Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Panah Kekasih - 164

$
0
0
Cerita Silat | Panah Kekasih | Karya Gu Long | Panah Kekasih | Cersil Sakti | Panah Kekasih pdf

Pendekar Naga Putih - 80. Iblis Angkara Murka Panah Kekasih II - Gu Long Tom Swift - Misi Penolong Pendekar Pedang Siluman Darah - 27. Takanata Iblis Nippon Siluman Ular Putih - 25. Rahasia Kalung Permata Hijau

Bab 49. Diselimuti kabut keraguan. Sudah cukup lama Siau Hui-uh bertarung melawan kedua belas orang lelaki kekar itu, meski sekarang telah berhenti bertarung, namun jaraknya dengan Tian Mong-pek tidak terlalu dekat, apalagi dia sedang repot mengurusi keselamatan sendiri, bagaimana mungkin bisa turun tangan untuk menolong orang lain? Pada saat itulah Tian Mong-pek merasakan datangnya satu kekuatan besar dari belakang, kekuatan yang membuat tubuhnya melambung tanpa sadar, senjata rahasia yang mengancam tiba seketika melesat lewat dari bawah alas kakinya kemudian lenyap tak berbekas. Dalam kerepotan, dia melihat tubuh Ping-ji ikut melayang ke udara, sedang dari bawah kakinya menyambar lewat cahaya gelap bagai awan, sedang Siau Hui-uh tahu tahu menjerit lalu roboh terjungkal. Diantara ke tiga orang itu, sesungguhnya hanya Siau Hui—uh seorang yang tak mungkin terkena senjata rahasia, hanya dia seorang yang dapat menghindar atau memukul rontok senjata rahasia itu, siapa tahu justru hanya dia yang terluka. Kini para jago baru menjerit kaget, ada diantaranya yang bermata tajam pun baru dapat melihat dengan lebih jelas. Ternyata dibelakang tubuh Tian Mong-pek serta Ping-ji selalu menempel seseorang, hanya saja karena orang itu mengenakan jubah putih maka siapapun tidak menaruh perhatian kepadanya. Hingga senjata rahasia dilancarkan, tiba tiba kedua orang itu mendorong tubuh Tian Mong-pek dan Ping-ji hingga terpental, sementara tangan yang lain dipakai untuk menggulung senjata rahasia itu ke balik bajunya. Para jago dapat melihat kalau tenaga dalam yang dimiliki kedua orang itu sudah mencapai tingkat yang luar biasa, sekarang mereka baru tahu kalau kedua orang itu bukan anggota perguruan panji kain. Tapi yang lebih aneh lagi adalah Siau Hui—uh ternyata tidak berusaha menghindar, ia membiarkan senjata rahasia itu menghajar tubuhnya. Suasana didalam gedung kontan jadi kacau, begitu kakinya menginjak tanah, tanpa berpikir lagi kenapa badannya bisa mencelat, Tian Mong-pek menjerit kaget kemudian langsung berlarian menghampiri Siau Hui-uh. Dua orang yang berada dibelakang Ping-ji ikut melambung pula ke udara dan melayang turun disamping Siau Hui-uh. Salah seorang diantaranya segera membopong tubuh Siau Hui-uh sambil bisiknya: “Anak Uh.... anak Uh . . . . . ..” Sewaktu tutup kepalanya dilepas, ternyata dia adalah Siau Ong-sun, kokcu dari lembah kaisar. Sedangkan orang yang lain ikut melepas penutup kepalanya, dia adalah Tu Hun-thian. Tian Mong-pek sama sekali tidak menyangka kalau kedua orang Bu-lim cianpwee ini bakal muncul disini, dalam kagetnya belum sempat dia bertanya lebih jauh, Cepat dia menubruk ke sisi Siau Hui-uh. Tampak Siau Ong-sun dengan mata berlinang berbisik: “Ayah tidak turun tangan lebih Cepat, ayah telah mencelakaimu, tapi..... tapi... kenapa kau tidak berusaha menghindari senjata rahasia itu?” Walaupun pengetahuannya luas, menguasahi