Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Rahasia Candi Tua - 7

$
0
0
Cerita Silat | Rahasia Candi Tua | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Rahasia Candi Tua | Cersil Sakti | Rahasia Candi Tua pdf

Pendekar Rajawali Sakti - 108. Harga Sebuah Kepala Pendekar Rajawali Sakti - 112. Dendam Datuk Geni Pendekar Rajawali Sakti - 113. Pembalasan Iblis Sesat Pendekar Rajawali Sakti - 114. Gerhana Darah Biru Pendekar Rajawali Sakti - 124. Penghuni Telaga Iblis

4
 
 
  Pandan Wangi memandangi Rangga yang tidak berkedip menatap puncak Bukit Gandrik yang tampak angkuh namun terlihat rapuh itu. Sementara di sampingnya, berdiri seorang laki-laki tua berjubah kuning gading, yang selalu memainkan jari-jarinya pada untaian kalung dan batu hitam yang berkilat. Laki-laki tua itu juga menatap ke arah bukit itu dengan mata tidak berkedip sedikitpun juga.
  Rangga sudah menceritakan semua ten tang mimpi-mimpi dan bisikan-bisikan aneh yang selama ini selalu menghantuinya. Dan gadis itu baru tahu sebabnya, kenapa Pendekar Rajawali Sakti kelihatan berubah. Ternyata Dia tengah disibukkan dengan pikiran-pikiran dari mimpi-mimpi yang telah mengganggu ketenangannya.
  "Apa benar di sana ada candi tua, Ki?" tanya Pandan Wangi setengah berbisik pada laki-laki tua yang berdiri di sampingnya.
  "Benar, Nini," sahut Ki Sarpa.
  "Lalu, tentang pusaka-pusaka itu?" tanya Pandan Wangi lagi.
  "Kalau tentang itu, aku tidak tahu," sahut Ki Sarpa.
  Pandan Wangi memandangi laki-laki tua itu dengan dalam. Ki Sarpa sudah mengatakan kalau dia sebenarnya datang dari daerah Kidul, memang sengaja untuk ke Bukit Gandrik, karena mendengar adanya benda-benda pusaka yang tidak lagi memiliki majikan untuk merawatnya. Sebenarnya Pandan Wangi dan Rangga mengagumi keinginan Ki Sarpa untuk memiliki benda- benda pusaka itu untuk dirawat sebagai mana mestinya. Hanya saja Rangga lebih senang lagi jika benda-benda itu tetap berada pada tempatnya, tanpa ada seorangpun yang mencoba untuk mengusiknya.
  Pandan Wangi mengetahui keinginan Pendekar Rajawali Sakti dari sinar matanya ketika Ki Sarpa mengutarakan maksud kedatangannya ke Desa Bulakan ini. Meskipun Rangga tidak mengucapkannya. tapi Pandan Wangi bisa mengetahui dengan jelas sekali. Hal itu bisa dirasakan, karena mereka sudah cukup lama bersama-sama. Jadi sudah bisa mengetahui keinginan masing-masing tanpa harus diucapkan lebih dahulu.
  Sementara itu Rangga sudah melangkah se­ makin mendekati jurang di depannya. Pandan Wangi dan Ki Sarpa mendekati. Mereka kemudian berdiri mengapit Pendekar Rajawali Sakti di samping kanan dan kirinya.
