Cerita Silat | Memburu Pengkhianat | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Memburu Pengkhianat | Cersil Sakti | Memburu Pengkhianat pdf
Pendekar Rajawali Sakti - 111. Teror Si Raja Api Pendekar Rajawali Sakti - 108. Harga Sebuah Kepala Pendekar Rajawali Sakti - 112. Dendam Datuk Geni Pendekar Rajawali Sakti - 113. Pembalasan Iblis Sesat Pendekar Rajawali Sakti - 114. Gerhana Darah Biru
apa yang tengah disaksikannya.
"Kenapa kau terkejut, Pendekar Rajawali Sakti? Takut menghadapi jurus 'Cakar Api Penyebar Maut' ini...?" terdengar mengejek nada suara Ki Sancaka.
"Hm...," Rangga hanya menggumam sedikit saja.
Mendengar nama jurus yang digunakan Ki Sancaka, hati Pendekar Rajawali Sakti jadi sedikit tenang. Jelas sekali jurus yang dimilikinya berbeda dengan jurus Ki Sancaka. Hanya hasilnya saja yang kelihatan sama.
"Sebaiknya aku coba dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali." gumam Rangga dalam hati "Hap...!"
Rangga segera mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkatan terakhir untuk mengimbangi jurus 'Cakar Api Penyebar Maut' Ki Sancaka. Kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti yang juga menjadi merah membara seperti api, membuat kedua bola mata Ki Sancaka iadi terbebak lebar.
"Heh...?! Jurus apa yang kau gunakan...?" sentak Ki Sancaka tidak dapat lagi menahan rasa keterkejutannya.
"Sama sepertimu," sahut Rangga kalem, agak memancing.
"Kunyuk! Kau mencuri ilmuku, heh...?!"
Rangga hanya tersenyum saja mendengar tu-duhan itu. Dan memang, jurus "Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir sengaja dikeluarkan untuk memancing amarah lawannya. Dan sekarang, pancingannya sudah mulai menampakkan hasilnya. Ki Sancaka menduga, Rangga mencuri ilmunya. Tentu saja ini membuatnya jadi geram setengah mati, hingga wajahnya memerah bagai kepiting rebus.
"Kubunuh kau, Pencuri Busuk! Hiyaaat..!"
Sambil menggeram dahsyat, Ki Sancaka me-lompat begitu cepat sambil menghentakkan kedua tangannya ke depan. Dan seketika itu juga, berdesir angin yang sangat kuat, disertai hempasan udara panas menyengat kulit. Sementara, Rangga yang sudah siap sejak tadi tetap diam menanti dengan kedua tangan terkepal erat di samping pinggang. Dan begitu serangan Ki Sancaka sudah dekat....
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga menghentakkan kedua tangannya yang terkepal ke depan, tepat di saat kedua tangan Ki Sancaka sudah dekat ke dadanya.
Glarrr...!
Tak pelak lagi, benturan keras pun terjadi hingga menimbulkan ledakan yang begitu dahsyat menggelegar. Bahkan tanah yang dipijak jadi ber-getar, bagai diguncang gempa yang sangat dahsyat. Bunga api pun memercik dari dua pasang tangan yang beradu keras itu.
Tampak mereka sama-sama terpental satu ba-tang tombak ke belakang, diiringi jeritan pendek yang tertahan. Mereka sama-sama jatuh bergulingan di tanah, tapi cepat bangkit berdiri. Terlihat Ki Sancaka agak terhuyung begitu kedua kakinya bisa menapak lagi di tanah. Setetes darah kental berwarna agak kehitaman, mengalir keluar dari sudut bibirnya. Sementara, Rangga dengan gerakan manis sekali bisa berdiri tegak, tanpa sedikit pun kelihatan terluka.
"Phuih!"
Ki Sancaka menyemburkan ludahnya dengan sengit. Sorot matanya terlihat begitu tajam, mena-tap lurus ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Tersirat rasa dendam dan penasaran yang amat sangat di dalam sinar bola matanya. Terlebih lagi, saat mengetahui lawannya yang masih berusia muda itu tetap tegar tanpa mendapatkan luka sedikit pun.
Sedangkan saat ini, Ki Sancaka merasakan dadanya begitu sesak seperti baru saja terhantam sebuah godam yang sangat besar dan kuat. Bahkan seluruh persendian tulang tangannya terasa nyeri!
"Jangan besar kepala dulu, Bocah! Kali ini, aku akan mengadu nyawa denganmu!" desis Ki Sancaka dingin menggetarkan.
