Cerita Silat | Bunuh Pendekar Rajawali Sakti | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Bunuh Pendekar Rajawali Sakti | Cersil Sakti | Bunuh Pendekar Rajawali Sakti pdf
Pendekar Rajawali Sakti 140. Mustika Bernoda Darah Cersil mwb Kuda Putih Pendekar Rajawali Sakti - 141. Dendam Gadis Pertapa Cersil mwb Kasih Diantara Remaja Pendekar Rajawali Sakti - 142. Istana Ratu Sihir
-dan Wangi. Begitu pedangnya membentur tongkat si
Kelelawar Buduk, gadis itu menunduk-kan kepala.
Sementara senjata di tangan kirinya yang berupa se-buah kipas baja yang selama ini membuat namanya
terkenal, menyambar ke arah dada dengan kecepatan
sulit diikuti mata. Si Kelelawar Buduk terkejut dan me-lompat ke belakang.
"Uhhh...!"
"Hiiih!"
Pandan Wangi terns melompat, kini dengan sabe-tan pedangnya. Si Kelelawar Buduk tidak tinggal diam.
Langsung ditangkisnya serangan itu dengan tongkat-nya. Cepat sekali tongkatnya berbalik, sehingga tiga bi-lah pisau yang berada di ujung rantai, mencelat me-nyambar tiga titik kematian di tubuh Pandan Wangi.
Wut! Trak!
Pandan Wangi cepat meliukkan tubuh se hingga,
sebilah pisau yang menyambar pinggang luput dari sa-saran. Sementara sebuah lagi yang menyambar ke
arah jantung, kena ditangkis kipas-nya. Sedangkan pi-sau terakhir dihantam pedangnya, yang terus melibat
ke rantai. Gadis itu bermaksud membetotnya.
Trang!
"Heh?!"
Bukan main kagetnya si Kelelawar Buduk. Sebi-lah pisaunya rontok dipapas senjata gadis itu. Bahkan
kipas maut Pandan Wangi cepat menyambar ke arah
leher dan nyaris merobek kulitnya, untung saja dia
mencelat ke belakang dengan membuat beberapa kali
gerakan jungkir balik
"Betina liar! Agaknya hebat juga kepandaian-mu,
he?!" dengus si Kelelawar Buduk.
"Itu belum seberapa. Kau akan melihat lebih dari
itu, setelah kedua tangan dan kakimu ku-buat putus!"
cibir Pandan Wangi kembali melompat menyerang.
"He he he...! Kau kira semudah itu? Coba tahan
pukulanku ini!"
si Kelelawar Buduk menyodokkan telapak tangan
kanannya ke muka. Dan bersamaan dengan itu, me-lesat sekelebatan cahaya ungu menyambar Pandan
Wangi.
"Uts, sial! "
Sebuah pohon hancur berantakan terkena han-taman pukulan si Kelelawar Buduk Dan kalau Pandan
Wangi tidak merunduk, nasibnya sama seperti pohon
itu. Pandan Wangi memaki geram dengan hati mang-kel. Dan disertai kemarahan meluap dia kembali me-nyerang laki-laki itu dengan kekuatan penuh.
"Heaaa...!"
Si Kelelawar Buduk terkesiap. Pedang di tangan
gadis itu seperti memancarkan percik-percik bunga api
dalam kelebatan yang sulit diikuti pandangan mata.
Kemudian pedang itu mendekat bagai kilat, dan men-gurungnya dari segala arah.
"Setan!"
Si Kelelawar Buduk seraya melompat kesana
kemari dengan mengerahkan segenap ilmu meringan-kan tubuhnya. Tongkatnya berusaha menangkis senja-ta Pandan Wangi.
Kali ini terlihat bahwa si Kipas Maut berusaha
menghindar dari benturan kedua senjata. Dan dia
hanya mengelak, lalu menyerang secara tidak terduga.
Kalaupun kedua senjata mereka beradu, agaknya hal
itu hanya membuat si Kelelawar Buduk repot saja.
