Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Ilmu Silat Pengejar Angin - 12

$
0
0
Cerita Silat | Ilmu Silat Pengejar Angin | oleh Siasa | Ilmu Silat Pengejar Angin | Cersil Sakti | Ilmu Silat Pengejar Angin pdf

Pendekar Bodoh - 9. Sengketa Ahli Sihir Pendekar Bodoh - 10. Raja Alam Sihir Pendekar Bodoh - 11. Rahasia Sumur Tua Pendekar Bodoh - 12. Munculnya Sang Pewaris Gento Guyon - 28. Semerah Darah Pendekar Bodoh - 3. Setan Selaksa Wajah Pendekar Bodoh - 4. Ratu Perut Bumi Pendekar Bodoh - 5. Ksatria Seribu Syair Pendekar Bodoh - 6. Muslihat Sang Durjana Pendekar Bodoh - 8. Pusaka Pedang Naga

Mendapat tawaran ini, Siang Tjoe berhenti sebentar. Berpikir. Kemudian ia pun manggut2kan kepalanja sambil katanja : "Baik!" Dan selandjutnja dengan dikawani orang asing berbudi tinggi ini, ia pun mendjeladjahi hampir separuh pegunungan Than-ala- san. Namun sampai hari telah mendjadi sore, mereka belum djuga memperoleh hasil. Malah seorang lain pun mereka tidak mendjumpainja. "Sioe Lian! Sioe Lian!" achirnja Siang Tjoe ber-teriak2, sebagai seorang kalap. "Sioe Lian!" Namun, walau bagaimana pun, meski sampai kering tenggorokannja, tetap ia tidak memperoleh hasil, hingga achirnja bahna sedihnja ia menangis meng-gerung2 sampai2 pada satu ketika karena putus asa ia hendak membenturkan kepalanja pada sebuah pohon. "Siang Tjoe," menghibur Satmijagatze sambil memandang tadjam. "Sudahlah, djangan bersedih hati djuga. Kau toh laki-laki? Untuk apakah membunuh diri sedang mati-hidupnja kawanmu itu belumlah ketahuan. Bagaimana terdjadinja, kalau kawanmu itu masih hidup sedang kau sudah mati karena membunuh diri? Apakah perbuatanmu tidak hanja mendjadi bahan tertawaan sadja? Maka sudahlah, lebih baik mari ikut aku. Nanti akan kuterangkan tentang suatu benda jang luar biasa." "Barang apakah itu?" tanja Siang Tjoe. Hatinja agak terhibur oleh kata2 kawan baru ini jang ia anggap memang beralasan djuga. Sebab toh sakit hatinja belum terbalas. "Bukanlah disini tempatnja untuk menerangkan," bilang Satmijagatze. "Mari ikut aku!" Maka sesaat kemudian kedua orang ini pun sudah tampak tengah ber-lari2 menuruni gunung Thang-ala- san. Seperti disengadja, Satmijagatze ber-lari dengan tidak pernah ia idjinkan si anak muda dapat lewati dirinja. Hingga sia-sia sadja walau Siang Tjoe empos tenaganja pada kedua belah kakinja. Tidak pernah ia berhasil menjandaknja. Sesudah hari mendjadi malam sampailah kedua orang ini dikaki gunung. "Gate Lo djin kee, kemana saja hendak kau bawa?" tanja Siang Tjoe. Tak diperolehnja djawaban, melainkan ia terus dibawa ber-lari2 memasuki sebuah kampung dimana lantas muntjul belasan ekor andjing jang lantas sambut mereka dengan mengeluarkan suara sangat berisik. Beberapa Tjhungteng tampak keluar. "Siapa?" mereka berseru dengan tegurannja. Agaknja mereka tidak senang. "Mengapa memasuki kampung orang dengan ber- lari2, sampai mengeluarkan suara berisik?" "Inilah aku, si orang dari pulau sembilan, Satmijagatze!" orang asing ini memberi djawaban. Baharulah, setelah mendengar suara ini, kata2 amarah segera mendjadi manis dan hormat. Malah seorang diantaranja terdengar