"Aku kira tidak ada gunanya kita mengadu jiwa, Ki. Apalagi, kalau sikapmu ini membela orang yang salah. Meskipun, orang itu adalah muridmu sendiri. Apa boleh buat, aku terpaksa melayanimu," tegas Rangga.
"Kau sudah mengganggu ketenangan Nyai Wisanggeni. Maka harus kau bayar mahal atas perbuatanmu itu, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Ki Sancaka geram. "Hanya nyawamulah yang patut untuk membayar keusilanmu!"
"Oh...?! Jadi si Setan Perempuan Penghisap Darah itu muridmu ?' kali ini nada suara Rangga terdengar agak sinis.
"Benar! Dan sekarang, bersiaplah menjemput kematianmu, Pendekar Rajawali Sakti!"
Rangga hanya mengangkat bahunya saja sedikit. Memang tidak ada lagi pilihan baginya. Terpaksa disambutnya tantangan yang sudah dibuka Ki Sancaka. Bahkan sejak kemunculannya tadi, orang tua itu terus saja mendesak ingin membunuhnya. Tapi setelah tahu kalau Ki Sancaka adalah guru Nyai Wisanggeni sikap Rangga yang semula masih mengalah, kini jadi berubah begitu jauh. Sorot matanya jadi begitu tajam, hingga membuat Ki Sancaka agak bergidik juga.
"Phuih!"
Ki Sancaka menyemburkan ludahnya, berusaha mengurangi getaran yang tiba-tiba terjadi dalam hatinya. Perlahan kakinya melangkah mendekati tongkatnya yang tadi ditancapkan di tanah. Mudah sekali tongkat kayunya dicabut. Sementara Rangga sendiri tetap berdiri tegak, tidak bergeming sedikit pun. Hanya tatapan matanya saja yang terlihat begitu tajam, memperhatikan setiap gerak Ki Sancaka dalam membuka jurusnya kembali untuk meneruskan pertarungan.
"Cabut senjatamu, Pendekar Rajawali Sakti!" bentak Ki Sancaka sambil mengebutkan tongkat kayunya ke depan.
"Untuk menghadapimu, tidak perlu menggunakan senjata," sambut Rangga dingin.
"Sombong ..! Jangan menyesal kalau kau mati tanpa sempat mencabut senjata, Bocah!" dengus Ki Sancaka geram.
Rangga hanya tersenyum tipis saja. Sementara, Ki Sancaka sudah mulai membuka jurusnya kembali. Tongkatnya segera dikebutkan cepat beberapa kali, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga, kebutan tongkat kayunya itu menimbulkan suara angin menderu bagai badai topan. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri tegak, tidak bergeming sedikit pun. Dan…
"Hm..."
Rangga mengumam sedikit, saat melihat Ki Sancaka menjajarkan tongkat dengan tubuhnya, sehingga ujung tongkatnya hampir menyentuh hidungnya sendiri. Tampak seluruh tubuh orang tua itu bergetar bagai terserang demam ringgi. Dan begitu getaran di tubuhnya menghilang, seketika itu juga seluruh tubuhnya memancarkan cahaya kuning keemasan. Pada bagian ujung tongkatnya juga memancar cahaya kuning keemasan, yang membentuk bulatan sebesar kepala manusia.
"Dia mulai menggunakan ilmu kesaktian. Hm... Apa boleh buat. Aku harus menggunakan aji 'Cakra Buana Sukma'," gumam Rangga dalam hati. "Hep...!"
Cepat Rangga merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Dan tubuhnya langsung bergerak miring ke kiri, begitu kakinya terentang cukup lebar ke samping. Lalu perlahan-lahan tubuhnya bergerak ke kanan. Dan ketika kembali tegak, terlihat cahaya biru berkilauan menyemburat, bagai hendak keluar dari kedua telapak tangannya yang masih merapat di depan dada.
Sementara itu, Ki Sancaka sendiri sudah siap melakukan serangan dengan mengerahkan ilmu pamungkasnya. Untuk beberapa saat, mereka berdua saling berdiam diri, seakan-akan tengah mengukur tingkat ilmu yang akan digunakan masing-masing.
"Sambutlah kematianmu, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat...!"
Diawali bentakan keras menggelegar bagai guntur membelah angkasa, Ki Sancaka melompat cepat sambil menghentakkan tongkatnya ke depan. Dan ketika bulatan cahaya kuning keemasan dari ujung tongkatnya melesat..
"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"
Rangga berteriak keras sambil menghentakkan kedua tangannya ke depan, dengan jari-jari terkembang lebar. Dan seketika itu juga dari kedua telapak tangannya yang terbuka melesat cahaya biru berkilauan yang menyilaukan mata.
