Cerita Silat | Gerhana Darah Biru | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Gerhana Darah Biru | Cersil Sakti | Gerhana Darah Biru pdf
Cersil Zuber Usman - Damar Wulan Bag III Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Pendekar Rajawali Sakti 105.- Istana Gerbang Neraka Pendekar Rajawali Sakti 106.- Dewa Racun Hitam Pendekar Rajawali Sakti 110.- Sekutu Iblis
; sahut Pandan Wangi.
Sementara Rangga sudah kembali melangkah, tapi kali ini menghampiri harimau yang sangat besar dan kelihatan buas ini. Binatang itu menggerung-gerung dengan mata memerah buas, menatap Rangga yang terus melangkah semakin dekat. Sementara itu, Pandan Wangi sudah mengambil jalan memutar, mencoba mendekati gadis yang terikat di batang pohon. Saat itu Rangga melirik sedikit pada Pandan Wangi yang sudah dekat dengan gadis yang terikat di pohon. Kemudian....
'Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Rangga berteriak keras, sambil menghentakkan tangannya ke depan. Dicobanya untuk menakut-nakuti binatang yang dikenal sebagai raja hutan ini. Tapi siasat Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak ampuh. Harimau itu tetap diam sambil menggerung-gerung kecil. Dan di saat Rangga tengah tertegun memikirkan cara yang terbaik untuk mengusir, mendadak saja harimau itu menggerung keras. Lalu cepat sekali binatang buas itu melompat hendak menerkam pemuda ini.
"Ups! Hiyaaa...!"
Untung saja tindakan yang dilakukan Rangga lebih gesit lagi. Dengan gerakan cepat dan indah sekali, Pendekar Rajawali Sakti menghindari ter-kaman si raja hutan ini. Dan pada saat tubuh harimau itu hampir melewatinya, dengan kecepatan bagai kilat dilepaskannya satu pukulan keras agak menyamping tanpa disertai pengerahan tenaga dalam.
Bugkh!
"Ghraaaugkh...!"
Harimau loreng itu kontan meraung dahsyat, begitu terkena pukulan menyamping yang dilepaskan Rangga tadi. Binatang buas itu terpental balik ke belakang, tapi bisa jatuh di tanah dengan keempat kakinya yang kokoh. Sementara, Rangga kembali berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Matanya segera melirik sedikit pada gadis yang terikat di pohon. Bibirnya langsung menyunggingkan senyum, melihat Pandan Wangi sudah berada dekat di belakang gadis yang terikat itu. Tampaknya, Pandan Wangi mendapat sedikit kesulitan melepaskan tambang yang mengikat tubuh gadis itu. Sementara, perhatian Rangga sudah kembali beralih pada harimau belang hitam kuning itu.
"Ayo, pergi...! Jangan sampai kau mati di tanganku!" agak mendesis suara Rangga.
"Ghrrr...!"
Tapi, harimau itu hanya menggereng kecil saja. Malah tubuhnya direndahkan sedikit, dengan sorot mata masih tetap tajam memerah tertuju langsung pada Pendekar Rajawali Sakti. Dan tiba-tiba saja....
"Auuum...!"
Sambil mengaum keras, harimau itu melompat dengan cakar-cakarnya yang terkembang, siap merobek tubuh pemuda ini. Namun dengan gerakan manis sekali, Rangga bisa menghindarinya. Dan saat itu juga, satu pukulan Pendekar Rajawali Sakti yang keras cepat dilepaskan.
Buk!
"Aaargkh...!"
Meskipun tidak disertai pengerahan tenaga dalam, tapi pukulan yang dilepaskan Rangga me-mang sangat keras. Akibatnya harimau itu terpental cukup jauh disertai raungan keras menggetarkan jantung. Namun sungguh menakjubkan, ternyata harimau itu bisa cepat menguasai diri. Bahkan langsung melompat lagi dengan raungan panjang mengerikan!
"Hap! Hiyaaa...!"
Rangga sama sekali tidak bergeming dari tem-patnya. Dinantinya serangan si raja hutan itu. Dan dengan kecepatan yang sukar diikuti pandangan mata biasa, dilepaskannya satu pukulan keras, disertai sedikit pengerahan tenaga dalam. Kali ini, pukulannya tepat menghantam kepala binatang itu.
Kembali harimau itu meraung dan terpental ke belakang. Rangga sadar kalau binatang ini tidak akan menyerah begitu saja. Maka cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat, sebelum harimau itu bisa menyentuh tanah lagi. Seketika satu tendangan yang keras cepat dilepaskan. Begitu cepatnya, sehingga telak sekali menghantam tubuh harimau ini.