berkata : "Oh, kiranja tuan Satmi! Sungguh tidak pernah kami sangka..." Beberapa tjhungteng ini lantas madju akan memberi hormat. Dua diantaranja lantas masuk untuk melaporkan kedatangan tamu jang rupanja telah mereka kenal baik kepada madjikan mereka. Sedang selagi jang satu mengusir andjing, seorang kawannja segera mengundang serta memimpin masuk. Dimuka rumah jang tjukup besar, dua tuan rumah sudah lantas keluar menjambut. Sikap kedua orang ini menghormat sekali. Satmijagatze pun berlaku hormat pula kepada kedua orang ini. "Inilah kawanku," memperkenalkan dia seraja tundjuk Siang Tjoe. Siapa lantas madju untuk kemudian dengan sopan memberi hormat kepada kedua tjhungtju itu jang lantas pimpin mereka memasuki sebuah kamar tamu. Kedua tuan rumah kurang lebih sudah mentjapai usia empat puluh lebih. Jang satu mukanja pandjang kurus, matanja sipit. Sedang satunja mempunjai muka hitam gemuk. Dengan matanja jang bundar dan berkulit sangat hitam, dia mempunjai djemberos jang kaku bagai kawat. Dia bertubuh kate kekar sebagai orang jang mengerti silat. "Kedua tjhungtju itu adalah paman dan keponakan," Satmijagatze perkenalkan kawan baru mudanja kepada kedua tuan rumah. "Ini Kim say Oei Bian Lip dan ini Oey Hong Gan, ke- dua2nja tersohor untuk daerah sekitar Thibet ini." Siang Tjoe berlaku hormat pada tuan rumah. Namun diam2 dia terkedjut serta mengagumi kawan barunja jang ternjata mempunjai pergaulan sangat luas. Sedang sebaliknja kedua tuan rumah ada sangat memperhatikan Siang Tjoe. Mereka tanja Satmijagatze, sedjak kapan mempunjai kawan muda itu, mengapa mereka belum pernah lihat dan djuga belum pernah dengar. "Sebenarnja dia bukanlah kawan karibku," menerangkan Satmijagatze. "Aku baru tadi mengenalnja. Aku hanja menjukai tjita2nja jang tinggi..." Orang asing ini tidak menghabiskan kata2nja. Melainkan matanja melirik kepada Siang Tjoe. Akan kemudian sambil tertawa diapun berkata : "Sekarang tolong sediakan dahulu barang hidangan. Aku lapar. Sebentar kita akan bitjarakan pula soal ini per- lahan2." Oey Bian Liep lantas menjuruh pembantunja untuk tjepat2 menjadjikan barang makanan. Paman dan keponakan itu menjuguhi arak, tapi Satmijagatze tidak biasa minum itu. Maka iapun menolaknja. Demikian djuga dengan Siang Tjoe jang dari ketjil tidak dibiasakan ajahnja minum2an keras. Ia djuga tidak turut minum. "Ah, siauwtee, kau minumlah!" Oey Hong Gan mendesak. "Diantara kita, djanganlah malu2." "Terima kasih," menolak Siang Tjoe sambil berbangkit. Ia menampik dengan sikap jang sangat hormat sekali. "Sebenarnjalah, kalau aku belum pernah menengak air kata2..." Hong Gan sudah angkat tjawannja, karenanja ia djadi kebogehan. Sementara itu, Satmijagatze bertjerita. Bagaimana tadi kawan tjiliknja, telah membuat kotjar-katjir pertahanan Tan Tjian Po suami istri, serta membuat Kamala Phasja harus berkelahi mati2an untuk menghadapi Lie Siang Tjoe. Mendengar tjerita ini, tidak henti keponakan dan paman memberikan pudjian kepada pemuda kita. Kemudian kedua tuan rumah ini, dibuat mendjadi tidak henti2nja memberikan pudjian, ketika Satmijagatze mentjeritakan bagaimana tadi ia telah mengukur