ilmu pertabiban, namun ia tak berani memberi pertolongan secara sembarangan karena tidak mengetahui sifat racun itu. Maka dia totok dulu empat buah jalan darah penting ditubuh Siau Hui-uh, namun karena rasa kuatir yang berlebihan, peluh membasahi seluruh tubuhnya. Siau Hui-uh membuka matanya, melihat ayahnya hadir disitu, dengan rasa girang ujarnya lirih: “Kalau dia..... dia tak bisa menghindar, apa gunanya aku berkelit, kami..... kami ingin mati bersama, kalau membiarkan dia berangkat seorang diri . . . . .. dalam perjalanan menuju ke alam baka pasti akan kesepian.....? mana mungkin aku tega . . . . . ..?” Remuk redam perasaan Tian Mong-pek mendengar ucapan itu, saking sedihnya dia sampai tak mampu berkata kata. Tu Hun—thian menghentakkan kakinya berulang kali, para jago tertunduk sedih, bahkan Ping-ji pun ikut menangis tersedu. “Bocah bodoh,” kata Siau Ong-sun, “dia.... dia tidak terkena senjata rahasia!” “Dia.... dia tidak . . . . . ..” Siau Hui-uh segera berpaling memandang Tian Mong-pek, tiba tiba badannya gemetar lalu jatuh tak sadarkan diri dalam pelukan ayahnya. Siau Ong-sun merasa amat menyesal, katanya: “Kenapa aku tidak turun tangan sejak awal, sebaliknya malah melatih kalian. Aaai, kalau sejak tadi sudah turun tangan, mana mungkin akan terjadi peristiwa ini?” Baru selesai dia berkata, tiba tiba dari atas kepala terdengar seseorang berkata sambil menghela napas: “Benar, kalau kau turun tangan sejak awal, tentu lebih baik, tapi... sekarang pun belum terlambat.” Dengan kaget semua orang mendongakkan kepala, tampak diatas tiang penglari muncul empat buah kaki berkaus putih, dari jubahnya yang abu abu dapat diketahui kalau mereka semua adalah pendeta. Suara itu lembut, halus tapi tajam, ketika para jago masih kaget, Tu Hun-thian telah berseru: II “Sobat . . . . .. saudara . . . . .. taysu..... hujin . . . . . .. secara beruntun dia ganti panggilan sampai empat kali, namun semuanya merasa kurang pas, akhirnya dia berteriak: “siapa kau?” “Coba kau tebak?” sahut orang diatas tiang penglari sambil tertawa. “Saat ini pikiranku sedang kalut,” ujar Siau Ong-sun dengan suara dalam, “bila kau adalah sahabat, bukan musuh, tolong jangan mempermainkan lagi.” Maksud dari perkataan itu: “Kalau masih mempermainkan, berarti mencari penyakit buat diri sendiri.” “Turut perintah!” sahut orang diatas tiang penglari, disusul kemudian terlihat dua sosok bayangan abu abu melayang turun ke bawah. Kedua orang itu mengenakan lhasa dengan tangan membawa tasbeh, ternyata dua orang nikouw, yang disebelah kiri tampak sudah tua sekali, wajahnya penuh keriput. orang yang disebelah kanan, meski sudah berusia lanjut namun masih terlihat sisa kecantikannya. Baru saja Tian Mong-pek merasa kedua orang nikouw itu seperti agak dikenal, Siau Ong-sun telah berseru: “Kau..... kenapa kau jadi rahib?” Sesosok bayangan wanita cantik berbaju merah segera melintas dalam benak Tian Mong-pek, setelah diamati, diapun ikut menjerit kaget: “Tiau-yang hujin!” “Omintohud,” nikouw itu merangkap tangannya sambil tersenyum, “Tiau-yang hujin sudah mati, yang ada sekarang tinggal Coat—hong nikouw.” Dengan wajah sedih Siau Ong-sun segera memberi hormat, katanya: “Tak disangka sahabat lama telah mengikuti ajaran Budha, melihat keberhasilan ini, aku sungguh ikut merasa