Buk!
"Ghraaaugkh...!"
Bruk!
Keras sekali harimau itu terbanting ke tanah, dan bergulingan beberapa kali sebelum berhenti menabrak batu. Sementara, Rangga sudah berdiri dengan tegak memandangi si raja hutan yang masih menggeliat dan menggerung-gerung menahan sakit, akibat pukulan dan tendangan Pendekar Rajawali Sakti.
Perlahan harimau sebesar anak lembu itu bangkit berdiri, lalu menggereng kecil menatap Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri menanti. Namun sorotan matanya kini tidak lagi buas seperti tadi. Bahkan terlihat agak redup cahayanya. Beberapa saat harimau itu memandangi Pendekar Rajawali Sakti, kemudian melangkah gontai meninggalkan tempat itu. Rangga tersenyum melihat si raja hutan itu pergi. Kemudian bergegas dihampirinya Pandan Wangi yang berdiri agak jauh bersama gadis yang tadi terikat di pohon. Gadis itu masih menangis terisak dalam pelukan si Kipas Maut ini.
***
"Dia tidak apa-apa, Pandan?" tanya Rangga langsung.
"Tidak, hanya masih ketakutan saja," sahut Pandan Wang.
"Ada yang luka?" tanya Rangga lagi.
Pandan Wangi hanya menggeleng saja. Dengan lembut dilepaskannya pelukan gadis itu dan diha-pusnya air mata yang masih mengucur membasahi pipinya. Tampak gadis itu juga berusaha meredakan tangisnya. Beberapa kali air matanya disusut. Pandan Wangi lalu mengajaknya duduk di batang pohon yang tumbang. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri memperhatikan.
"Siapa namamu, Nisanak?" tanya Rangga setelah melihat gadis itu mulai bisa menguasai diri.
"Ratih," sahut gadis itu, masih agak tersedak suaranya.
"Kenapa kau bisa ada di hutan ini dan terikat di pohon?" tanya Rangga lagi.
"Aku..., aku tidak tahu. Mereka menculikku dan membawa ke sini semalam."
"Mereka siapa?" tanya Pandan Wangi.
Ratih hanya menggeleng saja.
"Mereka menyiksamu?" tanya Pandan Wangilagi.
"Tidak."
'Tapi kenapa pakaianmu sampai rusak begini?" tanya Rangga.
"Mereka yang mencabik-cabiknya."
"Darah ini...? Aku tidak melihat ada luka di tubuhmu, Ratih," sambung Pandan Wangi.
"Mereka melumuri tubuhku dengan darah ayam."
"Kau dari mana, Ratih?" tanya Rangga lagi.
Kali ini Ratih tidak langsung menjawab. Dipandanginya Rangga dan Pandan Wangi bergantian. Seakan, terasa begitu berat untuk menjawab pertanyaan Rangga tadi.
"Kami akan mengantarmu pulang. Terlalu berbahaya berada di dalam hutan seorang diri. Apalagi, bagi orang yang tidak bisa ilmu olah kanuragan," kata Rangga, menawarkan jasa.
"Terima kasih. Sebaiknya, aku tetap di sini saja," sahut Ratih pelan.
"Kenapa...?!" tanya Pandan Wangi heran. "Kau tidak takut harimau itu datang lagi dan mengoyak tubuhmu?"
Ratih hanya diam saja.
"Katakan, Ratih. Di mana rumahmu?" desak Rangga.
Ratih masih tetap diam. Kembali dipandanginya Rangga dan Pandan Wangi bergantian, seakan ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Sehingga, begitu sulit gadis bernama Ratih itu menjelaskan tentang tempat tinggalnya. Sedangkan Rangga terus menatapnya, menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi. Tapi sebentar kemudian, kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut, begitu pandangannya tertumbuk pada sabuk yang dikenakan gadis ini.
Sabuk itu kelihatannya terbuat dari emas. Dan Rangga baru sadar kalau pakaian yang dikenakan Ratih juga terbuat dari bahan sutera yang sangat halus, walaupun kini sudah koyak dan berlumuran darah ayam. Dan kulitnya juga putih halus, seperti layaknya kulit putri-putri bangsawan, yang jarang berhubungan dengan dunia luar. Semua itu baru disadari Rangga, kalau gadis ini tidak terlihat seperti orang kebanyakan.
"Nisanak, katakan sejujurnya. Siapa kau ini sebenarnya. Percayalah. Kami berdua bukan orang jahat. Dan kalau kau memang mendapat kesulitan, kami berdua bersedia membantu," bujuk Rangga lembut.