Trak! Bet!
"Uhhh...!"
Tongkat si Kelelawar Buduk baru saja menang- kis. Namun Pedang Naga Geni milik si Kipas Maut ber-gerak cepat ke pangkal lengan. Karuan saja, dia cepat-
cepat menarik lengannya. Tubuhnya langsung berge-rak ke samping, dengan kepala menunduk ketika pe-dang gadis itu berkelebat menyambar leher. Tubuhnya
terus mencelat ke belakang, ketika ujung kipas Pandan
Wangi menyambar ke arah dada. Tapi si Kipas Maut
tidak menyia-nyiakan kesempatan pada jarak dekat
itu. Sambil berbalik mengejar, ujung kaki kirinya
menghantam ke arah pinggang belakang si Kelelawar
Buduk.
Duk!
"Aduuuh...!"
Si Kelelawar Buduk mengeluh kesakitan, dan
nyaris terjerembab. Untung saja dia bisa menguasai di-ri. Namun Pandan Wangi tidak memberi kesempatan
padanya barang sekejap. Satu sodokan maut cepat di-lepaskannya ke arah dada. si Kelelawar Buduk mengi-baskan tongkat dengan untung-untungan, karena
keadaannya belum siaga betul. Di luar dugaan, gadis
itu bergerak ke samping bawah. Lalu tiba-tiba saja ki- pas di tangannya menyambar ke arah perut.
Bret!
"Aaakh!"
Si Kelelawar Buduk menjerit kesakitan, lebih ke-ras ketimbang tadi. Telapak kirinya langsung mende-kap perut yang terluka parah dan terus mengucurkan
darah. Wajahnya berkerut menahan sakit bercampur
dendam.
"Hm.... Itulah pelajaran pahit yang kujanjikan
padamu...!" Dengus Pandan Wangi dengan mata me-mandang tajam si Kelelawar Buduk.
"Sial! Huh! Kau kira dengan begini, sudah me-ngalahkanku? Phuih! Jangan harap! "
"Siapa yang inginkan kekalahanmu? Dengan ca-ramu ini, aku malah ingin membunuhmu!" sahut gadis
itu dingin.
"Majulah! Kau akan dapat balasan yang setim-pal...!" dengus si Kelelawar Buduk mengancam.
"Chuih! Orang sepertimu memang tidak patut di-kasihani. Kau boleh mampus sekarang juga!"
Pandan Wangi mulai geram dan naik pitam. Na-mun sebelum dia melompat menyerang, mendadak
muncul dua sosok tubuh akan melewati mereka.
Pandan Wangi terkesiap dan si Kelelawar Buduk
pun terkejut begitu melihat seorang gadis belia berwa- jah cantik berbaju merah muda. Dia membawa pedang
di punggungnya. Tapi bukan gadis itu yang menarik
perhatiannya. Melainkan, pemuda tampan berbaju
rompi putih yang berjalan di sebelahnya. Dia tidak bisa
menahan gembira. Dan dengan wajah cer ah, Pandan
Wangi berlari kecil menghampiri.
"Kakang Rangga...!"
Pemuda tampan berbaju rompi putih yang me-mang Rangga terkesiap dan menoleh. Demikian juga
gadis berbaju merah muda itu. Bedanya, pemuda itu
memandang Pandan Wangi dengan aneh dan asing,
seperti baru pertama kali bertemu. Sedang gadis di se-belahnya sudah langsung bertindak, langsung melom-pat menghalangi Pandan Wangi.
"Perempuan rendah! Enyahlah kau...!"
Mendengar itu Pandan Wangi terkejut. Kontan
langkahnya dihentikan. Dia seperti menyadari kalau
gadis berbaju merah muda ini dekat dengan pemuda
itu. Padahal dalam kegembiraan hatinya, gadis yang
tak lain Sarti itu seolah-olah tidak terlihat dalam pan- dangannya. Wajahnya tampak bingung bercampur ma-rah. Matanya bergantian memandang mereka berdua.