tenaga dengan keponakan Auwjang Keng Liak, dan berhasil mengalahkannja setelah bertempur setengah harian. Ia mentjeritakan pula bagaimana Auwjang Siang Yong telah menantang untuk mengadakan pibu lagi pada nanti disepuluh tahun jang akan datang. Dalam hal ini, kedua keponakan dan paman menjatakan bersedia untuk memberikan bantuan. "Setelah mengarungi lautan luas selama delapan hari, pada kira2 tudjuh hari jang lalu aku pun mendarat di daratan Tionggoan ini. Demikianlah atas perintah guruku aku langsung pergi kedaerah Thibet untuk menaiki tanah pegunungan Than-ala-san guna menjerapi dan kalau mungkin membawa pulang sebuah patung emas jang menurut keterangan guruku adalah merupakan peninggalan dari seorang pendiri ilmu silat pedang negeriku. Siapa tahu salah paham telah terdjadi dengan Auwjang Siang Yong hingga pertempuran pun tak dapat terelakkan pula." Satmijagatze berbitjara dengan penuh semangat, kedua tuan rumah sebaliknja mendjadi terkedjut dan heran. "Satmi loosoe," kata Hong Gan. "Kau datang kedaerah Tionggoan sini untuk keperluan sebuah patung emas?" ia menegasi. Satmijagatze manggutkan kepalanja. "Patung emas apakah itu? Mengapa aku belum pernah dengar? tanja Bian Lip. "Salah paham bagaimana Loo djin kee?" menjelak Siang Tjoe jang sedari tadi diam dan tundukkan kepalanja. "Marilah kalian dengar mengenai perihal riwajat patung emas itu, akan kutjeritakan pada kalian dengan se-djelas2nja dengan harapan kalau kalian sudah mengetahuinja, mudah2an kalian dapat mewakilkan aku untuk menghindarkan segala salah paham, karena pada saat ini, dalam dunia Kangouw sedang terdjadi persengketaan mengenai perebutan suatu tempat jang ditinggalkan oleh seorang luar biasa. Mengenai hal ini dapat kau meminta keterangan pada susiokmu," sambil berkata demikian Satmijagatze menggunakan telundjuknja menundjuk Bian Lip. "Menurut tjerita guruku Tzuzumi Agakura," Satmijagatze memulai tjeritanja. "Pada kira2 dua ratus tahun jang lalu, pada hari ulang tahun radjaku, beliau telah mendapat hadiah sebuah benda jang seluruh terbuat dari emas murni. Benda itu berbentuk sebuah patung. Jang memberikannja adalah seorang tjianpwee kami jang telah berhasil mentjiptakan sedjenis ilmu silat jang kini dinegeri kami, kami anut. Ketika itu radja kami jang telah berusia landjut tidak mengetahui akan faedahnja dan rahasia apakah jang terkandung dibalik keelokannja patung emas tersebut..." "Apakah jang loo djin kee maksud, adalah patung emas jang sekarang kau perlukan menjeberangi lautan luas?" memotong Siang Tjoe. Satmijagatze manggutkan kepalanja. Achirnja patung itu pun terdjatuh ketangan putera radja jang ketika itu telah menggantikan ajahandanja. Ia pun amat menjukainja." Satmi berhenti sebentar. Diteguknja teh-nja, untuk kemudian bertjerita lagi. "Djustru, pada tahun keempat setelah putera mahkota mendjadi radja, tjianpwee kami jang menghadiahkan patung emas itu kepada kaisar, karena penjakit tua telah meninggal dunia. Siapa tahu, beberapa tahun kemudian, salah seorang muridnja, mengeluarkan tjerita bahwa dibalik patung emas jang indah tersebut terdapat tanda2 rahasia mengenai adanja suatu tempat, dimana