Cerita Silat | Tarian Liar Naga Sakti | by Marshall | Tarian Liar Naga Sakti | Cersil Sakti | Tarian Liar Naga Sakti pdf
Bunga di Kaki Gunung Kawi bag X Bisikan Arwah - Abdullah Harahap Lembah Merpati - Chung Sin Panasnya Bunga Mekar Bag II Panasnya Bunga Mekar Bag III
Tetapi, tidak ada satu kalimatpun yang dilontarkannya
karena dia menunggu reaksi dan komentar Wong Jin
Liu sendiri atas pertarungan 10 jurus yang sangat
mendebarkan tadi. Sungguh, bahkan Asha Vahista
sendiripun yang sudah menghadapi Liong Sin Kong
Ciang tadi tahu benar bagaimana kehebatan dan
mujijatnya ilmu pukulan baru Wong Jin Liu. Asha
Vahista paham betul jika Wong Jin Liu terpukul
menerima kenyataan betapa dia tidak mampu
jangankan mengalahkan Ceng Liong, bahkan
mendesakpun tidak mampu dalam 10 jurus
pertarungan tersebut. Dan diapun percaya, bahwa
sama seperti Wong Jin Liu, dia tidak akan mampu
memenangkan pertarungan itu nantinya. Dan ini luar
biasa.
Dengan prihatin dan kasihan Asha Vahista
memperhatikan Wong Jin Liu yang masih
menerawang pandangannya. Sama dengan Ceng
Liong, dia tidak mau mengganggu tokoh hebat ini.
Bukan apa-apa, mereka tahu betul jika Wong Jin Liu
sudah menghabiskan banyak tahun berlatih dan
berlatih, dan ketika keluar, dia menemukan
kenyataan betapa ilmunya tetap saja masih bukan
yang TERHEBAT. Ironisnya lagi, dia bertemu lawan
yang mengalahkan “kesombongannya” dengan usia
lawan yang masih sangat muda dan lebih pantas
menjadi anaknya. Secara psikologis, pukulan terhadap
emosi dan kesombongan Wong Jin Liu memang telak.
Itulah sebabnya baik Ceng Liong maupun Asha
Vahista belum berani untuk mengusik lamunan dan
terawangan mata kosong Wong Jin Liu. Ya, dia masih
terpukul. Sangat terpukul dan karenanya
pandangannya menjadi menerawang kosong.
Lama, cukup lama Wong Jin Liu termenung dalam
kesendiriannya sampai akhirnya perlahan-lahan dia
mulai menemukan dirinya. Dan pada akhirnya, diapun
menoleh dan memandang wajah Kiang Ceng Liong
berganti-ganti dengan memandang Asha Vahista.
Setelah berusaha sekuatnya, pada akhirnya dia
memiliki cukup kemampuan untuk menghadapi fakta
itu dan akhirnya terdengar dia berkata:
“Sobatku, agaknya tidak perlu babak selanjutnya
diteruskan. Meskipun telah menekuni kembali ilmuku
dan memperdalam ilmu yang lain, tetapi setelah 25
tahun, meskipun memang benar kemajuanku sangat
pesat, tetapi rasanya masih belum mampu untuk
mengunggulimu. Karena itu, aku memutuskan akan
kembali ke perguruan dan jika masih berjodoh kita
akan kembali berjumpa suatu saat nanti. Meskipun
belum tentu juga engkau mampu mengalahkan anak
muda ini dalam 10 jurus, tetapi akhirnya aku mulai
mengerti bahwa masih ada beberapa kekuranganku
yang mesti kubenahi. Karena itu, kita berpisah sampai
disini …….. dan engkau anak muda, pada saatnya
akupun ingin mencarimu untuk melanjutkan
pertarungan kita yang cuma 10 jurus pada hari ini.
Sampai berjumpa kelak ……”
Selesai berkata, Wong Jin Liu menjura dan memberi
hormat kepada Asha Vahista yang memilih untuk
tidak mengatakan apa-apa lagi. Tetapi, dia dapat
merasakan betapa rasa penasaran Wong Jin Liu tidak
lagi terutama tertuju kepada dirinya, tetapi sudah
terbagi dengan anak muda dihadapannya ini, Duta
Agung Kiang Ceng Liong. Tokoh yang juga kelak akan
bertemu dengannya dalam pibu di Pegunungan
Bengsan sebulan setengah tahun kedepan. Maka
sambil membalas penghormatan Wong Jin Liu, diapun
sekedar memandang kepergian tokoh Siauw Lim Sie
yang membawa rasa penasaran mendalam atas apa
yang terjadi pada hari itu.