"Siapa kau...?!" Bentak Pandan Wangi kesal.
***
Pendekar Rajawali Sakti 140. Mustika Bernoda Darah Cersil mwb Kuda Putih Pendekar Rajawali Sakti - 141. Dendam Gadis Pertapa Cersil mwb Kasih Diantara Remaja Pendekar Rajawali Sakti - 142. Istana Ratu Sihir
-dan Wangi. Begitu pedangnya membentur tongkat si
Kelelawar Buduk, gadis itu menunduk-kan kepala.
Sementara senjata di tangan kirinya yang berupa se-buah kipas baja yang selama ini membuat namanya
terkenal, menyambar ke arah dada dengan kecepatan
sulit diikuti mata. Si Kelelawar Buduk terkejut dan me-lompat ke belakang.
"Uhhh...!"
"Hiiih!"
Pandan Wangi terns melompat, kini dengan sabe-tan pedangnya. Si Kelelawar Buduk tidak tinggal diam.
Langsung ditangkisnya serangan itu dengan tongkat-nya. Cepat sekali tongkatnya berbalik, sehingga tiga bi-lah pisau yang berada di ujung rantai, mencelat me-nyambar tiga titik kematian di tubuh Pandan Wangi.
Wut! Trak!
Pandan Wangi cepat meliukkan tubuh se hingga,
sebilah pisau yang menyambar pinggang luput dari sa-saran. Sementara sebuah lagi yang menyambar ke
arah jantung, kena ditangkis kipas-nya. Sedangkan pi-sau terakhir dihantam pedangnya, yang terus melibat
ke rantai. Gadis itu bermaksud membetotnya.
Trang!
"Heh?!"
Bukan main kagetnya si Kelelawar Buduk. Sebi-lah pisaunya rontok dipapas senjata gadis itu. Bahkan
kipas maut Pandan Wangi cepat menyambar ke arah
leher dan nyaris merobek kulitnya, untung saja dia
mencelat ke belakang dengan membuat beberapa kali
gerakan jungkir balik
"Betina liar! Agaknya hebat juga kepandaian-mu,
he?!" dengus si Kelelawar Buduk.
"Itu belum seberapa. Kau akan melihat lebih dari
itu, setelah kedua tangan dan kakimu ku-buat putus!"
cibir Pandan Wangi kembali melompat menyerang.
"He he he...! Kau kira semudah itu? Coba tahan
pukulanku ini!"
si Kelelawar Buduk menyodokkan telapak tangan
kanannya ke muka. Dan bersamaan dengan itu, me-lesat sekelebatan cahaya ungu menyambar Pandan
Wangi.
"Uts, sial! "
Sebuah pohon hancur berantakan terkena han-taman pukulan si Kelelawar Buduk Dan kalau Pandan
Wangi tidak merunduk, nasibnya sama seperti pohon
itu. Pandan Wangi memaki geram dengan hati mang-kel. Dan disertai kemarahan meluap dia kembali me-nyerang laki-laki itu dengan kekuatan penuh.
"Heaaa...!"
Si Kelelawar Buduk terkesiap. Pedang di tangan
gadis itu seperti memancarkan percik-percik bunga api
dalam kelebatan yang sulit diikuti pandangan mata.
Kemudian pedang itu mendekat bagai kilat, dan men-gurungnya dari segala arah.
"Setan!"
Si Kelelawar Buduk seraya melompat kesana
kemari dengan mengerahkan segenap ilmu meringan-kan tubuhnya. Tongkatnya berusaha menangkis senja-ta Pandan Wangi.
Kali ini terlihat bahwa si Kipas Maut berusaha
menghindar dari benturan kedua senjata. Dan dia
hanya mengelak, lalu menyerang secara tidak terduga.
Kalaupun kedua senjata mereka beradu, agaknya hal
itu hanya membuat si Kelelawar Buduk repot saja.
Trak! Bet!
"Uhhh...!"
