Cerita Silat | Panah Kekasih | Karya Gu Long | Panah Kekasih | Cersil Sakti | Panah Kekasih pdf
Pendekar Naga Putih - 80. Iblis Angkara Murka Panah Kekasih II - Gu Long Tom Swift - Misi Penolong Pendekar Pedang Siluman Darah - 27. Takanata Iblis Nippon Siluman Ular Putih - 25. Rahasia Kalung Permata Hijau
Tong Bu-im marah sekali, umpatnya: “Jangan jangan si tua bangka Chin sudah mampus, kenapa belum juga munculkan diri? Belum pernah kujumpai manusia busuk macam dia.” “Mungkin dia jadi kebingungan karena belum pernah nikahkan anak putrinya." Kata Tong Ti. Bagaimana pun, perkawinan ini atas prakarsa dirinya, jadi mau tak mau dia harus bantu untuk mengatakan yang baik tentang Chin Siu-ang. II “Perkataan apa itu, umpat Tong Bu-im marah, “sekalipun belum pernah makan daging babi, seharusnya pernah melihat babi berjalan . . . . .. eeei, kenapa tandu itu tidak berhenti dan mau diangkut ke dalam rumah?” Sambil menggerutu, lelaki dusun itupun menghentikan tandunya didepan pintu. Salah seorang diantaranya segera berkata: “Selama hidup belum pernah aku menggotong tandu pengantin semacam ini, ngotot minta kami berkeliling satu lingkaran dulu sebelum dibawa kemari." Sambil berkata, dia ambil saputangan dan mulai menyeka keringat ditubuhnya. “Siapa yang suruh kalian berkeliling satu lingkaran?” tanya Tong Ti dengan wajah berubah. “Chin loya." “Dimana dia sekarang?” “Tadinya masih mengintil di belakang tandu, tapi dalam sekejap orangnya sudah hilang, hamba sekalian tak berani ambil keputusan maka harus menunggu lama lagi sebelum menggotong tandu ini kemari." Tong Bu-im mendengus dingin. “Sok misterius!” umpatnya, diapun memberi tanda sambil katanya lagi, “coba bimbing keluar orang yang ada didalam tandu, tanya dia, apakah ayahnya sudah kena penyakit sinting?" Siau Hui-uh yang mendengar perkataan itu segera berbisik sambil tertawa: “Coba lihat, tua bangka itu tidak bilang bimbing keluar pengantin wanita itu, tapi bilang bimbing keluar orang itu, kelihatannya dia lebih penuju pada Tu Kuan." Ketika berpaling, dia saksikan Tian Mong-pek berdiri melongo seperti orang yang kehilangan sukma, tampaknya dia sama sekali tidak mendengar apa yang dikatakan. “Hei,” tegur Siau Hui-uh keheranan, “kenapa kau?" ll “Aaai, Chin Siu-ang . . . . . . .. Mendadak terdengar jeritan kaget berkumandang di empat penjuru, perempuan yang bertugas membuka tirai tandu itu tampak mundur sempoyongan lalu jatuh terduduk ke lantai. Ternyata begitu tirai tandu disingkap, dari dalam tandu muncul tubuh seseorang yang langsung roboh ke depan. Dalam waktu singkat semua orang jadi kaget, teriakan tertahan bergema disana sini. Sewaktu tubuh orang itu diperiksa, ternyata badannya sudah dingin kaku, ternyata orang yang berada didalam tandu itu bukan pengantin wanita, melainkan sesosok mayat yang mengenakan pakaian pria. Ditengah kekalutan, Tong Bu-im membentak gusar: “Rekan mana yang merah mata melihat keluarga Tong menyelenggarakan pesta perkawinan sehingga datang mengajak bergurau? Anak Ti, coba ditengok." Si Tangan pencabut nyawa Tong Ti melompat baju ke depan mayat itu dan memeriksanya. Dalam waktu singkat terlihat paras mukanya berubah hebat, sambil menuding kearah mayat itu, jeritnya dengan gemetar: “Panah kekasih . . . . . .. Chin Siu-ang . . . . . .. panah kekasih . . . . . ..” Dengan satu lompatan Tian Mong-pek meluncur ke samping mayat itu lalu memeriksanya dengan seksama. Terlihat mayat itu kurus kering berwajah pucat, kedua pipinya cekung tanpa daging, kalau bukan Chin Siu-ang lantas siapa lagi? Setelah diamati lagi, terlihat diatas dada Chin Siu-ang, orang yang selama ini dianggap Tian Mong-pek sebagai pemilik panah kekasih, terhujam dua batang anak panah pendek, satu berwarna merah, satu lagi berwarna hitam. Rasa kaget yang mencekam hati Tian Mong-pek kali ini benar-benar tak terkirakan, sedemikian terperananya hingga suara pekikan dari empat penjuru yang begitu keras bagai gelombang tsunami pun sama sekali tak terdengar olehnya. Entah berapa lama kekalutan itu berlangsung, dia masih berdiri kaku, tak bergerak, matanya tak berkedip. Dengan kaget Siau Hui-uh menatap pemuda itu, diapun tak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi? Darimana gadis itu bisa menyelami kepedihan hatinya? Satu satunya jejak yang berhasil dia lacak dengan susah payah, kini hilang lenyap dengan begitu saja. Dengan hilangnya jejak tersebut, bukan pekerjaan yang gampang baginya untuk menelusuri kembali siapakah pemilik panah kekasih. “Karena dia mati oleh panah kekasih, berarti dalangnya pasti bukan dia.” Gumamnya. Sementara itu Tong Bu-im sedang menginterogasi para lelaki pemikul tandu. Dengan ketakutan jawab lelaki itu: “Chin loya perintah kami sekalian untuk tidak segera menggotong masuk tandu ini tapi berputar putar dulu di empat penjuru, dia pun mengintil dibelakang tandu sambil menengok kesana kemari, kemudian hamba sekalian menggotong tandu ini ke belakang bukit sebelah sana, tiba tiba dia minta hamba sekalian pergi minum teh dan beristirahat, sejujurnya hamba sekalian memang merasa sangat lelah, maka.... maka kami pun pergi." Tempat yang ditunjuk adalah bayangan bukit sebelah depan, tempat itu tak lain adalah gua rahasia tempat keluarga Tong meramu senjata rahasia. Dengan wajah berubah Tong Bu-im memandang kearah Tong Ti, katanya sambil tertawa dingin: “Jangan jangan tua bangka itu dengan memakai tandu pengantin sebagai alasan, dia bermaksud ke sana untuk mencuri rumput pelumat impian?” “Tapi.... tapi rumput pelumat impian tidak berada disana!” sahut Tong Ti. “Goblok," umpat Tong Bu-im makin gusar, “darimana dia tahu kalau rumput pelumat impian tidak berada disana? Sudah pasti dia sangka rumput pelumat impian disimpan dalam gua tempat meramu senjata rahasia." Tong Ti menundukkan kepalanya, tidak berani membantah. Sesudah mengatur napas yang tersengkal, kembali lelaki penggotong tandu itu berkata: “Sewaktu hamba sekalian balik ke sana seusai minum teh, tandu masih berada disitu, tapi Chin loya sudah pergi, waktu itu hamba sekalian memutuskan untuk menunggu sampai kedatangannya kemudian baru ambil keputusan, tapi setelah ditunggu lama dan langit semakin gelap, kami mulai kuatir kalau pengantin yang ada dalam tandu mulai cemas, terpaksa tandu pun kami gotong kemari. “Dalam perjalanan, hamba sekalian pernah bertanya kepada sang pengantin dalam tandu, tapi tak pernah ada jawaban, hamba sangka pengantinnya malu, enggan menjawab, jadi sama sekali tak heran, namun..... namun hamba sekalian