"Kalian benar-benar bukan orang jahat...?" nada suara Ratih seperti ingin meyakinkan.
"Kalau kami orang jahat, untuk apa tadi menolongmu dari ancaman harimau itu...?" selak Pandan Wangi tegas.
"Maaf. Aku...," Ratih tidak meneruskan.
"Nisanak! Kau putri seorang pembesar dari Jalaraja?" tanya Rangga lagi langsung menebak.
Lagi-lagi Ratih tidak langsung menjawab. Dan kali ini, kepalanya tertunduk perlahan-lahan. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi jadi saling berpandangan.
"Katakan, Ratih. Barangkali saja aku dan Kakang Rangga bisa menolongmu dari kesulitan yang kau hadapi sekarang," desak Pandan Wangi lembut.
"Aku..., aku putri Prabu Garajaga. Raja Jalaraja...," pelan sekali suara Ratih. Begitu pelannya, sampai-sampai hampir tidak terdengar kedua pendekar dari Karang Setra itu. "Namaku sebenarnya Rara Ayu Ratih Kumala Dewi."
Saat itu juga, Rangga dan Pandan Wangi sa-ma-sama menarik napas panjang. Sementara, Ratih tetap menundukkan kepala. Tapi tidak lama, kepalanya terangkat. Dan langsung ditatapnya Pandan Wangi.
"Ratih. Kau kenali orang-orang yang memba-wamu ke sini?" tanya Rangga lagi.
"Mereka semua berpakaian hitam dan memba-wa golok. Aku..., aku tidak kenal siapa mereka. Tapi...," Ratih tidak menemskan kata-katanya.
'Tapi kenapa, Ratih?" desak Pandan Wangi.
"Salah seorang dari mereka adalah wanita. Dari pakaiannya...," kembali Ratih berhenti, tidak meneruskan kata-katanya.
Gadis itu terus memandangi Pandan Wangi, seakan-akan ada sesuatu pada diri si Kipas Maut ini. Sedangkan Pandan Wangi sendiri merasa tidak enak dipandangi terus menerus seperti itu.
"Ada apa denganku, Ratih?" tegur Pandan Wangi merasa jengah dipandangi terus.
"Pakaiannya..., pakaiannya mirip sekali dengan pakaianmu," jelas Ratih agak tersendat, dan terdengar ragu-ragu nada suaranya.
"Aku...?!"
Cersil Zuber Usman - Damar Wulan Bag III Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Pendekar Rajawali Sakti 105.- Istana Gerbang Neraka Pendekar Rajawali Sakti 106.- Dewa Racun Hitam Pendekar Rajawali Sakti 110.- Sekutu Iblis
; sahut Pandan Wangi.
Sementara Rangga sudah kembali melangkah, tapi kali ini menghampiri harimau yang sangat besar dan kelihatan buas ini. Binatang itu menggerung-gerung dengan mata memerah buas, menatap Rangga yang terus melangkah semakin dekat. Sementara itu, Pandan Wangi sudah mengambil jalan memutar, mencoba mendekati gadis yang terikat di batang pohon. Saat itu Rangga melirik sedikit pada Pandan Wangi yang sudah dekat dengan gadis yang terikat di pohon. Kemudian....
'Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Rangga berteriak keras, sambil menghentakkan tangannya ke depan. Dicobanya untuk menakut-nakuti binatang yang dikenal sebagai raja hutan ini. Tapi siasat Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak ampuh. Harimau itu tetap diam sambil menggerung-gerung kecil. Dan di saat Rangga tengah tertegun memikirkan cara yang terbaik untuk mengusir, mendadak saja harimau itu menggerung keras. Lalu cepat sekali binatang buas itu melompat hendak menerkam pemuda ini.
"Ups! Hiyaaa...!"
Untung saja tindakan yang dilakukan Rangga lebih gesit lagi. Dengan gerakan cepat dan indah sekali, Pendekar Rajawali Sakti menghindari ter-kaman si raja hutan ini. Dan pada saat tubuh harimau itu hampir melewatinya, dengan kecepatan bagai kilat dilepaskannya satu pukulan keras agak menyamping tanpa disertai pengerahan tenaga dalam.
Bugkh!
"Ghraaaugkh...!"
Harimau loreng itu kontan meraung dahsyat, begitu terkena pukulan menyamping yang dilepaskan Rangga tadi. Binatang buas itu terpental balik ke belakang, tapi bisa jatuh di tanah dengan keempat kakinya yang kokoh. Sementara, Rangga kembali berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Matanya segera melirik sedikit pada gadis yang terikat di pohon. Bibirnya langsung menyunggingkan senyum, melihat Pandan Wangi sudah berada dekat di belakang gadis yang terikat itu. Tampaknya, Pandan Wangi mendapat sedikit kesulitan melepaskan tambang yang mengikat tubuh gadis itu. Sementara, perhatian Rangga sudah kembali beralih pada harimau belang hitam kuning itu.