Tongkat si Kelelawar Buduk baru saja menang- kis. Namun Pedang Naga Geni milik si Kipas Maut ber-gerak cepat ke pangkal lengan. Karuan saja, dia cepat-
cepat menarik lengannya. Tubuhnya langsung berge-rak ke samping, dengan kepala menunduk ketika pe-dang gadis itu berkelebat menyambar leher. Tubuhnya
terus mencelat ke belakang, ketika ujung kipas Pandan
Wangi menyambar ke arah dada. Tapi si Kipas Maut
tidak menyia-nyiakan kesempatan pada jarak dekat
itu. Sambil berbalik mengejar, ujung kaki kirinya
menghantam ke arah pinggang belakang si Kelelawar
Buduk.
Duk!
"Aduuuh...!"
Si Kelelawar Buduk mengeluh kesakitan, dan
nyaris terjerembab. Untung saja dia bisa menguasai di-ri. Namun Pandan Wangi tidak memberi kesempatan
padanya barang sekejap. Satu sodokan maut cepat di-lepaskannya ke arah dada. si Kelelawar Buduk mengi-baskan tongkat dengan untung-untungan, karena
keadaannya belum siaga betul. Di luar dugaan, gadis
itu bergerak ke samping bawah. Lalu tiba-tiba saja ki- pas di tangannya menyambar ke arah perut.
Bret!
"Aaakh!"
Si Kelelawar Buduk menjerit kesakitan, lebih ke-ras ketimbang tadi. Telapak kirinya langsung mende-kap perut yang terluka parah dan terus mengucurkan
darah. Wajahnya berkerut menahan sakit bercampur
dendam.
"Hm.... Itulah pelajaran pahit yang kujanjikan
padamu...!" Dengus Pandan Wangi dengan mata me-mandang tajam si Kelelawar Buduk.
"Sial! Huh! Kau kira dengan begini, sudah me-ngalahkanku? Phuih! Jangan harap! "
"Siapa yang inginkan kekalahanmu? Dengan ca-ramu ini, aku malah ingin membunuhmu!" sahut gadis
itu dingin.
"Majulah! Kau akan dapat balasan yang setim-pal...!" dengus si Kelelawar Buduk mengancam.
"Chuih! Orang sepertimu memang tidak patut di-kasihani. Kau boleh mampus sekarang juga!"
Pandan Wangi mulai geram dan naik pitam. Na-mun sebelum dia melompat menyerang, mendadak
muncul dua sosok tubuh akan melewati mereka.
Pandan Wangi terkesiap dan si Kelelawar Buduk
pun terkejut begitu melihat seorang gadis belia berwa- jah cantik berbaju merah muda. Dia membawa pedang
di punggungnya. Tapi bukan gadis itu yang menarik
perhatiannya. Melainkan, pemuda tampan berbaju
rompi putih yang berjalan di sebelahnya. Dia tidak bisa
menahan gembira. Dan dengan wajah cer ah, Pandan
Wangi berlari kecil menghampiri.
"Kakang Rangga...!"
Pemuda tampan berbaju rompi putih yang me-mang Rangga terkesiap dan menoleh. Demikian juga
gadis berbaju merah muda itu. Bedanya, pemuda itu
memandang Pandan Wangi dengan aneh dan asing,
seperti baru pertama kali bertemu. Sedang gadis di se-belahnya sudah langsung bertindak, langsung melom-pat menghalangi Pandan Wangi.
"Perempuan rendah! Enyahlah kau...!"
Mendengar itu Pandan Wangi terkejut. Kontan
langkahnya dihentikan. Dia seperti menyadari kalau
gadis berbaju merah muda ini dekat dengan pemuda
itu. Padahal dalam kegembiraan hatinya, gadis yang
tak lain Sarti itu seolah-olah tidak terlihat dalam pan- dangannya. Wajahnya tampak bingung bercampur ma-rah. Matanya bergantian memandang mereka berdua.
"Siapa kau...?!" Bentak Pandan Wangi kesal.
***