Cerita Silat | Bunuh Pendekar Rajawali Sakti | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Bunuh Pendekar Rajawali Sakti | Cersil Sakti | Bunuh Pendekar Rajawali Sakti pdf
Pendekar Rajawali Sakti 140. Mustika Bernoda Darah Cersil mwb Kuda Putih Pendekar Rajawali Sakti - 141. Dendam Gadis Pertapa Cersil mwb Kasih Diantara Remaja Pendekar Rajawali Sakti - 142. Istana Ratu Sihir
6
Seorang gadis cantik berbaju biru duduk tenang
di pojok sebuah kedai di Desa Sampit. Sesekali mulutnya mengunyah makanan di depan mejanya. Wajahnya
tampak murung. Dan meski perhatiannya kelihatan
terpusat pada makanannya, sesungguhnya telinganya
sedang dipasang lebar-lebar mendengar semua perca-kapan orang-orang di kedai ini. Dan itu semakin mem-
buat hatinya resah bercampur sedih. Bahkan tidak
percaya dan terasa amat menyakitkan!
"Rasanya sulit dipercaya kalau Pendekar Rajawali Sakti sampai melakukan perbuatan biadab itu!"
kata seorang laki-laki gemuk bermuka bundar. Dia
duduk tidak jauh dari meja gadis itu. Sejak tadi mu-lutnya terlihat tidak henti-hentinya mengunyah. Se-mentara pandangannya secara seksama tertuju pada
dua orang kawannya.
"He, apa yang kau tahu, Bodong?! Kerjamu ha-nya makan dan tidur!" ejek kawannya yang bertubuh
ceking. Dia memakai ikat kepala berbunga- bunga. Di
desa ini laki-laki berusia sekitar dua puluh enam ta-hun ini dikenal bernama Sumanta.
Mendengar ejekan Sumanta, kawan mereka yang
seorang lagi tampak sedikit tersenyum. Sejak tadi, wa-jah orang itu amat menggebu-gebu menceritakan beri-ta yang belakangan ini amat menghebohkan. Yaitu,
Pendekar Rajawali Sakti yang mengadakan pembunu-han di mana- mana secara biadab.
"Dasar si Bodong...! "
"Kalian berdua hanya bisa mengejek. Aku ber-sungguh-sungguh dan sama sekali tidak mengerti. Ke-napa Pendekar Rajawali Sakti yang selama ini dikenal
sebagai tokoh yang sering memerangi kejahatan, kok
malah membunuh tokoh-tokoh silat golongan lurus?"
sahut si Bodong sambil menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal. Wajahnya kelihatan bingung.
"Kenapa musti heran. Segala sesuatu di dunia ini
bisa berubah ya, Min?" sahut Sumanta.
"Iya! Apalagi, kalau telah terpengaruh harta atau
wanita."
"Jadi, kalian mengira Pendekar Rajawali Sakti
terpengaruh harta atau wanita, sehingga mau berbuat
sekeji itu?" Tanya si Bodong lagi, dengan wajah sema-kin bodoh.
"Yaaah, mungkin dua-duanya," sahut laki-laki
yang bernama Samin tidak acuh.
Si Bodong terdiam, memikirkan kata-kata Samin.
Sementara itu, dari pintu kedai berdiri seorang
laki-laki kurus bermata cekung. Tangannya menggeng-gam sebatang tongkat yang pangkalnya terdapat se-buah rantai besi sepanjang lima jengkal. Di ujung ran-tai besi, tergantung tiga bilah pisau. Bajunya lusuh.
Bahkan mirip gem- bel. Tubuhnya bau, sehingga mem-buat sebagian pengunjung yang tidak tahan oleh aro-ma itu segera menutup hidungnya. Namun laki-laki
berusia sekitar empat puluh tahun itu sama sekali ti-dak mempedulikan pandangan seluruh orang yang be- rada di kedai ini. Dengan tenang, dia mengambil tem-pat agak di tengah. Lalu pandangannya beredar ke se-keliling ruangan, sehingga bertumpu agak lama pada
gadis berbaju biru itu.