pada tempat itu terdapat sesuatu jang luar biasa sekali. Dengan segera seluruh negeri kami mendjadi gempar, terutama kaum pahlawan2nja. Mereka masing2 menggunakan kepandaiannja untuk memasuki ruang istana kaisar. Hingga achirnja walau pendjagaan sangat kuat, tidak urung dari tempat penjimpanannja patung emas lenjap tanpa bekas..." "Kemana hilangnja loosu?" tanja Bian Lip. "Tidak ada jang tahu, sampai kemudian dua ratus tahun berselang guruku memperoleh keterangan bahwa patung itu terdapat didaerah Thibet ditanah pegunungan Thang-ala-san sini." Satmijagatze bertjerita dengan roman muka tidak terdapat tanda2 sesuatu jang disembunjikan, sedang kedua tuan rumah sebaliknja sangat tertarik sekali. Lebih2 Siang Tjoe. "Satmi loosu," kata Hong Gan. "Kau pergi hanja seorang diri. Apakah tidak kesepian?" "Kalau aku membawa-bawa kawan, aku kuatir nanti terdjadi bentrokan dikalangan sendiri," kata orang dari pulau sembilan ini. "Dan kukira, pastilah sudah ada orang2 dari pulau kami jang telah mendahuluinja," ia menambahkan. Nadanja bergolak ketika mengutjapkan kata2 ini. "Aku pertjaja Sat losu lah jang akan berhasil," Bian Lip bilang. "Auwjang Keng Liak sudah tua, sedang keponakannja jang sangat lihay sudah dikalahkan losu. Pula bukankah segala djagoan2 dari negerimu adalah sebawahan gurumu?" "Tapi aku tidak pandang rendah usia tua Auwjang Keng Liak," Satmijagatze berkata. "Memang aku tidak usah kuatir dengan segala djagoan2 dari negeriku, tapi aku dengar selain Auwjang Siang Yong djuga dalam soal perebutan tempat peninggalan jang tjianpwee kalian tinggalkan, Butong Pay, Kongtong Pay serta Tjeng hong pay telah turut tjampur tangan." Sampai disini Siang Tjoe menundukkan kepalanja setelah dengar orang me-njebut2 nama Tjeng hong pay. Ia teringat akan Sioe Lian-nja jang telah lenjap entah kemana, kemudian ia mendjadi geregetan ketika teringat akan kematian ajahnja, hingga achirnja ia hendak lekas2 pamitan sadja pada tuan rumah, untuk tjepat2 mejakinkan segala lukisan2 jang mengandung rahasia ilmu silat luar biasa, untuk dapat dengan segera membalaskan sakit hati ajahnja. "Sesudah beberapa puluh tahun berpisah, baharu sekarang kita dapat bertemu muka pula, malah dalam kundjungan malam ini Satmi losu mem-bawa2 seorang kawan tjilik!" kata Bian Lip sambil tertawa. "Saudara ketjil seh Lie ini sudah mempunjai kepandaian jang luar biasa, aku pertjaja dikemudian hari dia akan ternama. Eh adik Lie siapakah gurumu?" Mendapat pertanjaan ini Siang Tjoe tidak memberikan djawabannja. Melainkan dia tundukkan kepalanja, hingga selandjutnja Bian Lip tidak berani pula untuk menanjakan melit2. Hanja sampai disini ia geser pokok pembitjaraan. "Satmi losu sedjak sepuluh tahun jang lalu, kau tidak pernah datang2 pula kemari, hingga tidak mengetahui kalau aku oleh Tuhan jang maha pengasih telah dikaruniakan seorang putri, tentulah losu belum lihat dia... Bawalah adikmu itu keluar," ia tambahkan kepada Hong Gan. Sang keponakan lantas undurkan diri. Siang Tjoe djuga ingin tengok roman tjhungtju gadis itu untuk dibandingkan dengan Sioe Lian-nja. Lekas sekali Hong Gan sudah keluar pula dan bersama dia