Begitu cepatnya dua cahaya itu melesat, se-hingga...
Glarrr...!
Pendekar Rajawali Sakti - 111. Teror Si Raja Api Pendekar Rajawali Sakti - 108. Harga Sebuah Kepala Pendekar Rajawali Sakti - 112. Dendam Datuk Geni Pendekar Rajawali Sakti - 113. Pembalasan Iblis Sesat Pendekar Rajawali Sakti - 114. Gerhana Darah Biru
apa yang tengah disaksikannya.
"Kenapa kau terkejut, Pendekar Rajawali Sakti? Takut menghadapi jurus 'Cakar Api Penyebar Maut' ini...?" terdengar mengejek nada suara Ki Sancaka.
"Hm...," Rangga hanya menggumam sedikit saja.
Mendengar nama jurus yang digunakan Ki Sancaka, hati Pendekar Rajawali Sakti jadi sedikit tenang. Jelas sekali jurus yang dimilikinya berbeda dengan jurus Ki Sancaka. Hanya hasilnya saja yang kelihatan sama.
"Sebaiknya aku coba dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali." gumam Rangga dalam hati "Hap...!"
Rangga segera mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkatan terakhir untuk mengimbangi jurus 'Cakar Api Penyebar Maut' Ki Sancaka. Kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti yang juga menjadi merah membara seperti api, membuat kedua bola mata Ki Sancaka iadi terbebak lebar.
"Heh...?! Jurus apa yang kau gunakan...?" sentak Ki Sancaka tidak dapat lagi menahan rasa keterkejutannya.
"Sama sepertimu," sahut Rangga kalem, agak memancing.
"Kunyuk! Kau mencuri ilmuku, heh...?!"
Rangga hanya tersenyum saja mendengar tu-duhan itu. Dan memang, jurus "Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir sengaja dikeluarkan untuk memancing amarah lawannya. Dan sekarang, pancingannya sudah mulai menampakkan hasilnya. Ki Sancaka menduga, Rangga mencuri ilmunya. Tentu saja ini membuatnya jadi geram setengah mati, hingga wajahnya memerah bagai kepiting rebus.
"Kubunuh kau, Pencuri Busuk! Hiyaaat..!"
Sambil menggeram dahsyat, Ki Sancaka me-lompat begitu cepat sambil menghentakkan kedua tangannya ke depan. Dan seketika itu juga, berdesir angin yang sangat kuat, disertai hempasan udara panas menyengat kulit. Sementara, Rangga yang sudah siap sejak tadi tetap diam menanti dengan kedua tangan terkepal erat di samping pinggang. Dan begitu serangan Ki Sancaka sudah dekat....
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga menghentakkan kedua tangannya yang terkepal ke depan, tepat di saat kedua tangan Ki Sancaka sudah dekat ke dadanya.
Glarrr...!
Tak pelak lagi, benturan keras pun terjadi hingga menimbulkan ledakan yang begitu dahsyat menggelegar. Bahkan tanah yang dipijak jadi ber-getar, bagai diguncang gempa yang sangat dahsyat. Bunga api pun memercik dari dua pasang tangan yang beradu keras itu.
Tampak mereka sama-sama terpental satu ba-tang tombak ke belakang, diiringi jeritan pendek yang tertahan. Mereka sama-sama jatuh bergulingan di tanah, tapi cepat bangkit berdiri. Terlihat Ki Sancaka agak terhuyung begitu kedua kakinya bisa menapak lagi di tanah. Setetes darah kental berwarna agak kehitaman, mengalir keluar dari sudut bibirnya. Sementara, Rangga dengan gerakan manis sekali bisa berdiri tegak, tanpa sedikit pun kelihatan terluka.
"Phuih!"
Ki Sancaka menyemburkan ludahnya dengan sengit. Sorot matanya terlihat begitu tajam, mena-tap lurus ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Tersirat rasa dendam dan penasaran yang amat sangat di dalam sinar bola matanya. Terlebih lagi, saat mengetahui lawannya yang masih berusia muda itu tetap tegar tanpa mendapatkan luka sedikit pun.
Sedangkan saat ini, Ki Sancaka merasakan dadanya begitu sesak seperti baru saja terhantam sebuah godam yang sangat besar dan kuat. Bahkan seluruh persendian tulang tangannya terasa nyeri!
"Jangan besar kepala dulu, Bocah! Kali ini, aku akan mengadu nyawa denganmu!" desis Ki Sancaka dingin menggetarkan.
"Aku kira tidak ada gunanya kita mengadu jiwa, Ki. Apalagi, kalau sikapmu ini membela orang yang salah. Meskipun, orang itu adalah muridmu sendiri. Apa boleh buat, aku terpaksa melayanimu," tegas Rangga.
