Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Bidadari Penakluk - 16

$
0
0
Cerita Silat | Bidadari Penakluk | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Bidadari Penakluk | Cersil Sakti | Bidadari Penakluk pdf

Gento Guyon ~ Makhluk Kutukan Neraka Pendekar Rajawali Sakti - 173. Teror Topeng Merah Roro Centil ~ Rahasia Kitab Ular Siluman Ular Putih ~ Lukisan Darah Pendekar Rajawali Sakti - 175. Manusia Lumpur


  “Mereka tidak akan berani menggangguku lagi,” kata Sari Dewi.
  “Kalau selamat, mereka pasti akan melakukannya.”
  “Kalau selamat, mereka pasti akan kabur sejauh-jauhnya!” sahut gadis itu mantap.
  Rangga melirik Sari Dewi.
  “Para tukang pukul ayahku pasti tidak akan membiarkan perbuatan mereka. Orang-orang itu akan merasakan balasan yang lebih hebat!” tandas gadis ini.
  “Bagus! Kalau begitu aku tidak perlu mengkhawatirkanmu,” sahut Rangga dingin, seraya menggebah kudanya. “Heaaa...!”
  “Hei, tunggu!” teriak Sari Dewi seraya ikut mengejar.
  Namun kecepatan Dewa Bayu memang tak ada yang mampu menandinginya. Meski gadis ini telah menggebah kudanya dengan sekuat tenaga, tetap saja belum mampu menyusul atau menyamai jarak. Malah semakin tertinggal jauh.
  “Brengsek...!” umpat Sari Dewi geram.
  Gadis ini segera memperlambat laju kudanya, karena tidak ada gunanya mengejar. Pemuda tampan tadi telah menghilang dari pandangan bersama kudanya.
  Belum juga gadis ini sempat berpikir untuk berbuat sesuatu untuk mengusir kekesalannya, mendadak....
  “Berhenti!”
  “Heh?!”
  ***
  6
 
  Sari Dewi tersentak kaget, langsung berbalik. Dan keningnya jadi berkerut ketika dua penunggang kuda bergerak ke arahnya mendekati. Yang seorang adalah laki-laki tua berusia sekitar enam puluh tahun. Badannya kerdil. Jenggotnya panjang, sebagian telah memutih. Sementara di sampingnya adalah seorang gadis berbaju merah muda. Rambutnya panjang diikat rapi oleh sehelai pita kuning berbunga-bunga. Wajahnya cantik, namun berkesan galak. Di punggungnya terlihat sebilah pedang.
  “Nisanak, apa maksudmu? Aku tidak kenal dengan kalian!” tanya Sari Dewi begitu kedua penunggang kuda itu tiba dua tombak di depannya. Dan, Sari Dewi memang belum pernah melihat mereka. Bertemu pun baru kali ini.
  “Di mana kau dapatkan kuda itu?” tanya gadis berbaju merah muda seraya menunjuk kuda yang ditunggangi Sari Dewi.
 
  ***
 
  Sari Dewi telah telanjur tidak senang melihat sikap, gadis berbaju merah yang baru datang bersama laki-laki tua bertubuh kerdil. Dan, kini tiba- tiba saja gadis itu menanyakan kudanya. Kalau saja bertanya baik-baik, maka sudah tentu dia tidak keberatan menjelaskannya.
  “Ini kudaku! Dan itu sama sekali bukan urusanmu!” dengus Sari Dewi sinis, seraya hendak berbalik pergi dari tempat ini.
  “Kurang ajar!”
  Gadis berbaju merah jambu itu jadi kesal melihat sikap Sari Dewi. Dan tiba-tiba saja dia melompat dari punggung kudanya sambil mencabut pedang.
  Sring!
  “Ohh...!”
  Sari Dewi terkesiap. Baru sekali ini dilihatnya ada orang bergerak seringan itu. Bahkan tahu-tahu gadis berbaju merah muda itu mendarat di sampingnya sambil menghunuskan pedang ke leher.
  “Huh! Kau boleh membunuhku. Tapi, jangan harap kuberitahu!” dengus Sari Dewi.
  “Bagus! Kalau begitu kau tidak ada gunanya. Maka, kau boleh mampus!”
  Baru saja gadis berbaju merah muda itu hendak mengayunkan pedang....
  “Seruni, tahan!” cegah kakek bertubuh kerdil itu.
  “Untuk apa, Kek? Dia berusaha menyembunyikan wanita keparat itu. Berarti, dia memang sekutunya. Perempuan ini mesti mati di tanganku!” tukas gadis bernama Seruni itu.
  “Sabarlah sedikit, Seruni.... Kita tidak boleh memaksanya seperti itu,” sahut kakek kerdil ini lembut, seraya turun dari kuda dan menghampiri mereka.
  “Tapi, Kek,” Seruni mencoba membantah.
  “Sudahlah, sarungkan dulu pedangmu. Karena kita akan bicara baik-baik padanya,” ujar laki-laki kerdil itu, bijaksana.
  Meski dengan mendengus sinis bercampur kesal, tapi gadis berbaju merah muda itu menurut juga.
  Sementara kakek kerdil itu menghampiri San Dewi. Sikapnya kelihatan sangat berbeda dengan gadis berbaju merah muda.
  “Maafkan kelakuan cucuku tadi, Nisanak. Dia memang suka marah-marah tak menentu. Tapi, bukannya tanpa sebab,” ucap kakek kerdil.
  “Mestinya kau bisa mendidiknya dengan baik!” sahut Sari Dewi, acuh tak acuh dengan wajah masih menyimpan kekesalan.
  “Ya. Lain kali akan kuperhatikan,” desah kakek itu.
  Mendengar jawaban laki-laki kerdil yang tak lain kakeknya, Seruni sudah mau mendamprat lagi. Jelas sikap kakeknya tampak mengalah sekali. Tapi lagi-lagi dia terhalang oleh isyarat kakeknya.
  “Kami tengah mencari seseorang. Dan setelah sekian lama jejaknya menghilang, tiba-tiba saja berada di sekitar tempat ini. Oleh karena itu sudilah kiranya kau membantu kami,” papar kakek kerdil itu.
  “Apa maksudmu?” tanya Sari Dewi dengan kening berkerut.
  “Kuda yang kau tunggangi ini, Nisanak. Kalau boleh kutahu, siapa pemiliknya. Dan, dari siapa kau peroleh?”
  “Ini punyaku!”
  Orang tua kerdil itu tersenyum mendengar jawaban ketus dan mantap. Sebab, dia memang tidak yakin.
  “Nisanak.... Aku tidak mau menuduhmu sembarangan. Tapi aku berani bertaruh, kalau kuda ini bukan milikmu,” cecar kakek kerdil itu.
  “Dari mana kau bisa seyakin itu?” tanya Sari Dewi.
  “Tidakkah kau lihat kuda ini kelihatan gembira bertemu denganku?” tanya kakek itu dengan sikap tenang. Bibirnya tampak selalu menyungging senyum kecil.
  Apa yang dikatakan kakek ini memang tak salah. Bahkan sejak tadi ketika kudanya hendak digebah hewan i

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>