"Ayo, pergi...! Jangan sampai kau mati di tanganku!" agak mendesis suara Rangga.
"Ghrrr...!"
Tapi, harimau itu hanya menggereng kecil saja. Malah tubuhnya direndahkan sedikit, dengan sorot mata masih tetap tajam memerah tertuju langsung pada Pendekar Rajawali Sakti. Dan tiba-tiba saja....
"Auuum...!"
Sambil mengaum keras, harimau itu melompat dengan cakar-cakarnya yang terkembang, siap merobek tubuh pemuda ini. Namun dengan gerakan manis sekali, Rangga bisa menghindarinya. Dan saat itu juga, satu pukulan Pendekar Rajawali Sakti yang keras cepat dilepaskan.
Buk!
"Aaargkh...!"
Meskipun tidak disertai pengerahan tenaga dalam, tapi pukulan yang dilepaskan Rangga me-mang sangat keras. Akibatnya harimau itu terpental cukup jauh disertai raungan keras menggetarkan jantung. Namun sungguh menakjubkan, ternyata harimau itu bisa cepat menguasai diri. Bahkan langsung melompat lagi dengan raungan panjang mengerikan!
"Hap! Hiyaaa...!"
Rangga sama sekali tidak bergeming dari tem-patnya. Dinantinya serangan si raja hutan itu. Dan dengan kecepatan yang sukar diikuti pandangan mata biasa, dilepaskannya satu pukulan keras, disertai sedikit pengerahan tenaga dalam. Kali ini, pukulannya tepat menghantam kepala binatang itu.
Kembali harimau itu meraung dan terpental ke belakang. Rangga sadar kalau binatang ini tidak akan menyerah begitu saja. Maka cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat, sebelum harimau itu bisa menyentuh tanah lagi. Seketika satu tendangan yang keras cepat dilepaskan. Begitu cepatnya, sehingga telak sekali menghantam tubuh harimau ini.
Buk!
"Ghraaaugkh...!"
Bruk!
Keras sekali harimau itu terbanting ke tanah, dan bergulingan beberapa kali sebelum berhenti menabrak batu. Sementara, Rangga sudah berdiri dengan tegak memandangi si raja hutan yang masih menggeliat dan menggerung-gerung menahan sakit, akibat pukulan dan tendangan Pendekar Rajawali Sakti.
Perlahan harimau sebesar anak lembu itu bangkit berdiri, lalu menggereng kecil menatap Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri menanti. Namun sorotan matanya kini tidak lagi buas seperti tadi. Bahkan terlihat agak redup cahayanya. Beberapa saat harimau itu memandangi Pendekar Rajawali Sakti, kemudian melangkah gontai meninggalkan tempat itu. Rangga tersenyum melihat si raja hutan itu pergi. Kemudian bergegas dihampirinya Pandan Wangi yang berdiri agak jauh bersama gadis yang tadi terikat di pohon. Gadis itu masih menangis terisak dalam pelukan si Kipas Maut ini.
***
"Dia tidak apa-apa, Pandan?" tanya Rangga langsung.
"Tidak, hanya masih ketakutan saja," sahut Pandan Wang.
"Ada yang luka?" tanya Rangga lagi.
Pandan Wangi hanya menggeleng saja. Dengan lembut dilepaskannya pelukan gadis itu dan diha-pusnya air mata yang masih mengucur membasahi pipinya. Tampak gadis itu juga berusaha meredakan tangisnya. Beberapa kali air matanya disusut. Pandan Wangi lalu mengajaknya duduk di batang pohon yang tumbang. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri memperhatikan.
"Siapa namamu, Nisanak?" tanya Rangga setelah melihat gadis itu mulai bisa menguasai diri.
"Ratih," sahut gadis itu, masih agak tersedak suaranya.
"Kenapa kau bisa ada di hutan ini dan terikat di pohon?" tanya Rangga lagi.
"Aku..., aku tidak tahu. Mereka menculikku dan membawa ke sini semalam."
"Mereka siapa?" tanya Pandan Wangi.
Ratih hanya menggeleng saja.
"Mereka menyiksamu?" tanya Pandan Wangilagi.
"Tidak."
'Tapi kenapa pakaianmu sampai rusak begini?" tanya Rangga.