tak pernah mengira kalau pengantin perempuan yang ada dalam tandu, tiba tiba telah berubah jadi sesosok mayat!" Tong Bu-im menghela napas panjang, katanya: “Tak heran kalau orang lain tak berhasil menemukan tandu itu, ternyata tandu berada dibelakang gunung, sudah pasti orang lain tak akan menemukan, hanya saja . . . . .. hanya saja . . . . . ..” Setelah memukul sandaran kereta rodanya kuat kuat, dia meneruskan: “Kenapa si tua bangka Chin bisa mati? Dia mati ditangan siapa? Kenapa diatas dadanya . . . . .. diatas dadanya terhujam dua batang panah kekasih?" Tian Mong-pek terlebih bingung, makin dipikir dia semakin bertambah bodoh, dengan segala akal muslihat Chin Siu-ang berusaha mendapatkan rumput pelumat impian, dia mirip sekali dengan pemilik panah kekasih. Tapi sekarang, dia justru mati karena panah kekasih, itu berarti . . . . .. Mendadak satu ingatan melintas dalam benak pemuda itu, pikirnya" “Jangan jangan semuanya ini hanya siasat comberet emas lolos dari kepompong dari Chin Siu-ang, dia sembarangan mencari sesosok mayat, didandani seperti wajah dirinya, agar orang persilatan menyangka dia sudah mati, kemudian secara diam diam melanjutkan perbuatan terkutuknya?" Makin dipikir dia merasa dugaan itu semakin masuk akal, batinnya: “Asal kuperiksa mayat itu dengan seksama, bukankah segera akan diperoleh jawabannya?" Ketika berpaling lagi, ternyata mayat itu sudah digotong pergi. Tampak Tong Pa dengan wajah murung berjalan dari sisinya, cepat Tian Mong-pek menariknya dan bertanya: “Tahukah saudara Tong, jenasah Chin Siu-ang telah digotong pergi ke mana?” Waktu itu Tong Pa sendiri sedang dirundung banyak persoalan, diapun tidak bertanya mengapa pemuda itu menanyakan hal tersebut, jawabnya: “Lo-cou-cong merasa kehadiran mayat diruang ini sangat mengganggu pemandangan, aku diperintah untuk menggotongnya ke dalam gua didepan sana." Tempat yang dia tunjuk tak lain adalah gua rahasia dimana keluarga Tong meramu senjata rahasia. Buru buru Tian Mong-pek mengucapkan terima kasih dan segera berlalu. Waktu itu tak seorang jago pun yang memperhatikan gerak geriknya, mereka sedang memperbincangkan peristiwa yang baru terjadi, hanya Siau Hui-uh seorang yang mengamati terus gerak gerik pemuda itu. Timbul rasa heran dihati kecilnya setelah melihat gerak geriknya yang misterius, baru saja dia hendak mengintil, tiba tiba lengannya ditarik orang. Dalam kaget dan gusarnya, nona itu berpaling, ternyata Lam-yan. Dengan wajah panik dan tak tenang kata Lam-yan: “Uh-ji, engku . . . . .. engku mu ke mana?" Siau Hui-uh tertegun, balik tanyanya: “Tu..... Tu Hun-thian?” “Tu lo-enghiong juga tak terlihat, pasti mereka berdua telah pergi secara diam-diam untuk bertarung, aaai, kali ini mereka pasti akan bertarung mati hidup." Dari mukanya yang murung, jelas menampilkan perasaan kuatirnya yang berlebihan. “Tenang," hibur Siau Hui-uh, “dengan kungfu yang dimiliki engku, tak mungkin dia akan kalah." Lam-yan menghela napas panjang. “Aaai, kungfu engku mu memang bagus, tapi ilmu silat Tu Hun-thian pun tidak jelek, bila salah seorang diantara mereka salah turun tangan..... aaai, apalagi meski dia melukai Tu lo-enghiong pun, keadaan akan bertambah runyam." “Bibi tak usah gugup," kembali hibur Siau Hui-uh