gembira.” Dia seperti akan mengucapkan sesuatu, namun tenggorokannya terasa tersumbat dan tak mampu dilanjutkan. Coat—hong taysu atau Tiau-yang hujin terlihat sedih, namun Cepat dia berkata sambil tersenyum: “Kokcu mendoakan yang baik, pinni mengucapkan banyak terima kasih.” Kedua orang itu saling bertukar pandangan sekejap lalu masing masing melengos kearah lain, semua perasaan cinta dan benci yang membelit mereka hampir puluhan tahun, seolah sudah menguap dan hilang dalam sesaat itu. Nikouw yang ada disebelah kiri segera berkata: “Buddha maha pengasih, ternyata suci benar benar sudah terbuka pikirannya.” Biarpun usia orang ini lebih tua, ternyata posisinya hanya sebagai adik seperguruan. Coat—hong taysu segera tertawa, katanya: “Bukankah sumoay pun telah berhasil membuka pikiranmu?” “Biarpun aku berhasil melepaskan diri dari pintu cinta jauh didepan suci, namun tidak secepat apa yang suci raih . . . . ..” Seakan terbayang kembali masa lalu, perlahan dia tundukkan kepalanya. “Duuu, apa itu lebih dulu, belakangan, tak ada yang Cepat, tak ada yang lambat.....” bentak Coat—hong taysu. Kata “Duu” merupakan teguran yang dalam kalangan Buddha disebut “kemplangan diatas kepala” Nikouw berjubah abu abu itu tampak kaget, buru buru dia merangkap tangannya didepan dada seraya menyahut: “Benar!” setelah itu sambil tersenyum kearah Tian Mong-pek, tanyanya: “Tian sicu, sudah tidak kenal dengan pinni?” Tian Mong-pek tertegun.\ “Ini.... ini.....” “Coba perhatikan lagi.” Kata Coat—hong taysu pula. Tian Mong-pek segera mengamati lebih seksama, mendadak hatinya kembali merasa kaget, sesosok tubuh semampai berbaju merah melintas dalam benaknya, tak tahan lagi dia menjerit kaget: “Ular merah . . . . . . . ..” Walaupun dia sudah mengenali nikouw berjubah abu abu itu sebagai ular merah bergincu yang pernah dijumpai di puncak bukit Kun-lun, namun pada akhirnya perkataan itu tak sampai selesai diutarakan. Nikouw itu kembali tertawa. “Omintohud, ular merah bergincu sudah mati, yang ada dalam dunia ini tinggal Miat-hong nikouw, yang ada sekarang jubah lhasa, bukan lagi baju berwarna merah.” Tian Mong-pek merasa terkejut bercampur gembira, dia tahu perselisihan cinta antara dua bersaudara Kongsun dengan dirinya yang sudah menyiksa hampir puluhan tahun, memang sudah sepantasnya terselesaikan. Dengan wajah bersungguh-sungguh diapun berkata: “Kionghi taysu.” Miat—hong taysu tertawa. “Andaikata Coat—hong suci tidak berkunjung ke bukit Kun-lun dan membawa aku menyeberangi samudra kesedihan, mungkin hingga hari ini aku belum bisa lolos dari urusan cinta.” Coat—hong taysu ikut tertawa. “Membawa kau menyeberang mah gampang, mau membawa dua bersaudara Kongsun itu susahnya melebihi naik ke langit, namun kalau dilihat watak mereka berdua, setelah hari ini menjadi murid Buddha, selamanya mereka akan tetap menjadi murid Buddha..... Tian sicu, mereka berdua titip pesan kepada pinni untuk disampaikan kepadamu, bunga seruni giok-hu-han-kiok sudah tak perlu ditanam lagi, bila ada waktu nanti, jangan lupa untuk berkunjung ke kuil Mong-cing-sie di bukit Kun-lun dan menengok seorang pendeta yang bernama Mong-cing dan satu lagi bernama Mong-sin.” Tian Mong-pek menyahut dengan hormat, perasaan hatinya makin trenyuh, pikirnya: “Tak heran kalau sudah lama aku tak mendengar