Sepeninggal Wong Jin Liu, Asha Vahista sendiri tidak
langsung meninggalkan tempat tersebut, sama seperti
Ceng Liong yang juga masih terkesima dengan rasa
penasaran yang membalut kepergian Wong Jin Liu.
Jeleknya, diapun kini menjadi sasaran rasa penasaran
Wong Jin Liu dan sepertinya menanam bibit
pertengkaran yang tidak perlu di masa yang akan
datang. Tapi, apa boleh buat? “bukankah yang
memulainya adalah mereka dan bukannya aku …..”?
demikian Ceng Liong membela diri dalam hatinya.
Begitupun, toch nasi sudah menjadi bubur.
“Sahabat muda, rasanya engkau sepakat jika 10 jurus
antara kita, sebaiuknya kita tunda dan tuntaskan
kelak dalam pertemuan pibu kita ke depan.
Bagaimana menurutmu
http://cerita-silat.mywapblog.com
……”? terdengar suara Asha
Vahista setelah mereka berdua tenggelam dalam
diam beberapa waktu lamanya.
“Tuan, sepeninggal Wong locianpwee, sudah tidak
pada tempatnya kita melanjutkan bentrokan tersebut.
Karena itu, benar, sebaiknya kita menundanya sampai
pada pertemuan pibu beberapa bulan kedepan ……”
“Baiklah jika memang demikian sahabat muda,
bagaimanapun lohu harus berterima kasih atas
bantuanmu menjadi saksi atas pibu kami pada hari
ini. Sekaligus juga sudah menyaksikan bagaimana
tarung kami tadi, dengan begitu sebagaimana lohu
pernah mengintipmu berlatih, maka saat ini engkau
langsung melihat lohu bertanding. Masing masing kita
sudah tidak saling berhutang ……”
Belum lagi selesai Asha Vahista berkata-kata
terdengar langkah kaki yang sangat ringan
mendatangi. Dan Asha Vahista yang tidak ingin
keberadaannya dipergoki orang lain sudah
membentak keras:
“Siapa ………”
Sambil lengannya terayun kearah si pendatang.
Tetapi, wajah dan mata Ceng Liong terlihat tidak
berubah dan seperti tahu siapa gerangan yang
mendatangi. Dan memang benar, adalah istrinya Liang
Mei Lan yang datang dan dapat diketahuinya dengan
begitu ringannya langkah kaki Mei Lan ketika
mendatangi tempatnya bersama Asha Vahista. Tetapi
kedatangan Mei Lan disambut oleh Asha Vahista
dengan sebuah pukulan yang cukup berat tetapi
dibiarkan saja oleh Ceng Liong. Bukan apa-apa, Ceng
Liong paham dan tahu benar sampai dimana
kemampuan Mei Lan istrinya, dan sudah barang tentu
dia tahu kebasan Asha Vahista tidak akan mampu
mengapa-apakan istrinya yang juga maha sakti itu.
Benar saja, dengan gaya yang sangat cepat, ringan
dan bagai melayang tubuh Mei Lan terus saja maju
melayang mendatangi tempatnya Ceng Liong berdua
dengan Asha Vahista, dan tidak berapa lama
kemudian sudah berada disamping Ceng Liong dan
memandangi Asha Vahista dengan tajam:
“Entah ada urusan apakah engkau menghalangiku
menemui suamiku dengan menghadiahiku sebuah
pukulan tuan ……”?