sambil tertawa paksa, “karena buru buru ingin berkelahi, sudah pasti mereka tak perlu jauh, asal kita periksa empat penjuru, jejak mereka pasti akan ditemukan." Oleh karena mengurusi masalah disini, terpaksa urusan lain harus dikesampingkan, meski dia heran dengan gerak gerik Tian Mong-pek yang aneh, setelah melihat kegelisahan Lam-yan, terpaksa dia pergi menemani bibinya. Oo0oo Dengan menelusuri jalan setapak, dalam waktu singkat Tian Mong-pek sudah menemukan sumber air panas, ketika menelusuri aliran sungai itu, dalam waktu singkat gua karang yang menyerupai hewan buas itu sudah muncul dibalik kegelapan. Cahaya penerangan diseputar tempat itu tidak seterang ruang pesta, diantara hembusan angin malam, terlihat bayangan manusia berjalan mondar mandir melakukan perondaan, ternyata penjagaan disana amat ketat. “Siapa?" dari balik kegelapan terdengar seseorang membentak nyaring. Diantara kilauan cahaya golok, empat lima orang telah muncul mengepung. Tian Mong-pek segera memberi hormat sambil memperkenalkan diri: “Aku, Tian Mong-pek." Para peronda segera mengendorkan kewaspadaannya, menanti Tian Mong-pek mengemukakan maksud kedatangannya, meski orang orang itu merasa keheranan, tapi lantaran tahu kalau belakangan Tian kongcu menjadi orang kesayangan Lo-cou-cong, maka tak seorangpun berani membangkang. Salah seorang diantaranya segera berkata sambil tertawa: “Kami semua pun merasa kehadiran mayat itu sangat mengganggu suasana, maka jenasahnya kami gotong ke dalam gua sana. Bila Tian siangkong ingin melihat . . . . . .. eeei... Ong jite, coba kalian berdua hantar Tian siangkong ke situ!” Setelah menyampaikan rasa terima kasih, cepat pemuda itu mengintil dibelakang mereka melewati sebuah pintu besi dan tiba di tebing yang gelap. Dalam tebing itu, diantara pepohonan pendek dan semak terdapat sebuah tandu, didalam tandu itulah jenasah Chin Siu-ang berbaring. Sambil menuding dari kejauhan, kedua orang itu segera menghentikan langkahnya. Tian Mong-pek tahu, kedua orang ini pasti enggan menuju ke situ, maka buru buru katanya sambil tertawa: “Aku hanya ingin menengok apa penyebab kematian orang itu, tidak perlu merepotkan kalian berdua lagi.” Memang itulah yang diinginkan mereka berdua, setelah berbasa basi, merekapun segera berlalu. Dihari pernikahan yang baik, siapapun pasti enggan melihat mayat, tidak terkecuali lelaki lelaki kasar itu. Dengan langkah lebar Tian Mong-pek berjalan mendekat, jantungnya berdebar keras, tiba didepan tandu, dia angkat mayat itu, terasa jari tangannya sedikit agak gemetar. Cepat pemuda itu tenangkan hatinya, meminjam cahaya bintang ditambah ketajaman matanya yang melebihi orang lain, dia periksa mayat itu dengan seksama. Sekarang ia dapat melihat dengan pasti, mayat itu memang mayat Chin Siu-ang, bukan samaran orang lain. Untuk sesaat dia merasa amat kecewa, tak tahan pemuda itu menghela napas panjang, perlahan dia membaringkan kembali mayat dari Chin Siu-ang itu ke dalam tandu. Sekonyong-konyong . . . . . .. mayat Chin Siu-ang yang baru saja dibaringkan tiba tiba melejit bangun, lengan kanannya langsung menghantam jalan darah cian-keng-hiat di bahu kanan pemuda itu, deruan angin yang kencang menandakan serangan itu dahsyat. Dalam kagetnya Tian Mong-pek mencelat ke udara dan mundur sejauh berapa