"Eh, Kisanak akan pesan apa?" Tanya seorang
pelayan menghampiri laki-laki mirip gembel itu dengan
wajah takut-takut.
Laki-laki ini melirik sekilas dengan tatapan ta-jam. Dan si pelayan yang sejak tadi memang sudah
ngeri melihat wajah pengunjungnya yang berkesan
menggiriskan, sudah semakin bergidik saja bulu ku-duknya.
"Makanan apa saja yang kalian miliki...?" Tanya
laki-laki itu dengan suara serak
Si pelayan menyebutnya satu persatu dengan
suara sedikit gemetar.
"Hm.... Ternyata makanan di kedai ini kurang
lengkap," sahut laki-laki itu setengah bergumam.
"Kisanak! Kedai kami merupakan yang terbesar
dan terlengkap hidangannya di seluruh kadipaten ini.
Karena, kami ingin memberi kepuasan pada pengun-jung. Bila ada sesuatu yang kau sukai, boleh katakan.
Dan, kami akan berusaha menghidangkannya."
"Hm.... Kalau begitu, tolong sediakan daging se-gar Pendekar Rajawali Sakti serta seguci besar darah-nya!" sahut laki-laki itu bernada dingin.
Si pelayan tersedak dan wajahnya tampak kaget.
"Kenapa? Apakah kau tidak mampu menyedia-kan-nya? Bukankah kau katakan tadi, kedai ini beru-saha memberi kepuasan pada pengunjung? Atau, ba-rangkali aku sendiri yang harus menyediakan-nya?"
Tanya laki- laki itu dengan senyum mengejek.
"Kisanak.... Permintaanmu tidak lumrah. Mana
mungkin kami bisa menyediakannya? "
"Kalau begitu, sediakan yang lainnya."
"Apakah gerangan yang Kisanak inginkan?"
"Kalau kau tidak bisa menyediakan daging segar
Pendekar Rajawali Sakti, maka kau boleh menyediakan
kekasihnya sebagai pengganti! "
Kembali wajah si pelayan semakin bingung tidak
mengerti. Dan semua pengunjung yang dan pertama
memandang aneh pada laki-laki ini, sema kin tertarik
saja.
"Kisanak...!"
"Hm.... Kau tidak perlu repot-repot Kalau me-mang tidak mampu menyediakannya, setidaknya kau
telah cukup membantu. Sebab, dia berada di ruangan
kedaimu ini."
Kata-kata si pelayan terhenti ketika laki-laki itu
langsung memotongnya.
"Eh, apa maksudmu, Kisanak?" "Maksudku ke- kasih si Pendekar Rajawali Sakti ada dalam ruangan
kedai ini. Dan, biarlah aku yang akan menangkapnya.
Lalu, setelah itu kau masaklah buatku."
Baru saja kata-kata itu selesai, mendadak men-celat sebuah cangkir ke arah gadis berbaju biru yang
sejak tadi sama sekali tidak mempedulikan laki-laki
itu.
Namun mendapat serangan mendadak seperti
itu, terkejut juga hati gadis itu. Tubuhnya cepat sedikit
bergeser, sehingga cangkir itu hancur berantakan
membentur tembok. Sementara tubuh laki-laki kumal
itu telah mencelat ke arahnya sambil menghantamkan
telapak tangan kanannya.
"Hiiih! "
Namun, gadis itu telah lebih dulu melompat,
menghindar.
Bruak!
"Setan buduk!"
***
Meja serta kursi tempat gadis berbaju biru tadi
berada, hancur berantakan. Sementara laki-laki berba-ju gembel itu sama sekali tidak mempedulikan. Dan
dia sudah langsung mengayunkan tongkat menyerang
gadis berbaju biru sambil terkekeh-kekeh.
"He he he...! Tidak bertemu Pendekar Rajawali
Sakti kekasihmu, maka kau pun bisa kujadikan tum-bal. Berhati-hatilah kau. Sebab, bukan aku saja yang
hendak mencincangmu. Tapi semua tokoh persilatan
pun ingin berebut membunuhmu!"