kabar tentang Tiau-yang hujin, rupanya setelah mencukur rambut jadi nikouw, diapun berkunjung ke II bukit Kun-lun untuk menyadarkan rekan lainnya . . . . .. Terbayang dua bersaudara Kongsun yang bersifat keras dan lembut, tapi kenyataannya berhasil disadarkan, sudah jelas hal ini bukan pekerjaan mudah, bisa dibayangkan betapa sulitnya perjalanan Coat-hong taysu waktu itu. Terdengar Siau Ong-sun berkata sambil menghela napas sedih: “Tak kusangka kau . . . . .. taysu berhasil dengan usahanya, dan berhasil membujuk orang untuk bertobat. Hanya saja, apakah taysu dapat selamatkan pula putriku?” Coat—hong taysu segera tertawa, sahutnya” “Kalau berganti masa lalu, pinni tak berani berjanji, tapi setelah hari ini mendapat seorang ahli racun sebagai adik seperguruan, pinni yakin luka putrimu bukan masalah.” Siau Ong-sun dan kegirangan. II “Terima kasih taysu . . . . . .. serunya. Dia cukup tahu akan kehebatan si ular merah bergincu dalam melepaskan racun, ditambah lagi dengan ilmu pertabiban dari Tiau-yang hujin, rasanya tiada racun didunia ini yang tak dapat mereka punahkan. Tiba tiba terdengar Siau Hui-uh menjerit keras lalu tersadar dari pingsan, serunya gemetar: “Dia tidak mati..... akupun tak ingin mati . . . . .. akupun tak ingin II mati . . . . .. Meskipun luka yang diderita Tian Mong-pek sudah bukan masalah, namun jeritan yang menyayat hati itu seketika membuat hatinya jadi kecut, buru buru bisiknya lembut: “Kau..... kau tak bakal mati.” “Kau... kau berbohong.... aku tahu.... aku . . . . ..” air mata berlinang membasahi wajah Siau Hui-uh. Miat—hong taysu segera membelai rambutnya dan berkata lembut: “Thian itu maha pengasih, bukan saja kau telah mengenakan baju berlapis, sekarang berjumpa pula dengan kami, mana mungkin kau bisa mati?” “Sungguh..... aku tak akan mati?” tanya nona itu sambil mendongak. “Tentu saja sungguh,” Coat-hong taysu tertawa ramah, “asal Siau sicu dan Tian sicu merelakan kau untuk berpisah berapa waktu dan menyerahkan kau II kepada kami . . . . . . .. Belum habis ucapan itu, Tian Mong-pek sudah menyela: II “Tentu saja boanpwee rela . . . . .. II Mendadak ia merasa penggunaan kata “rela kurang pas, dengan wajah memerah, diapun tertunduk malu. II “Kalau begitu, merepotkan taysu berdua. Kata Siau Ong-sun. Mendadak terlihat tubuh Miat—hong taysu menyelinap ke hadapan Ping-ji, sepasang tangannya bergerak Cepat mencengkeram pergelangan tangannya. “Traaang!” sebilah pisau belati segera terlepas dari genggaman Ping-ji. II “Lepas tangan.... lepas tangan..... seru Ping-ji gemetar, “tolong jangan mmfisahL” “Kau masih begitu muda, kenapa ingin mati?” “Apakah aku masih bisa hidup.....? apakah aku masih bisa hidup? Biarpun aku adalah orang yang dibeli orang lain untuk diberikan kepada Tian kongcu, tapi aku sudah masuk ke dalam keluarga Tian, berarti aku sudah menjadi milik Tian kongcu, tapi aku sudah dinodai bajingan siluman, hanya dengan kematian aku baru bisa mencuci bersih noda ini. Taysu, tolong lepaskan aku?” Sebetulnya para jago merasa kagum kepada gadis ini setelah menyaksikan kegagahan dan kecerdasannya tadi, melihat dia berniat bunuh diri, dengan perasaan kaget kembali semua orang mengerumuninya. Cepat Tian Mong-pek menghampirinya. sambil menutupi wajah sendiri, seru Ping-ji: “Tian kongcu, Ping-ji sudah