  "Kau akan tetap ke sana juga, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
  "Mimpi itu akan terus hadir jika aku tidak datang ke sana, Pandan," sahut Rangga.
  "Apa di dalam mimpimu itu tidak dikatakan sesuatu yang harus kau lakukan, Kakang? " tanya Pandan Wangi lagi.
  Dari nada suaranya, Rangga sudah mengetahui kalau gadis ini menyimpan kekhawatiran. Hanya saja Pandan Wangi tidak menunjukkan dengan jelas. Gadis itu mampu menyembunyikan perasaannya dengan baik sekali, meskipun dia tidak bisa melakukannya di depan Pendekar Rajawali Sakti.
  "Tidak," sahut Rangga seraya menggelengkan kepalanya.
  Di dalam mimpi- mimpinya, Rangga memang tidak mengetahui untuk apa dia datang ke sana. Dia hanya tahu kalau harus ke Puncak Bukit Gandrik itu, tanpa tahu apa yang harus dilakukan di sana. Tapi Rangga sangat yakin kalau ada sesuatu di sana. Terlebih lagi dia mendengar bukan saja dari Ki Sarpa, tapi juga banyak yang mengatakan kalau di Puncak Bukit Gandrik ada sebuah candi tua yang menyimpan banyak benda-benda pusaka.
  "Aku akan melihat dulu ke seberang sana," kata Rangga.
  Dan sebelum mendapatkan persetujuan, Pendekar Rajawali Sakti langsung saja melentingkan tubuhnya menyeberangi jurang yang tidak begitu besar, tapi sangat dalam. Begitu dalamnya, sehingga dasar jurang tidak terlihat sama sekali.
  Indah sekali gerakan tubuh Pendekar Rajawali Sakti saat berada di udara melompati jurang yang ada di depannya. Hanya tiga kali dia memutar tubuhnya di udara, kemudian dengan manis sekali Pendekar Rajawali Sakti hinggap di seberang jurang itu. Sebentar Rangga menoleh ke arah Pandan Wangi dan Ki Sarpa. Kemudian dia mengedarkan pandangannya berkeliling.
  Namun belum juga Pendekar Rajawali Sakti melakukan sesuatu, mendadak saja seberkas sinar kuning kehijauan meluruk deras ke arahnya. Sinar kuning berbentuk bulat sebesar kepala bayi itu, menimbulkan suara menderu disertai kepulan asap tipis beraneka warna.
  "Hup! Yeaaah...!"
  Cepat sekali Rangga melentingkan tubuhnya ke udara, dan berputaran dua kali. Cahaya kuning kehijauan itu lewat sedikit di bawah tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Satu suara ledakan menggelegar terdengar dahsyat ketika bola bercahaya kuning kehijauan itu menghantam sebongkah batu sebesar kerbau.
  "Hap!"
  Manis sekali Rangga hinggap di tanah berumput tebal di tepi jurang. Dia langsung bersiap dengan sikap penuh kewaspadaan. Matanya sempat melirik ke arah batu yang hancur berkeping-keping. Sukar untuk dibayangkan jika bola bercahaya kuning kehijauan itu menghantam tubuhnya. Sudah pasti tubuhnya akan hancur seperti batu itu.
  Slap! Wusss!
  "Uts...!"
 
