Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Pendekar 100 Hari - 66

$
0
0
Cerita Silat | Pendekar Seratus Hari | by S.D Liong | Pendekar 100 Hari | Cersil Sakti | Pendekar Seratus Hari pdf

Pendekar Rajawali Sakti - 168. Kitab Naga Jonggrang Pendekar Hina Kelana ~ Satria Terkutuk Berkaki Tunggal Pendekar Bloon ~ Anak Langit & Pendekar Lugu Pendekar Rajawali Sakti - 170. Siluman Bukit Tengger Pendekar Bayangan Sukma ~ Sumpah Jago-Jago Bayaran

t menghina
  aku......” habis berkata Giok-hou terus taburkan
  pedangnya dan menyerang Siau Lo-seng sampai tiga
  jurus.
  Siau Lo-seng hanya tertawa meloroh sambil
  berlincahan menghindar.
  Penasaran sekali Giok-hou karena ketiga jurus
  serangannya yang dahsyat dan cepat itu tak mampu
  melukai orang.
  “Apabila tak mampu melukainya, paling tidak dia
  harus dapat kuhalau mundur. Kalau tidak, ah......”
  Tetapi Siau Lo-seng tidak mundur, kebalikannya malah
  maju setengah langkah untuk menyambar siku
  lengan kanan Giok-hou.
  Giok-hou terkejut sekali dan terpaksa menarik pulang
  pedang untuk mundur selangkah.
  “Siapa engkau ini? Apa perlumu datang kemari?”
  bentaknya.
  Siau Lo-seng tetap tersenyum. “Kami hendak mencari
  Pena Penunjuk Langit Njo Jong-ho atau Nyo bengcu.”
  Giok-hou berobah wajahnya lalu tertawa dingin:
  “Kalau begitu kalian ini orang Lembah Kumandang.”
  Pek Wan Taysu tertawa, menyebut doa Omitohud:
  “Lo-ni adalah Pek Wan dari ruang Tat-mo-tong gereja
  Siau-lim-si.
  Mendengar keterangan itu terkejutlah Giok-hou,
  pikirnya: “Ah, tak kira kalau paderi tua ini salah
  seorang dari empat paderi sakti Siau-lim-si......”
  Serentak berobahlah wajah Giok-hou menjadi ramah.
  Ia tertawa: “Ah, sudah lama kudengar nama taysu
  yang termasyhur. Kiranya taysu ini salah seorang dan
  Empat Paderi Sakti Siau-lim-si. Maaf, Pedang berbisa
  Pembasmi Iblis Li Giok-hou tak mempunyai mata.”
  Mendengar nama Giok-hou, Pek Wan Taysu pun
  terkesiap, pikirnya: “Ah, tak kira kalau pemuda ini
  jago muda yang harum namanya dalam dunia
  persilatan. Ya, putera angkat dari Nyo Jong-ho.
  Tiba-tiba pula Giok-hou menghela napas.
  “Pek Wan Taysu,” katanya, “kalian telah datang
  terlambat. Gi-hu Nyo Jong-ho telah dibunuh orang dan
  jenazahnya diletakkan di dalam rumah pondok itu……
  beliau...... beliau mati secara mengenaskan sekali.......”
  Beberapa butir airmata menitik dari pelupuk anak
  muda itu.
  “Apa?” teriak Pek Wan Taysu terkejut, “Nyo lo-
  enghiong sudah binasa?”
  Dengan berlinang-linang Li Giok-hou menyahut: “Kalau
  tak percaya silahkan taysu masuk ke dalam hutan.”
  Mendengar itu Siau Lo-seng kerutkan sepasang alis.
  Dia memang menguatirkan hal ini akan terjadi. Dan
  ternyata memang benar, Nyo Jong-ho telah dibunuh
  orang.
  Tanpa bicara apa-apa, paderi Siau-lim-si itu teruskan
  masuk ke dalam hutan.
  Siau Lo-seng menatap wajah Giok-hou, serunya: “Li