Pendekar Naga Putih - 80. Iblis Angkara Murka Panah Kekasih II - Gu Long Tom Swift - Misi Penolong Pendekar Pedang Siluman Darah - 27. Takanata Iblis Nippon Siluman Ular Putih - 25. Rahasia Kalung Permata Hijau
Tong Bu-im marah sekali, umpatnya: “Jangan jangan si tua bangka Chin sudah mampus, kenapa belum juga munculkan diri? Belum pernah kujumpai manusia busuk macam dia.” “Mungkin dia jadi kebingungan karena belum pernah nikahkan anak putrinya." Kata Tong Ti. Bagaimana pun, perkawinan ini atas prakarsa dirinya, jadi mau tak mau dia harus bantu untuk mengatakan yang baik tentang Chin Siu-ang. II “Perkataan apa itu, umpat Tong Bu-im marah, “sekalipun belum pernah makan daging babi, seharusnya pernah melihat babi berjalan . . . . .. eeei, kenapa tandu itu tidak berhenti dan mau diangkut ke dalam rumah?” Sambil menggerutu, lelaki dusun itupun menghentikan tandunya didepan pintu. Salah seorang diantaranya segera berkata: “Selama hidup belum pernah aku menggotong tandu pengantin semacam ini, ngotot minta kami berkeliling satu lingkaran dulu sebelum dibawa kemari." Sambil berkata, dia ambil saputangan dan mulai menyeka keringat ditubuhnya. “Siapa yang suruh kalian berkeliling satu lingkaran?” tanya Tong Ti dengan wajah berubah. “Chin loya." “Dimana dia sekarang?” “Tadinya masih mengintil di belakang tandu, tapi dalam sekejap orangnya sudah hilang, hamba sekalian tak berani ambil keputusan maka harus menunggu lama lagi sebelum menggotong tandu ini kemari." Tong Bu-im mendengus dingin. “Sok misterius!” umpatnya, diapun memberi tanda sambil katanya lagi, “coba bimbing keluar orang yang ada didalam tandu, tanya dia, apakah ayahnya sudah kena penyakit sinting?" Siau Hui-uh yang mendengar perkataan itu segera berbisik sambil tertawa: “Coba lihat, tua bangka itu tidak bilang bimbing keluar pengantin wanita itu, tapi bilang bimbing keluar orang itu, kelihatannya dia lebih penuju pada Tu Kuan." Ketika berpaling, dia saksikan Tian Mong-pek berdiri melongo seperti orang yang kehilangan sukma, tampaknya dia sama sekali tidak mendengar apa yang dikatakan. “Hei,” tegur Siau Hui-uh keheranan, “kenapa kau?" ll “Aaai, Chin Siu-ang . . . . . . .. Mendadak terdengar jeritan kaget berkumandang di empat penjuru, perempuan yang bertugas membuka tirai tandu itu tampak mundur sempoyongan lalu jatuh terduduk ke lantai. Ternyata begitu tirai tandu disingkap, dari dalam tandu muncul tubuh seseorang yang langsung roboh ke depan. Dalam waktu singkat semua orang jadi kaget, teriakan tertahan bergema disana sini. Sewaktu tubuh orang itu diperiksa, ternyata badannya sudah dingin kaku, ternyata orang yang berada didalam tandu itu bukan pengantin wanita, melainkan sesosok mayat yang mengenakan pakaian pria. Ditengah kekalutan, Tong Bu-im membentak gusar: “Rekan mana yang merah mata melihat keluarga Tong menyelenggarakan pesta perkawinan sehingga datang mengajak bergurau? Anak Ti, coba ditengok." Si Tangan pencabut nyawa Tong Ti melompat baju ke depan mayat itu dan memeriksanya. Dalam waktu singkat terlihat paras mukanya berubah hebat, sambil menuding kearah mayat itu, jeritnya dengan gemetar: “Panah kekasih . . . . . .. Chin Siu-ang . . . . . .. panah kekasih . . . . . ..” Dengan satu lompatan Tian Mong-pek meluncur ke samping mayat itu lalu memeriksanya dengan seksama. Terlihat mayat itu kurus kering berwajah pucat, kedua pipinya cekung tanpa daging, kalau bukan Chin Siu-ang lantas siapa lagi? Setelah diamati lagi, terlihat diatas dada Chin Siu-ang, orang yang selama ini dianggap Tian Mong-pek sebagai pemilik panah kekasih, terhujam dua batang anak panah pendek, satu berwarna merah, satu lagi berwarna hitam. Rasa kaget yang mencekam hati Tian Mong-pek kali ini benar-benar tak terkirakan, sedemikian terperananya hingga suara pekikan dari empat penjuru yang begitu keras bagai gelombang tsunami pun sama sekali tak terdengar olehnya. Entah berapa lama kekalutan itu berlangsung, dia masih berdiri kaku, tak bergerak, matanya tak berkedip. Dengan kaget Siau Hui-uh menatap pemuda itu, diapun tak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi? Darimana gadis itu bisa menyelami kepedihan hatinya? Satu satunya jejak yang berhasil dia lacak dengan susah payah, kini hilang lenyap dengan begitu saja. Dengan hilangnya jejak tersebut, bukan pekerjaan yang gampang baginya untuk menelusuri kembali siapakah pemilik panah kekasih. “Karena dia mati oleh panah kekasih, berarti dalangnya pasti bukan dia.” Gumamnya. Sementara itu Tong Bu-im sedang menginterogasi para lelaki pemikul tandu. Dengan ketakutan jawab lelaki itu: “Chin loya perintah kami sekalian untuk tidak segera menggotong masuk tandu ini tapi berputar putar dulu di empat penjuru, dia pun mengintil dibelakang tandu sambil menengok kesana kemari, kemudian hamba sekalian menggotong tandu ini ke belakang bukit sebelah sana, tiba tiba dia minta hamba sekalian pergi minum teh dan beristirahat, sejujurnya hamba sekalian memang merasa sangat lelah, maka.... maka kami pun pergi." Tempat yang ditunjuk adalah bayangan bukit sebelah depan, tempat itu tak lain adalah gua rahasia tempat keluarga Tong meramu senjata rahasia. Dengan wajah berubah Tong Bu-im memandang kearah Tong Ti, katanya sambil tertawa dingin: “Jangan jangan tua bangka itu dengan memakai tandu pengantin sebagai alasan, dia bermaksud ke sana untuk mencuri rumput pelumat impian?” “Tapi.... tapi rumput pelumat impian tidak berada disana!” sahut Tong Ti. “Goblok," umpat Tong Bu-im makin gusar, “darimana dia tahu kalau rumput pelumat impian tidak berada disana? Sudah pasti dia sangka rumput pelumat impian disimpan dalam gua tempat meramu senjata rahasia." Tong Ti menundukkan kepalanya, tidak berani membantah. Sesudah mengatur napas yang tersengkal, kembali lelaki penggotong tandu itu berkata: “Sewaktu hamba sekalian balik ke sana seusai minum teh, tandu masih berada disitu, tapi Chin loya sudah pergi, waktu itu hamba sekalian memutuskan untuk menunggu sampai kedatangannya kemudian baru ambil keputusan, tapi setelah ditunggu lama dan langit semakin gelap, kami mulai kuatir kalau pengantin yang ada dalam tandu mulai cemas, terpaksa tandu pun kami gotong kemari. “Dalam perjalanan, hamba sekalian pernah bertanya kepada sang pengantin dalam tandu, tapi tak pernah ada jawaban, hamba sangka pengantinnya malu, enggan menjawab, jadi sama sekali tak heran, namun..... namun hamba sekalian tak pernah mengira kalau pengantin perempuan