Pendekar Rajawali Sakti 140. Mustika Bernoda Darah Cersil mwb Kuda Putih Pendekar Rajawali Sakti - 141. Dendam Gadis Pertapa Cersil mwb Kasih Diantara Remaja Pendekar Rajawali Sakti - 142. Istana Ratu Sihir
6
Seorang gadis cantik berbaju biru duduk tenang
di pojok sebuah kedai di Desa Sampit. Sesekali mulutnya mengunyah makanan di depan mejanya. Wajahnya
tampak murung. Dan meski perhatiannya kelihatan
terpusat pada makanannya, sesungguhnya telinganya
sedang dipasang lebar-lebar mendengar semua perca-kapan orang-orang di kedai ini. Dan itu semakin mem-
buat hatinya resah bercampur sedih. Bahkan tidak
percaya dan terasa amat menyakitkan!
"Rasanya sulit dipercaya kalau Pendekar Rajawali Sakti sampai melakukan perbuatan biadab itu!"
kata seorang laki-laki gemuk bermuka bundar. Dia
duduk tidak jauh dari meja gadis itu. Sejak tadi mu-lutnya terlihat tidak henti-hentinya mengunyah. Se-mentara pandangannya secara seksama tertuju pada
dua orang kawannya.
"He, apa yang kau tahu, Bodong?! Kerjamu ha-nya makan dan tidur!" ejek kawannya yang bertubuh
ceking. Dia memakai ikat kepala berbunga- bunga. Di
desa ini laki-laki berusia sekitar dua puluh enam ta-hun ini dikenal bernama Sumanta.
Mendengar ejekan Sumanta, kawan mereka yang
seorang lagi tampak sedikit tersenyum. Sejak tadi, wa-jah orang itu amat menggebu-gebu menceritakan beri-ta yang belakangan ini amat menghebohkan. Yaitu,
Pendekar Rajawali Sakti yang mengadakan pembunu-han di mana- mana secara biadab.
"Dasar si Bodong...! "
"Kalian berdua hanya bisa mengejek. Aku ber-sungguh-sungguh dan sama sekali tidak mengerti. Ke-napa Pendekar Rajawali Sakti yang selama ini dikenal
sebagai tokoh yang sering memerangi kejahatan, kok
malah membunuh tokoh-tokoh silat golongan lurus?"
sahut si Bodong sambil menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal. Wajahnya kelihatan bingung.
"Kenapa musti heran. Segala sesuatu di dunia ini
bisa berubah ya, Min?" sahut Sumanta.
"Iya! Apalagi, kalau telah terpengaruh harta atau
wanita."
"Jadi, kalian mengira Pendekar Rajawali Sakti
terpengaruh harta atau wanita, sehingga mau berbuat
sekeji itu?" Tanya si Bodong lagi, dengan wajah sema-kin bodoh.
"Yaaah, mungkin dua-duanya," sahut laki-laki
yang bernama Samin tidak acuh.
Si Bodong terdiam, memikirkan kata-kata Samin.
Sementara itu, dari pintu kedai berdiri seorang
laki-laki kurus bermata cekung. Tangannya menggeng-gam sebatang tongkat yang pangkalnya terdapat se-buah rantai besi sepanjang lima jengkal. Di ujung ran-tai besi, tergantung tiga bilah pisau. Bajunya lusuh.
Bahkan mirip gem- bel. Tubuhnya bau, sehingga mem-buat sebagian pengunjung yang tidak tahan oleh aro-ma itu segera menutup hidungnya. Namun laki-laki
berusia sekitar empat puluh tahun itu sama sekali ti-dak mempedulikan pandangan seluruh orang yang be- rada di kedai ini. Dengan tenang, dia mengambil tem-pat agak di tengah. Lalu pandangannya beredar ke se-keliling ruangan, sehingga bertumpu agak lama pada
gadis berbaju biru itu.