  Giok-hou, harap engkau tunggu di sini s ebentar.”
  “Siapa engkau,” bentak Giok-hou, “apakah engkau
  hendak menuduh aku sebagai pembunuh ayah
  angkatku sendiri?”
  Siau Lo-seng menyahut dingin: “Engkau adalah putera
  angkatnya, Nyo bengcu dibunuh orang, seharusnya
  engkau berdaya untuk membalas sakit hati……”
  “Untuk mencari jejak si pembunuh, harus melakukan
  pemeriksaan dan mencari bukti. Itulah sebabnya
  kutahan saudara Li agar dapat memberi keterangan
  yang jelas. Sama sekali aku tak menuduh saudara
  yang membunuhnya,” sambung Siau Lo-seng.
  Dalam pada berkata itu tampak Pek Wan Taysu
  keluar dari dalam hutan dengan langkah gopoh.
  “Locianpwe, benarkah Nyo Jong-ho sudah meninggal?”
  seru Siau Lo-seng.
  Pek Wan Taysu gelengkan kepala.
  “Dalam pondok terdapat tiga sosok mayat. Dua orang
  tua dan seorang lelaki gagah. Sedang di luar pondok
  banyak terdapat kepala manusia. Tetapi Lo-ni tak
  kenal Nyo lo-enghiong, harap sicu ke sana
  menelitinya.”
  Siau Lo-seng segera menuju ke dalam hutan. Lebih
  kurang sepuluhan tombak, di tengah hutan itu
  terdapat sebuah tanah lapang seluas belasan tombak
  dan tiga buah rumah pondok.
  Di halaman rumput muka rumah pondok itu penuh
  berceceran darah dan tujuh-delapan sosok mayat
  yang sudah tak keruan keadaannya. Ada yang putus
  lengannya, kutung kakinya dan hilang kepalanya.
  Siau Lo-seng cepat dapat mengenali mayat-mayat itu
  sebagai anak buah Naga Hijau.
  Segera ia menuju ke rumah pondok yang di tengah.
  Di ambang pintu rebah mayat seorang lelaki yang dari
  corak pakaiannya jelas bukan anak buah Naga Hijau.
  Pada dinding pondok di kanan kiri mayat orang itu
  tegak dua orang tua yang dadanya masin g-masing
  terpaku oleh pedang Ular Emas. Kedua orang tua itu
  sudah tak bernyawa.
  Seketika berobahlah wajah Siau Lo-seng. Ia segera
  mengenali kedua orang tua itu, yang satu yalah ketua
  Thay-kek-bun Han Ceng-jiang dan yang satu bukan
  lain....... Nyo Jong-ho sendiri!
  Cepat Siau Lo-seng mencabut Pedang Ular Emas yang
  menancap pada dada Nyo Jong-ho terus bergegas
  keluar dan melintas hutan.
  Pek Wan Taysu dan Li Giok-hou masih berada di situ.
  “Saudara Li,” kata Siau Lo-seng, “Pembunuhan
  dilakukan dengan Pedang Ular Emas ini?”
  Dengan kurang senang Giok-hou menyahut: “Pedang
  Ular Emas telah membunuh Tiga Jago Kang-lam dan
  membunuh ayah angkatku. Pembunuhnya Siau Mo,
  adalah musuhku besar. Aku tak mau hidup bersama
  dia dalam satu kolong langit!”
  “Apa?” Pek Wan Taysu terkejut, “apakah pedang itu
  milik Pendekar Ular Emas Siau Mo?”
  Habis berkata paderi Siau-lim-si itu berpaling dan
  memandang lekat pada Siau Lo-seng. Bukankah tadi
  Siau Lo-seng mengatakan bahwa Siau Mo itu sudah
  meninggal. Lalu dari manakah Pedang Ular Emas itu?
  Siau Lo-seng menengadah memandang ke langit.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>