Terlihat Asha Vahista tersenyum ramah dan sekaligus
memandang Mei Lan dengan wajah kagum dan
takjub:
“Ginkang hebat ……. Ginkang mujijat ……… ach sahabat
muda, dia ini istrimu rupanya. Lohu nyaris pangling
…….. tetapi, yang luar biasa adalah daya gerak dan
ginkangnya, benar-benar mujijat dan luar biasa ……”
“Terima kasih atas pujianmu tuan …….. Lan Moi, mari
engkau bertemu dan berkenalan dengan locianpwee
yang hebat ini. Beliau bernama Asha Vahista seorang
tokoh sakti mandraguna dari Persia ……”
“Tecu Liang Mei Lan menjumpai locianpwee …….” Mei
Lan cepat beradaptasi dan langsung menyapa dengan
ramah da kemarahannya tadi dengan cepat
menghilang karena melihat Asha Vahista bukanlah
orang jahat.
“Hahahahahaha, sungguh-sungguh pasangan sakti
yang sukar dicari bandingannya. Sahabat muda dan
engkau nyonya muda, sungguh senang rasa hatiku
boleh berkenalan dan mengenal kalian berdua dari
dekat. Untuk kenang-kenangan, biarlah agar supaya
kalian berdua benar-benar mengenaliku,
kuberitahukan sekalian nama Tionggoanku, yakni SAI
HONG pemberian ibuku. Tetapi perkenalanku ini
mohon dibatasi untuk sahabat muda dan nyonya
muda saja dan bukan untuk umum. Anggaplah
sebagai tanda terima kasihku atas bantuanmu
sahabat muda, dan meski kita kelak bertarung dalam
pibu kedepan, hasilnya sama sekali tidak akan
mengurangi rasa persahabatan kita ini …….”
“Terima kasih …….. terima kasih Sai Locianpwee ……..
semoga selalu dilindungi thian dan selalu diberkati
………”
“Baiklah, cukuplah pertemuan kita hari ini. Ingat
sahabat muda, baik engkau maupun lohu, wajib
meningkatkan kemampuan menjelang pibu kelak,
karena lohu sudah melihat dan menyaksik an
kehebatanmu dan engkau sudah menyaksikan
kehebatan lohu. Kita masing-masing wajib berusaha
keras untuk menampilkan yang baru dalam jumpa
kita mendatang …….. sampai berjumpa …….”
“Sampai berjumpa pula locianpwee ……..”
Dan tidak lama kemudian Sai Hong atau nama
Persianya Asha Vahista sudah melesat menjauh
Bunga di Kaki Gunung Kawi bag X Bisikan Arwah - Abdullah Harahap Lembah Merpati - Chung Sin Panasnya Bunga Mekar Bag II Panasnya Bunga Mekar Bag III
Tetapi, tidak ada satu kalimatpun yang dilontarkannya
karena dia menunggu reaksi dan komentar Wong Jin
Liu sendiri atas pertarungan 10 jurus yang sangat
mendebarkan tadi. Sungguh, bahkan Asha Vahista
sendiripun yang sudah menghadapi Liong Sin Kong
Ciang tadi tahu benar bagaimana kehebatan dan
mujijatnya ilmu pukulan baru Wong Jin Liu. Asha
Vahista paham betul jika Wong Jin Liu terpukul
menerima kenyataan betapa dia tidak mampu
jangankan mengalahkan Ceng Liong, bahkan
mendesakpun tidak mampu dalam 10 jurus
pertarungan tersebut. Dan diapun percaya, bahwa
sama seperti Wong Jin Liu, dia tidak akan mampu
memenangkan pertarungan itu nantinya. Dan ini luar
biasa.
Dengan prihatin dan kasihan Asha Vahista
memperhatikan Wong Jin Liu yang masih
menerawang pandangannya. Sama dengan Ceng
Liong, dia tidak mau mengganggu tokoh hebat ini.
Bukan apa-apa, mereka tahu betul jika Wong Jin Liu
sudah menghabiskan banyak tahun berlatih dan
berlatih, dan ketika keluar, dia menemukan
kenyataan betapa ilmunya tetap saja masih bukan
yang TERHEBAT. Ironisnya lagi, dia bertemu lawan
yang mengalahkan “kesombongannya” dengan usia
lawan yang masih sangat muda dan lebih pantas
menjadi anaknya. Secara psikologis, pukulan terhadap
emosi dan kesombongan Wong Jin Liu memang telak.