ada satu botjah perempuan. Pakaiannja mewah sekali, sedang wadjahnja, walau pun masih anak2 sudah kelihatan tjantik sekali, dengan mukanja potongan daun sirih, rambutnja dikuntjir mendjadi dua tjabang. "Mari beri hormat pada Sat-Siok-hoe mu!" kata Bian Lip pada anaknja. "Bukankah kau ingin dapatkan peladjaran jang istimewa? Untuk itu, tak dapat tidak, kau harus angkat Siok-hoe mu ini sebagai gurumu!" Botjah ini memberi hormat, kemudian ajahnja perintah beri hormat pula pada Siang Tjoe, namun anak ini diam sadja. Malah dia mendjebirkan bibirnja serta awasi tamu tjilik itu. Bian Lip kuatir kawan tetamunja itu gusar. Ia lekas berkata : "Adikmu ini beradat dusun,itulah disebabkan dia belum pernah keluar rumah, harap kau tidak djadi ketjil hati." Siang Tjoe tertawa, ia tidak berkata apa-apa. "Siapa namanja anakmu ini? Pastilah besarnja ia akan tjantik sekali," memudji Satmijagatze. "Apakah kau sudah adjarkan dia ilmu silat? Aku lihat memanglah dia ada mempunjai bakat dalam hal itu." "Ia kunamakan Hong In, memang seperti kau katakan, dia mempunjai bakar jang luar biasa. Dia berotak tjerdas sekali," menerangkan Bian Lip. "Apa jang kuterangkan, sekali sadja sudah tjukup dan aku telah didik dia sedjak ia berusia enam tahun," menambahkan Bian Lip. "Hanja anehnja,entah menuruni siapa, anakku ini paling menggemari akan pakaian2 jang berwarna merah. Dalam setahun, sekali pun belum pernah dia memakai badju lain warna!" "Hebat sekali!" memudji Satmijagatze. "Mudah2an nanti, disepuluh tahun jang akan datang dalam dunia Kangouw akan muntjul seorang pendekar wanita berbadju merah..." menambahkan ia setjara main- main dan sambil ter-tawa2. "Hanja sajang peladjaran silat kaumku adalah peladjaran jang membutuhkan tenaga luar biasa besarnja, sedang anakmu itu adalah seorang perempuan, hingga sungguh tidak tjotjok kalau dia aku ambil sebagai murid. Maka lebih baik djika dia kau bawa pada salah satu naga dari Sutjoan. Sebab aku dengar Liong kang hiap Tjioe Tjin Lie dan Tjoe giok liong Thjek Thoa Thong adalah dua murid utama dari Boetong Pay dan Koenlun Pay, jang telah saling bertukar pikiran. Dan kedua orang itu terkenal akan kehalusan ilmu silatnja, lebih2 Tjioe Tjin Lie terkenal akan ilmu silat menotok djalan darah jang disebut Sip tjie hiat atau ilmu totok sepuluh djari, sedang ilmu tersebut tidak sembarang orang dapat mejakininja..." Bian Lip berdiam, untuk berpikir. "Baik, terima kasih akan pengundjukanmu, aku akan kirim dia pada orang2 tua itu buat beladjar lebih djauh," katanja. "Sebab kalau dia tetap ikuti aku, dia tidak akan dapat kemadjuan." "Kau pandai merendahkan diri!" menghibur Satmijagatze sambil tertawa. Bian Lip tertawa djuga. Ia menjuruh anaknja duduk bersama. "Lip-heng," tiba2 terdengar Satmijagatze memulai pembitjaraan jang terhenti sebentar. "Aku harap kerelaan saudara untuk mentjeritakan sebab musabab pertikaian mengenai perebutan suatu tempat rahasia jang membuat sampai2 para Lo tjian pwee turut turun tangan." "Hmm, apakah soal ini belum Sat loosoe mengetahuinja?" tanja Bian Lip, sambil kemudian ia teguk araknja.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>