"Mereka yang mencabik-cabiknya."
"Darah ini...? Aku tidak melihat ada luka di tubuhmu, Ratih," sambung Pandan Wangi.
"Mereka melumuri tubuhku dengan darah ayam."
"Kau dari mana, Ratih?" tanya Rangga lagi.
Kali ini Ratih tidak langsung menjawab. Dipandanginya Rangga dan Pandan Wangi bergantian. Seakan, terasa begitu berat untuk menjawab pertanyaan Rangga tadi.
"Kami akan mengantarmu pulang. Terlalu berbahaya berada di dalam hutan seorang diri. Apalagi, bagi orang yang tidak bisa ilmu olah kanuragan," kata Rangga, menawarkan jasa.
"Terima kasih. Sebaiknya, aku tetap di sini saja," sahut Ratih pelan.
"Kenapa...?!" tanya Pandan Wangi heran. "Kau tidak takut harimau itu datang lagi dan mengoyak tubuhmu?"
Ratih hanya diam saja.
"Katakan, Ratih. Di mana rumahmu?" desak Rangga.
Ratih masih tetap diam. Kembali dipandanginya Rangga dan Pandan Wangi bergantian, seakan ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Sehingga, begitu sulit gadis bernama Ratih itu menjelaskan tentang tempat tinggalnya. Sedangkan Rangga terus menatapnya, menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi. Tapi sebentar kemudian, kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut, begitu pandangannya tertumbuk pada sabuk yang dikenakan gadis ini.
Sabuk itu kelihatannya terbuat dari emas. Dan Rangga baru sadar kalau pakaian yang dikenakan Ratih juga terbuat dari bahan sutera yang sangat halus, walaupun kini sudah koyak dan berlumuran darah ayam. Dan kulitnya juga putih halus, seperti layaknya kulit putri-putri bangsawan, yang jarang berhubungan dengan dunia luar. Semua itu baru disadari Rangga, kalau gadis ini tidak terlihat seperti orang kebanyakan.
"Nisanak, katakan sejujurnya. Siapa kau ini sebenarnya. Percayalah. Kami berdua bukan orang jahat. Dan kalau kau memang mendapat kesulitan, kami berdua bersedia membantu," bujuk Rangga lembut.
"Kalian benar-benar bukan orang jahat...?" nada suara Ratih seperti ingin meyakinkan.
"Kalau kami orang jahat, untuk apa tadi menolongmu dari ancaman harimau itu...?" selak Pandan Wangi tegas.
"Maaf. Aku...," Ratih tidak meneruskan.
"Nisanak! Kau putri seorang pembesar dari Jalaraja?" tanya Rangga lagi langsung menebak.
Lagi-lagi Ratih tidak langsung menjawab. Dan kali ini, kepalanya tertunduk perlahan-lahan. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi jadi saling berpandangan.
"Katakan, Ratih. Barangkali saja aku dan Kakang Rangga bisa menolongmu dari kesulitan yang kau hadapi sekarang," desak Pandan Wangi lembut.
"Aku..., aku putri Prabu Garajaga. Raja Jalaraja...," pelan sekali suara Ratih. Begitu pelannya, sampai-sampai hampir tidak terdengar kedua pendekar dari Karang Setra itu. "Namaku sebenarnya Rara Ayu Ratih Kumala Dewi."
Saat itu juga, Rangga dan Pandan Wangi sa-ma-sama menarik napas panjang. Sementara, Ratih tetap menundukkan kepala. Tapi tidak lama, kepalanya terangkat. Dan langsung ditatapnya Pandan Wangi.
"Ratih. Kau kenali orang-orang yang memba-wamu ke sini?" tanya Rangga lagi.
"Mereka semua berpakaian hitam dan memba-wa golok. Aku..., aku tidak kenal siapa mereka. Tapi...," Ratih tidak menemskan kata-katanya.
'Tapi kenapa, Ratih?" desak Pandan Wangi.
"Salah seorang dari mereka adalah wanita. Dari pakaiannya...," kembali Ratih berhenti, tidak meneruskan kata-katanya.
Gadis itu terus memandangi Pandan Wangi, seakan-akan ada sesuatu pada diri si Kipas Maut ini. Sedangkan Pandan Wangi sendiri merasa tidak enak dipandangi terus menerus seperti itu.
"Ada apa denganku, Ratih?" tegur Pandan Wangi merasa jengah dipandangi terus.
"Pakaiannya..., pakaiannya mirip sekali dengan pakaianmu," jelas Ratih agak tersendat, dan terdengar ragu-ragu nada suaranya.
"Aku...?!"