Itulah sebabnya baik Ceng Liong maupun Asha
Vahista belum berani untuk mengusik lamunan dan
terawangan mata kosong Wong Jin Liu. Ya, dia masih
terpukul. Sangat terpukul dan karenanya
pandangannya menjadi menerawang kosong.
Lama, cukup lama Wong Jin Liu termenung dalam
kesendiriannya sampai akhirnya perlahan-lahan dia
mulai menemukan dirinya. Dan pada akhirnya, diapun
menoleh dan memandang wajah Kiang Ceng Liong
berganti-ganti dengan memandang Asha Vahista.
Setelah berusaha sekuatnya, pada akhirnya dia
memiliki cukup kemampuan untuk menghadapi fakta
itu dan akhirnya terdengar dia berkata:
“Sobatku, agaknya tidak perlu babak selanjutnya
diteruskan. Meskipun telah menekuni kembali ilmuku
dan memperdalam ilmu yang lain, tetapi setelah 25
tahun, meskipun memang benar kemajuanku sangat
pesat, tetapi rasanya masih belum mampu untuk
mengunggulimu. Karena itu, aku memutuskan akan
kembali ke perguruan dan jika masih berjodoh kita
akan kembali berjumpa suatu saat nanti. Meskipun
belum tentu juga engkau mampu mengalahkan anak
muda ini dalam 10 jurus, tetapi akhirnya aku mulai
mengerti bahwa masih ada beberapa kekuranganku
yang mesti kubenahi. Karena itu, kita berpisah sampai
disini …….. dan engkau anak muda, pada saatnya
akupun ingin mencarimu untuk melanjutkan
pertarungan kita yang cuma 10 jurus pada hari ini.
Sampai berjumpa kelak ……”
Selesai berkata, Wong Jin Liu menjura dan memberi
hormat kepada Asha Vahista yang memilih untuk
tidak mengatakan apa-apa lagi. Tetapi, dia dapat
merasakan betapa rasa penasaran Wong Jin Liu tidak
lagi terutama tertuju kepada dirinya, tetapi sudah
terbagi dengan anak muda dihadapannya ini, Duta
Agung Kiang Ceng Liong. Tokoh yang juga kelak akan
bertemu dengannya dalam pibu di Pegunungan
Bengsan sebulan setengah tahun kedepan. Maka
sambil membalas penghormatan Wong Jin Liu, diapun
sekedar memandang kepergian tokoh Siauw Lim Sie
yang membawa rasa penasaran mendalam atas apa
yang terjadi pada hari itu.
Sepeninggal Wong Jin Liu, Asha Vahista sendiri tidak
langsung meninggalkan tempat tersebut, sama seperti
Ceng Liong yang juga masih terkesima dengan rasa
penasaran yang membalut kepergian Wong Jin Liu.
Jeleknya, diapun kini menjadi sasaran rasa penasaran
Wong Jin Liu dan sepertinya menanam bibit
pertengkaran yang tidak perlu di masa yang akan
datang. Tapi, apa boleh buat? “bukankah yang
memulainya adalah mereka dan bukannya aku …..”?
demikian Ceng Liong membela diri dalam hatinya.
Begitupun, toch nasi sudah menjadi bubur.
“Sahabat muda, rasanya engkau sepakat jika 10 jurus
antara kita, sebaiuknya kita tunda dan tuntaskan
kelak dalam pertemuan pibu kita ke depan.
Bagaimana menurutmu
http://cerita-silat.mywapblog.com
Tarian Liar Naga Sakti - Marshall
……”? terdengar suara Asha
Vahista setelah mereka berdua tenggelam dalam
diam beberapa waktu lamanya.
“Tuan, sepeninggal Wong locianpwee, sudah tidak
pada tempatnya kita melanjutkan bentrokan tersebut.
Karena itu, benar, sebaiknya kita menundanya sampai
pada pertemuan pibu beberapa bulan kedepan ……”
“Baiklah jika memang demikian sahabat muda,
bagaimanapun lohu harus berterima kasih atas
bantuanmu menjadi saksi atas pibu kami pada hari
ini. Sekaligus juga sudah menyaksikan bagaimana
tarung kami tadi, dengan begitu sebagaimana lohu
pernah mengintipmu berlatih, maka saat ini engkau
langsung melihat lohu bertanding. Masing masing kita
sudah tidak saling berhutang ……”
Belum lagi selesai Asha Vahista berkata-kata
terdengar langkah kaki yang sangat ringan
mendatangi. Dan Asha Vahista yang tidak ingin
keberadaannya dipergoki orang lain sudah
membentak keras:
“Siapa ………”
Sambil lengannya terayun kearah si pendatang.