  ***
  Agak terkejut juga Pendekar Rajawali Sakti ketika tiba-tiba saja dari arah depan, kanan dan kirinya meluncur puluhan anak panah berwarna hitam pekat meluruk ke arah dirinya. Seketika itu juga, Rangga meliuk-liukkan tubuhnya menghindari serbuan anak panah hitam itu. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti merontokkan panah-panah yang mengancam tubuhnya dengan kibasan tangan dari jurus Sayap Rajawali Membelah Mega.
  Namun sepertinya hujan anak panah itu tidak akan berhenti, terus saja bermunculan dari segala arah. Hal ini membuat Rangga agak kewalahan juga menghadapinya. Kemanapun dia mencoba menghindar, Panah-panah hitam itu seperti memiliki mata saja, selalu mengikuti. Sementara Rangga belum bisa melihat orang yang telah melontarkan panah-panah itu.
  "Yeaaah...!" Tiba- tiba saja Pendekar Rajawali Sakti berteriak keras menggelegar.
  Bagaikan kilat, pemuda berbaju rompi putih itu memutar tubuhnya sambil melesat ke udara. Kedua tangannya merentang lebar bagaikan sayap seekor burung. Cepat sekali gerakan tangan Pendekar Rajawali Sakti, mendadak saja beberapa anak panah meluncur balik ke arah asalnya.
  Tak berapa lama kemudian, terdengar suara jeritan-jeritan melengking dan menyayat. Di susul kemudian dengan bermunculannya tubuh-tubuh dari dalam semak belukar dan dari balik pepohonan. Tubuh-tubuh berbaju hitam pekat dengan panah menghujam membuat darah memuncrat ke luar dengan deras sekali. Saat itu juga, hujan anak panah terhenti seketika. Rangga kembali menjejakkan kakinya di tanah berumpun dengan manis sekali.
  Dan sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa mengedarkan pandangannya, mendadak saja tubuh- tubuh berbaju hitam bermunculan dari dalam semak belukar dan dari balik pepohonan. Mereka semua bersenjatakan golok yang berkilatan tertimpa cahaya matahari. Orang-orang berbaju serba hitam itu, berlompatan sambil mengelebatkan goloknya dengan cepat.
  Tak ada yang mengucapkan kata-kata. Mereka langsung saja menyerang Pendekar Rajawali Sakti sambil berteriak-teriak keras. Golok-golok berkilat itu, berkelebatan cepat mengarah tubuh pemuda berbaju rompi putih. Namun dengan gerakan yang manis dan lincah sekali, Rangga menghindarkan diri dari serangan cepat yang datang dari segala penjuru. Bahkan beberapa kali dia sempat melontarkan serangan balasan. Jeritan melengking dan pekik pertempuran, seketika terdengar berbaur menjadi satu.
  "Aku datang, Kakang...! " terdengar seruan keras melengking tinggi.
  Rangga sempat melirik ke arah suara yang didengarnya tadi. Tampak Pandan Wangi sudah melompati jurang bersama Ki Sarpa. Mereka langsung terjun ke dalam kancah pertempuran. Ikut campurnya Pandan Wangi dan Ki Sarpa, membuat orang-orang berbaju hitam itu jadi terpecah perhatiannya. Dan mereka terpaksa membagi kekuatan. Hal ini tentu saja sangat merugikan mereka sendiri, karena tingkat kepandaian tiga orang itu jauh lebih tinggi dari mereka semua.
  Jeritan-jeritan melengking tinggi. semakin sering terdengar. Tubuh-tubuh bersimbah darah, terus berjatuhan bergelimpangan tak bernyawa lagi. Dengan kipas baja putih yang terkenal maut, Pandan Wangi mengamuk bagai ombak menghantam batu karang. Belum lagi Ki Sarpa yang bertarung dengan sengit mempergunakan pedang. Sedangkan Rangga sendiri masih bertangan kosong. Namun begitu, setiap pukulan yang dilontarkannya, mengandung tenaga dalam yang sempurna. Tak ada seorangpun dari lawan-lawannya yang bisa membendung serangan Pendekar Rajawali Sakti. Pukulan-pukulan yang dilontarkannya, selalu mengandung hawa maut.
  Hingga dalam waktu tak berapa lama saja, sudah tak terhitung lagi. berapa jumlah orang- orang berbaju serba hitam yang menggeletak tak bernyawa lagi. Udara di sekitar jurang sudah penuh sesak oleh bau anyir darah yang menyebar, darah mengucur dari tubuh-tubuh tak bernyawa.
  Teng! Teng! Teng...!
  Tiba-tiba saja terdengar bunyi suara genta yang keras sekali. Mendadak orang-orang berbaju serba hitam itu berlompatan meninggalkan arena pertarungan. Lesatan mereka cukup cepat, sehingga dalam waktu singkat, sudah lenyap ke dalam hutan yang tidak begitu lebat.
  "Jangan di kejar...!" sentak Rangga ketika Pandan Wangi hendak mengejarnya.
  Pandan Wangi mengurungkan niatnya. Dia menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Ki Sarpa sudah lebih dulu berada di samping Rangga. Pedang yang berlumuran darah segera dia masukkan ke dalam sarungnya di pinggang. Pandan Wangi juga menyelipkan senjata kipas mautnya di balik ikat pinggangnya.
  039;Langsung saja, Kakang?" tanya Pandan Wangi tidak sabaran ingin segera ke puncak Bukit Gandrik yang penuh misteri itu.
  "Ya, ayo

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>