Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Panah Kekasih - 165

$
0
0
Cerita Silat | Panah Kekasih | Karya Gu Long | Panah Kekasih | Cersil Sakti | Panah Kekasih pdf

Bendera Maut - Kwee Oen Keng Tongkat Setan - Seng Kie-Su Dewa Linglung - 29. Begal dari Gunung Kidul Fear Street - Terror di Akhir Pekan Pendekar Mabuk - 90. Kematian Sang Durjana

Belum sempat Ping-ji menjawab, Tian Mong—pek dan Siau Hui-uh telah mewakilinya menjawab: ll “Tentu saja bersedia . . . . . .. Tapi kemudian mereka berdua saling berpandangan lalu tertawa. “Nona Ping-ji, kenapa kau belum berlutut?” seru Siau Hui-uh. Tampaknya Ping-ji bertekad ingin mengabdi pada Budd ha, ia segera berlutut sambil serunya: “Taysu.... ooh! Bukan . . . . .. suhu, bila kau orang tua bersedia menerima Ping-ji menjadi muridmu, Ping-ji tidak akan mati.” Miat-hong taysu segera tertawa. “Baiklah anak manis . . . . .. kau boleh ikut aku selama berapa tahun, setelah itu bila kau bersedia meneruskan jabatanmu sebagai ketua II perguruan . . . . . . .. “sebagai murid Miat-hong taysu, dia sangat pantas menjadi ketua perguruan panji kain putih, aku rasa semua pasti akan mendukungnya.” Sambung Siau Ong-sun sambil tertawa. Para jago jadi kegirangan, serentak mereka memberikan dukungannya. Tiba tiba Siau Hui-uh menyela: “Apakah murid Miat-hong taysu pantas juga menjadi putri angkat ayahku?” “Dasar budak cilik,” ujar Siau Ong-sun sambil tertawa, “baru saja orang bilang kau pantas mendampingi Tian kongcu, sekarang kau ingin angkat dia sebagai adik angkat, tak tahu malu.” Gelak tertawa segera menggema dalam ruangan. Siau Hui-uh malu bercampur girang, serunya manja: “Ayah, aku..... aku . . . . . ..” Perasaan senangnya merasuk sampai ke dasar hati, membuat gadis ini hampir saja melupakan lukanya. II “sudah, tak usah membuang waktu lagi, seru Miat-hong taysu, “sebetulnya kau bersedia tidak menerimanya?” “Wah, pendeta yang lihay, mana berani aku menampik.” “Omintohud, siancay, siancay, dibagian yang mana pinni jadi lihay . . . . ..” Gelak tertawa para jago pun semakin ramai. Diiringi gelak tertawa yang ramai, Ping-ji menyembah dihadapan Siau Ong-sun, hawa pembunuhan serta kepedihan yang semula menyelimuti ruangnpun seketika berubah jadi suasana gembira. Entah sedari kapan kakek tukang sapu itu muncul disitu, tiba tiba dia ikut bertepuk tangan sambil tertawa, mata yang sepanjang tahun selalu kelihatan mengantuk, kini telah terbuka sangat besar. Dengan lantang Him Ceng-hiong berseru: “Perguruan kami bisa dipimpin murid Coat-hong taysu serta putri Kokcu lembah kaisar, jelas kejadian ini merupakan satu kegembiraan yang luar biasa, hari ini kita harus merayakannya.” “Betul.” seru para jago serentak. “Begini saja, biar boanpwee yang menjadi bandar untuk menyiapkan arak serta hidangan, ditempat ini juga akan kuundang cianpwee sekalian untuk minum hingga puas, untuk taysu berdua pun tak ada salahnya untuk mencicipi arak pantang.” I “Tawaran ini biar pinni terima dihati saja,’ ujar Coat-hong taysu sambil tertawa, “tapi luka yang diderita nona Siau sudah tak bisa ditunda lagi, pinni harus segera mohon diri.” Mendengar perkataan itu, tentu saja para jago tak berani menahan lagi, serentak katanya: “Semoga hujin segera kembali untuk menata perguruan, biarlah saat itu kami baru menghormati taysu berdua dengan arak.” I “Pasti akan kuterima nanti,’ sahut Miat-hong taysu tertawa, “tapi sekarang pinni masih ada berapa urusan yang ingin minta tolong Him sicu, apakah Him sicu