"Eh, Kisanak akan pesan apa?" Tanya seorang
pelayan menghampiri laki-laki mirip gembel itu dengan
wajah takut-takut.
Laki-laki ini melirik sekilas dengan tatapan ta-jam. Dan si pelayan yang sejak tadi memang sudah
ngeri melihat wajah pengunjungnya yang berkesan
menggiriskan, sudah semakin bergidik saja bulu ku-duknya.
"Makanan apa saja yang kalian miliki...?" Tanya
laki-laki itu dengan suara serak
Si pelayan menyebutnya satu persatu dengan
suara sedikit gemetar.
"Hm.... Ternyata makanan di kedai ini kurang
lengkap," sahut laki-laki itu setengah bergumam.
"Kisanak! Kedai kami merupakan yang terbesar
dan terlengkap hidangannya di seluruh kadipaten ini.
Karena, kami ingin memberi kepuasan pada pengun-jung. Bila ada sesuatu yang kau sukai, boleh katakan.
Dan, kami akan berusaha menghidangkannya."
"Hm.... Kalau begitu, tolong sediakan daging se-gar Pendekar Rajawali Sakti serta seguci besar darah-nya!" sahut laki-laki itu bernada dingin.
Si pelayan tersedak dan wajahnya tampak kaget.
"Kenapa? Apakah kau tidak mampu menyedia-kan-nya? Bukankah kau katakan tadi, kedai ini beru-saha memberi kepuasan pada pengunjung? Atau, ba-rangkali aku sendiri yang harus menyediakan-nya?"
Tanya laki- laki itu dengan senyum mengejek.
"Kisanak.... Permintaanmu tidak lumrah. Mana
mungkin kami bisa menyediakannya? "
"Kalau begitu, sediakan yang lainnya."
"Apakah gerangan yang Kisanak inginkan?"
"Kalau kau tidak bisa menyediakan daging segar
Pendekar Rajawali Sakti, maka kau boleh menyediakan
kekasihnya sebagai pengganti! "
Kembali wajah si pelayan semakin bingung tidak
mengerti. Dan semua pengunjung yang dan pertama
memandang aneh pada laki-laki ini, sema kin tertarik
saja.
"Kisanak...!"
"Hm.... Kau tidak perlu repot-repot Kalau me-mang tidak mampu menyediakannya, setidaknya kau
telah cukup membantu. Sebab, dia berada di ruangan
kedaimu ini."
Kata-kata si pelayan terhenti ketika laki-laki itu
langsung memotongnya.
"Eh, apa maksudmu, Kisanak?" "Maksudku ke- kasih si Pendekar Rajawali Sakti ada dalam ruangan
kedai ini. Dan, biarlah aku yang akan menangkapnya.
Lalu, setelah itu kau masaklah buatku."
Baru saja kata-kata itu selesai, mendadak men-celat sebuah cangkir ke arah gadis berbaju biru yang
sejak tadi sama sekali tidak mempedulikan laki-laki
itu.
Namun mendapat serangan mendadak seperti
itu, terkejut juga hati gadis itu. Tubuhnya cepat sedikit
bergeser, sehingga cangkir itu hancur berantakan
membentur tembok. Sementara tubuh laki-laki kumal
itu telah mencelat ke arahnya sambil menghantamkan
telapak tangan kanannya.
"Hiiih! "
Namun, gadis itu telah lebih dulu melompat,
menghindar.
Bruak!
"Setan buduk!"
***
Meja serta kursi tempat gadis berbaju biru tadi
berada, hancur berantakan. Sementara laki-laki berba-ju gembel itu sama sekali tidak mempedulikan. Dan
dia sudah langsung mengayunkan tongkat menyerang
gadis berbaju biru sambil terkekeh-kekeh.
"He he he...! Tidak bertemu Pendekar Rajawali
Sakti kekasihmu, maka kau pun bisa kujadikan tum-bal. Berhati-hatilah kau. Sebab, bukan aku saja yang
hendak mencincangmu. Tapi semua tokoh persilatan
pun ingin berebut membunuhmu!"