yang ada dalam tandu, tiba tiba telah berubah jadi sesosok mayat!" Tong Bu-im menghela napas panjang, katanya: “Tak heran kalau orang lain tak berhasil menemukan tandu itu, ternyata tandu berada dibelakang gunung, sudah pasti orang lain tak akan menemukan, hanya saja . . . . .. hanya saja . . . . . ..” Setelah memukul sandaran kereta rodanya kuat kuat, dia meneruskan: “Kenapa si tua bangka Chin bisa mati? Dia mati ditangan siapa? Kenapa diatas dadanya . . . . .. diatas dadanya terhujam dua batang panah kekasih?" Tian Mong-pek terlebih bingung, makin dipikir dia semakin bertambah bodoh, dengan segala akal muslihat Chin Siu-ang berusaha mendapatkan rumput pelumat impian, dia mirip sekali dengan pemilik panah kekasih. Tapi sekarang, dia justru mati karena panah kekasih, itu berarti . . . . .. Mendadak satu ingatan melintas dalam benak pemuda itu, pikirnya" “Jangan jangan semuanya ini hanya siasat comberet emas lolos dari kepompong dari Chin Siu-ang, dia sembarangan mencari sesosok mayat, didandani seperti wajah dirinya, agar orang persilatan menyangka dia sudah mati, kemudian secara diam diam melanjutkan perbuatan terkutuknya?" Makin dipikir dia merasa dugaan itu semakin masuk akal, batinnya: “Asal kuperiksa mayat itu dengan seksama, bukankah segera akan diperoleh jawabannya?" Ketika berpaling lagi, ternyata mayat itu sudah digotong pergi. Tampak Tong Pa dengan wajah murung berjalan dari sisinya, cepat Tian Mong-pek menariknya dan bertanya: “Tahukah saudara Tong, jenasah Chin Siu-ang telah digotong pergi ke mana?” Waktu itu Tong Pa sendiri sedang dirundung banyak persoalan, diapun tidak bertanya mengapa pemuda itu menanyakan hal tersebut, jawabnya: “Lo-cou-cong merasa kehadiran mayat diruang ini sangat mengganggu pemandangan, aku diperintah untuk menggotongnya ke dalam gua didepan sana." Tempat yang dia tunjuk tak lain adalah gua rahasia dimana keluarga Tong meramu senjata rahasia. Buru buru Tian Mong-pek mengucapkan terima kasih dan segera berlalu. Waktu itu tak seorang jago pun yang memperhatikan gerak geriknya, mereka sedang memperbincangkan peristiwa yang baru terjadi, hanya Siau Hui-uh seorang yang mengamati terus gerak gerik pemuda itu. Timbul rasa heran dihati kecilnya setelah melihat gerak geriknya yang misterius, baru saja dia hendak mengintil, tiba tiba lengannya ditarik orang. Dalam kaget dan gusarnya, nona itu berpaling, ternyata Lam-yan. Dengan wajah panik dan tak tenang kata Lam-yan: “Uh-ji, engku . . . . .. engku mu ke mana?" Siau Hui-uh tertegun, balik tanyanya: “Tu..... Tu Hun-thian?” “Tu lo-enghiong juga tak terlihat, pasti mereka berdua telah pergi secara diam-diam untuk bertarung, aaai, kali ini mereka pasti akan bertarung mati hidup." Dari mukanya yang murung, jelas menampilkan perasaan kuatirnya yang berlebihan. “Tenang," hibur Siau Hui-uh, “dengan kungfu yang dimiliki engku, tak mungkin dia akan kalah." Lam-yan menghela napas panjang. “Aaai, kungfu engku mu memang bagus, tapi ilmu silat Tu Hun-thian pun tidak jelek, bila salah seorang diantara mereka salah turun tangan..... aaai, apalagi meski dia melukai Tu lo-enghiong pun, keadaan akan bertambah runyam." “Bibi tak usah gugup," kembali hibur Siau Hui-uh sambil tertawa paksa, “karena buru buru ingin