tak punya muka bertemu denganmu, kau.... lebih baik kau cepatlah pergi!” “Kenapa kau malu bertemu dia?” tanya Miat-hong taysu, “toh dia tak bakal pandang rendah dirimu.” “Betul,” sambung Tian Mong-pek, “aku merasa sangat berhutang budi kepada nona, bila terbesit pikiran memandang rendah diri nona, aku lebih rendah dari binatang.” Tapi isak tangis Ping-ji makin menjadi. “Terserah apapun yang dikatakan kongcu, aku . . . . .. aku tak mungkin mengikuti kongcu lagi, hanya nona Siau yang paling pantas mendampingi kongcu.” Sejak awal Siau Hui-uh sudah menaruh kesan baik terhadap gadis ini, dia semakin iba setelah mendengar ucapan itu, meski tubuhnya tak mampu bergerak, namun katanya: “Kau tak usah bicara bodoh lagi, kenapa kau tak pantas?” “Nona Siau, tolong jangan bicara lagi, aku hanya berharap kau bisa hidup bersama Tian kongcu hingga ratusan tahun, untuk itu Ping-ji sudah senangnya bukan main.” Siau Hui-uh merasa berterima kasih bercampur sedih, untuk sesaat dia tak tahu harus bicara apa. Mendadak Him Ceng—hiong bangkit berdiri dan berseru: “Sekalipun hujin tak mau lagi menikah dengan Tian kongcu, tapi sekarang kau adalah ciangbunjin perguruan panji kain, mana boleh mati?” “Ucapan Him toako tepat sekali.” Para jago segera berteriak hampir berbareng. Ping-ji tertawa sedih, katanya: “Ucapanku tadi sebenarnya mengandung maksud ganda, perguruan panji kain putih sesungguhnya milik Tian kongcu, hanya Tian kongcu yang pantas menjabat ciangbunjin dari perguruan panji kain putih.” “Bila aku berniat jadi ketua perguruan, sejak sebelum Chin locianpwee meninggal, tawaran itu pasti telah kuterima . . . . .. nona, kau berhasil membongkar rencana busuk Yo Swan, berhasil selamatkan nama baik perguruan panji kain putih dari perbuatan kaum durjana, bila arwa Chin locianpwee tahu di surga, dia pasti akan mewariskan perguruan ini kepadamu.” Kembali semua jago memberi dukungan. “Betul sekali,” kata Him Ceng—hiong dengan hormat, “hujin telah berkorban demi perguruan ini, selain hujin, siapa yang pantas jadi ciangbunjin perguruan panji kain putih ini?” “Aku.... aku tak lebih hanya seorang pelacur murahan, sekarang....sekarangpun aku telah ternoda, dengan statusku yang begini rendah, apa pantas menjadi ketua perguruan besar ini?” “siapa yang mengatakan kau rendah, dialah yang sebenarnya orang paling rendah,” sela Miat-hong taysu dengan suara dalam, “menurut pendapatku, perempuan perempuan yang menganggap dirinya suci pun pasti akan angkat kepala bila bertemu dengan kau.” “Tepat sekali perkataan taysu!” seru para jago. “Apalagi bicara soal status rendah, di dunia ini tiada orang lain yang lebih rendah daripada diriku dimasa lalu, bukankah hingga kini aku masih hidup segar bugar?” “Perkataan sumoay tepat sekali!” ujar Coat—hong taysu pula, “menurut pendapatku, watak bocah ini banyak kemiripan dengan watakmu dimasa lalu, kenapa tidak kau terima saja menjadi muridmu!” “Nona Ping-ji, bersediakah?” tanya Miat-hong taysu sambil tertawa. Belum sempat Ping-ji menjawab, Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh telah mewakilinya menjawab: “Tentu saja bersedia . . . . . ..” Tapi kemudian mereka berdua saling berpandangan lalu tertawa. “Nona Ping-ji, kenapa kau belum berlutut?” seru Siau Hui-uh.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>