Tetapi, wajah dan mata Ceng Liong terlihat tidak
berubah dan seperti tahu siapa gerangan yang
mendatangi. Dan memang benar, adalah istrinya Liang
Mei Lan yang datang dan dapat diketahuinya dengan
begitu ringannya langkah kaki Mei Lan ketika
mendatangi tempatnya bersama Asha Vahista. Tetapi
kedatangan Mei Lan disambut oleh Asha Vahista
dengan sebuah pukulan yang cukup berat tetapi
dibiarkan saja oleh Ceng Liong. Bukan apa-apa, Ceng
Liong paham dan tahu benar sampai dimana
kemampuan Mei Lan istrinya, dan sudah barang tentu
dia tahu kebasan Asha Vahista tidak akan mampu
mengapa-apakan istrinya yang juga maha sakti itu.
Benar saja, dengan gaya yang sangat cepat, ringan
dan bagai melayang tubuh Mei Lan terus saja maju
melayang mendatangi tempatnya Ceng Liong berdua
dengan Asha Vahista, dan tidak berapa lama
kemudian sudah berada disamping Ceng Liong dan
memandangi Asha Vahista dengan tajam:
“Entah ada urusan apakah engkau menghalangiku
menemui suamiku dengan menghadiahiku sebuah
pukulan tuan ……”?
Terlihat Asha Vahista tersenyum ramah dan sekaligus
memandang Mei Lan dengan wajah kagum dan
takjub:
“Ginkang hebat ……. Ginkang mujijat ……… ach sahabat
muda, dia ini istrimu rupanya. Lohu nyaris pangling
…….. tetapi, yang luar biasa adalah daya gerak dan
ginkangnya, benar-benar mujijat dan luar biasa ……”
“Terima kasih atas pujianmu tuan …….. Lan Moi, mari
engkau bertemu dan berkenalan dengan locianpwee
yang hebat ini. Beliau bernama Asha Vahista seorang
tokoh sakti mandraguna dari Persia ……”
“Tecu Liang Mei Lan menjumpai locianpwee …….” Mei
Lan cepat beradaptasi dan langsung menyapa dengan
ramah da kemarahannya tadi dengan cepat
menghilang karena melihat Asha Vahista bukanlah
orang jahat.
“Hahahahahaha, sungguh-sungguh pasangan sakti
yang sukar dicari bandingannya. Sahabat muda dan
engkau nyonya muda, sungguh senang rasa hatiku
boleh berkenalan dan mengenal kalian berdua dari
dekat. Untuk kenang-kenangan, biarlah agar supaya
kalian berdua benar-benar mengenaliku,
kuberitahukan sekalian nama Tionggoanku, yakni SAI
HONG pemberian ibuku. Tetapi perkenalanku ini
mohon dibatasi untuk sahabat muda dan nyonya
muda saja dan bukan untuk umum. Anggaplah
sebagai tanda terima kasihku atas bantuanmu
sahabat muda, dan meski kita kelak bertarung dalam
pibu kedepan, hasilnya sama sekali tidak akan
mengurangi rasa persahabatan kita ini …….”
“Terima kasih …….. terima kasih Sai Locianpwee ……..
semoga selalu dilindungi thian dan selalu diberkati
………”
“Baiklah, cukuplah pertemuan kita hari ini. Ingat
sahabat muda, baik engkau maupun lohu, wajib
meningkatkan kemampuan menjelang pibu kelak,
karena lohu sudah melihat dan menyaksik an
kehebatanmu dan engkau sudah menyaksikan
kehebatan lohu. Kita masing-masing wajib berusaha
keras untuk menampilkan yang baru dalam jumpa
kita mendatang …….. sampai berjumpa …….”
“Sampai berjumpa pula locianpwee ……..”
Dan tidak lama kemudian Sai Hong atau nama
Persianya Asha Vahista sudah melesat menjauh