berkelahi, sudah pasti mereka tak perlu jauh, asal kita periksa empat penjuru, jejak mereka pasti akan ditemukan." Oleh karena mengurusi masalah disini, terpaksa urusan lain harus dikesampingkan, meski dia heran dengan gerak gerik Tian Mong-pek yang aneh, setelah melihat kegelisahan Lam-yan, terpaksa dia pergi menemani bibinya. Oo0oo Dengan menelusuri jalan setapak, dalam waktu singkat Tian Mong-pek sudah menemukan sumber air panas, ketika menelusuri aliran sungai itu, dalam waktu singkat gua karang yang menyerupai hewan buas itu sudah muncul dibalik kegelapan. Cahaya penerangan diseputar tempat itu tidak seterang ruang pesta, diantara hembusan angin malam, terlihat bayangan manusia berjalan mondar mandir melakukan perondaan, ternyata penjagaan disana amat ketat. “Siapa?" dari balik kegelapan terdengar seseorang membentak nyaring. Diantara kilauan cahaya golok, empat lima orang telah muncul mengepung. Tian Mong-pek segera memberi hormat sambil memperkenalkan diri: “Aku, Tian Mong-pek." Para peronda segera mengendorkan kewaspadaannya, menanti Tian Mong-pek mengemukakan maksud kedatangannya, meski orang orang itu merasa keheranan, tapi lantaran tahu kalau belakangan Tian kongcu menjadi orang kesayangan Lo-cou-cong, maka tak seorangpun berani membangkang. Salah seorang diantaranya segera berkata sambil tertawa: “Kami semua pun merasa kehadiran mayat itu sangat mengganggu suasana, maka jenasahnya kami gotong ke dalam gua sana. Bila Tian siangkong ingin melihat . . . . . .. eeei... Ong jite, coba kalian berdua hantar Tian siangkong ke situ!” Setelah menyampaikan rasa terima kasih, cepat pemuda itu mengintil dibelakang mereka melewati sebuah pintu besi dan tiba di tebing yang gelap. Dalam tebing itu, diantara pepohonan pendek dan semak terdapat sebuah tandu, didalam tandu itulah jenasah Chin Siu-ang berbaring. Sambil menuding dari kejauhan, kedua orang itu segera menghentikan langkahnya. Tian Mong-pek tahu, kedua orang ini pasti enggan menuju ke situ, maka buru buru katanya sambil tertawa: “Aku hanya ingin menengok apa penyebab kematian orang itu, tidak perlu merepotkan kalian berdua lagi.” Memang itulah yang diinginkan mereka berdua, setelah berbasa basi, merekapun segera berlalu. Dihari pernikahan yang baik, siapapun pasti enggan melihat mayat, tidak terkecuali lelaki lelaki kasar itu. Dengan langkah lebar Tian Mong-pek berjalan mendekat, jantungnya berdebar keras, tiba didepan tandu, dia angkat mayat itu, terasa jari tangannya sedikit agak gemetar. Cepat pemuda itu tenangkan hatinya, meminjam cahaya bintang ditambah ketajaman matanya yang melebihi orang lain, dia periksa mayat itu dengan seksama. Sekarang ia dapat melihat dengan pasti, mayat itu memang mayat Chin Siu-ang, bukan samaran orang lain. Untuk sesaat dia merasa amat kecewa, tak tahan pemuda itu menghela napas panjang, perlahan dia membaringkan kembali mayat dari Chin Siu-ang itu ke dalam tandu. Sekonyong-konyong . . . . . .. mayat Chin Siu-ang yang baru saja dibaringkan tiba tiba melejit bangun, lengan kanannya langsung menghantam jalan darah cian-keng-hiat di bahu kanan pemuda itu, deruan angin yang kencang menandakan serangan itu dahsyat. Dalam kagetnya Tian Mong-pek mencelat ke udara dan mundur sejauh berapa