"Kau sudah mengganggu ketenangan Nyai Wisanggeni. Maka harus kau bayar mahal atas perbuatanmu itu, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Ki Sancaka geram. "Hanya nyawamulah yang patut untuk membayar keusilanmu!"
"Oh...?! Jadi si Setan Perempuan Penghisap Darah itu muridmu ?' kali ini nada suara Rangga terdengar agak sinis.
"Benar! Dan sekarang, bersiaplah menjemput kematianmu, Pendekar Rajawali Sakti!"
Rangga hanya mengangkat bahunya saja sedikit. Memang tidak ada lagi pilihan baginya. Terpaksa disambutnya tantangan yang sudah dibuka Ki Sancaka. Bahkan sejak kemunculannya tadi, orang tua itu terus saja mendesak ingin membunuhnya. Tapi setelah tahu kalau Ki Sancaka adalah guru Nyai Wisanggeni sikap Rangga yang semula masih mengalah, kini jadi berubah begitu jauh. Sorot matanya jadi begitu tajam, hingga membuat Ki Sancaka agak bergidik juga.
"Phuih!"
Ki Sancaka menyemburkan ludahnya, berusaha mengurangi getaran yang tiba-tiba terjadi dalam hatinya. Perlahan kakinya melangkah mendekati tongkatnya yang tadi ditancapkan di tanah. Mudah sekali tongkat kayunya dicabut. Sementara Rangga sendiri tetap berdiri tegak, tidak bergeming sedikit pun. Hanya tatapan matanya saja yang terlihat begitu tajam, memperhatikan setiap gerak Ki Sancaka dalam membuka jurusnya kembali untuk meneruskan pertarungan.
"Cabut senjatamu, Pendekar Rajawali Sakti!" bentak Ki Sancaka sambil mengebutkan tongkat kayunya ke depan.
"Untuk menghadapimu, tidak perlu menggunakan senjata," sambut Rangga dingin.
"Sombong ..! Jangan menyesal kalau kau mati tanpa sempat mencabut senjata, Bocah!" dengus Ki Sancaka geram.
Rangga hanya tersenyum tipis saja. Sementara, Ki Sancaka sudah mulai membuka jurusnya kembali. Tongkatnya segera dikebutkan cepat beberapa kali, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga, kebutan tongkat kayunya itu menimbulkan suara angin menderu bagai badai topan. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri tegak, tidak bergeming sedikit pun. Dan…
"Hm..."
Rangga mengumam sedikit, saat melihat Ki Sancaka menjajarkan tongkat dengan tubuhnya, sehingga ujung tongkatnya hampir menyentuh hidungnya sendiri. Tampak seluruh tubuh orang tua itu bergetar bagai terserang demam ringgi. Dan begitu getaran di tubuhnya menghilang, seketika itu juga seluruh tubuhnya memancarkan cahaya kuning keemasan. Pada bagian ujung tongkatnya juga memancar cahaya kuning keemasan, yang membentuk bulatan sebesar kepala manusia.
"Dia mulai menggunakan ilmu kesaktian. Hm... Apa boleh buat. Aku harus menggunakan aji 'Cakra Buana Sukma'," gumam Rangga dalam hati. "Hep...!"
Cepat Rangga merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Dan tubuhnya langsung bergerak miring ke kiri, begitu kakinya terentang cukup lebar ke samping. Lalu perlahan-lahan tubuhnya bergerak ke kanan. Dan ketika kembali tegak, terlihat cahaya biru berkilauan menyemburat, bagai hendak keluar dari kedua telapak tangannya yang masih merapat di depan dada.
Sementara itu, Ki Sancaka sendiri sudah siap melakukan serangan dengan mengerahkan ilmu pamungkasnya. Untuk beberapa saat, mereka berdua saling berdiam diri, seakan-akan tengah mengukur tingkat ilmu yang akan digunakan masing-masing.
"Sambutlah kematianmu, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat...!"
Diawali bentakan keras menggelegar bagai guntur membelah angkasa, Ki Sancaka melompat cepat sambil menghentakkan tongkatnya ke depan. Dan ketika bulatan cahaya kuning keemasan dari ujung tongkatnya melesat..
"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"
Rangga berteriak keras sambil menghentakkan kedua tangannya ke depan, dengan jari-jari terkembang lebar. Dan seketika itu juga dari kedua telapak tangannya yang terbuka melesat cahaya biru berkilauan yang menyilaukan mata.
Begitu cepatnya dua cahaya itu melesat, se-hingga...
Glarrr...!