikut serta menjadi pengawal Pakuwon. Mereka yang menyatakan dirinya bersedia, telah di masukkan ke dalam sebuah barak untuk ditempa menjadi seorang pengawal yang tangguh.
Sementara itu, Mahisa Bungalan telah membuat kebijaksanaan tantang rencananya. Harta benda yang didapatnya dari perampokan itu, sebagaimana pernah dibicarakan, akan di tukarnya dalam ujud yang lain. Kemudian harta benda itu akan dikembalikannya kepada orang- orang di sekitar saudagar yang kikir itu.
Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalanpun tidak menolak pendapat, bahwa sebagian dari harta benda yang akan dijual itu akan dipergunakan untuk membeayai tugas-tugas mereka di perbatasan, jika Akuwu Suwelatama menyetujui. p>
Ketika seorang penghubung menghadap, ternyata Akuwu tidak berkeberatan. Namun Akuwu berpesan, bahwa hal itu tjdak akan menenggelamkan tugas pokok mereka. p>
Beberapa orang dalam tugas sandi telah memasuki daerah Watu Mas untuk menjual perhiasan-perhiasan itu. Meskipun mereka harus berhati-hati, namaun para petugas sandi itu dapat melakukan tugas mereka dengab baik. Mereka berhasil menghubungi saudagar-saudagar emas dan permata yang dengan gelap mengusahakan keuntungan yang sebesar-besarnya. Mereka tidak segan-segan merupakan bentuk perhitungan- perhitungan yang dibelinya diluar pengamatan para pengawal, karena merekapun tahu, bahwa barang- barang itu adalah barang-barang yang didapat dari tindakan terlarang.
Dengan ujud yang berbeda, maka mereka dapat menjual barang-barang berharga itu dengan bebas.
Hasil perjuangan itulah yang kemudia dipergunakan oleh para pengawal dari Kabanaran untuk menolong rang-orang yang terlalu miskin yang hidup disekitar saudagar kaya yang telah terlalu miskin yang hidup disekitar saudagar kaya yang telah dirampok. Meskipun tidak dengan semata- mata. Namun ada juga yang dengan teus-terang memberikan uang kepada orang kesrakat karena mereka telah terlibat hutang terlalu besar. Betapapun juga hal itu dilakukan dengan diam-diam, namun akhirnya tercium juga oleh bebahu padukuhan. Karena tu, maka merekapun telah mendatangi beberapa orang yang telah mendapat uang dari orang-orang yang tidak dikenal itu.
”Siapa mereka?“ bertanya bebahu padukuhan itu.
Orang-orang itu hanya menggeleng saja. Seorang ibu tua erkata “Mereka datang dengan tiba-tiba. Mereka mengetahui kesulitan hidup yang aku derita dengan dua orang