bersedia mengabulkan?” “Katakan saja taysu.” Sahut Him Ceng-hiong dengan hormat. “Untuk sementara waktu biar pinni bawa serta kitab pusaka dari panji kain putih, sementara Him sicu harus mengatur perguruan ini untuk sementara waktu, segala urusan putuskan saja sesuai dengan jalan pikiranmu.” “Terima perintah!” Melihat orang itu menjawab secara singkat tapi tandas, Miat-hong taysu segera tahu kalau orang ini tak pernah omong kosong dan betul betul merupakan seorang lelaki sejati. Diapun merasa amat lega, karena paling tidak urusan perguruan panji kain putih telah terselesaikan. Mendadak terdengar Ping-ji berkata: “Aku pun ingin memohon satu urusan.” “Silahkan memberi perintah, hamba tak berani menerima kata mohon.” Kata Him Ceng-hiong penuh hormat. Ping-ji tertawa, sambil menuding kakek tukang sapu itu katanya: “Dia pun merupakan orang yang lolos dari cengkeraman maut Yo Swan, aku berharap kau bisa baik baik merawatnya, jangan biarkan dia kelewat banyak minum arak.” “Baik!” Saking terharunya, titik air mata membasahi wajah kakek itu. Kembali Coat-hong taysu berkata kepada Siau Ong-sun sambil tertawa: “Pinni akan membawa pergi putri kandung kokcu, sedang sumoay pun akan membawa putri angkatmu, apakah kokcu tidak keberatan?” “Tidak, tidak, pasti tidak keberatan.” Sahut Siau Ong-sun sambil tertawa. “Hahaha, ternyata kokcu pun pandai merendah.” seru Coat-hong taysu tertawa. “Masih untung dia masih punya seorang menantu yang bakal menemani, pasti tak akan kesepian.” Sela Tu Hun-thian tiba tiba sambil tertawa. Kakek yang dihari biasa selalu serius, saat ini timbul juga niatnya untuk menggoda. Kontan saja paras muka Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh berubah jadi semu merah. “Baiklah,” kata Coat-hong taysu kemudian sambil berpaling ke arah Siau Hui-uh, “mari kita berangkat!” “Ke mana?” tanya Siau Hui-uh tertegun. “Ke mana lagi, tentu saja kau harus menyampaikan salam perpisahan kepadanya!” Wajah Siau Hui-uh bertambah merah. “siapa yang akan berpamitan . . . . ..” biar begitu, kerlingan matanya toh diam diam diarahkan kepada Tian Mong-pek. II “Hanya aku yang tahu suara hati cici . . . . . .. seru Ping-ji sambil tertawa. “Coba katakan.” Kata Coat-hong taysu. “Tak lama lagi, cici toh bakal berjumpa lagi dengan cihu, tentu saja dia harus berlagak sok tak kepikiran, coba kalau tidak.... hehehe.... masa kau orang tua tidak melihat sikapnya barusan . . . . .. bila kau tidak membiarkan mereka berdua bermesraan dulu, mungkin . . . . . ..” Diapun segera menirukan gayanya yang garang. Tapi sebelum selesai bicara, dia sudah tertawa terpingkal pingkal. \\ II “Cerewet..... umpat Siau Hui-uh, “kau... kau . . . . .. Dalam kondisi lemah, malu dan geli, dia tak mampu melanjutkan kata katanya. Begitulah, para jago baru kembali duduk setelah menghantar kepergian Coat-hong taysu sekalian yang berlalu sambil mengajak Siau Hui-uh serta Ping-ji. Siau Ong-sun, Tu Hun-thian maupun Tian Mong-pek menghembuskan napas lega. Setelah duduk berapa saat, pemuda itu baru bertanya mengapa Siau Ong-sun berdua bisa tiba disana? Ujar Tu Hun-thian: “Sesudah berpisah dengan kau hari itu, betul saja tak sampai dua hari aku berhasil menyusul Siau kokcu..... hahaha..... padahal Siau kokcu lah yang sedang mencari aku dijalanan itu.” “Setelah cianpwee berhasil mengejarnya..... berhasil mengejarnya . . . . ..” sela Tian Mong—pek tak sabar. Sambil tersenyum kata Siau Ong-sun: “Lebih baik saat ini kau masih memanggil aku sebagai kokcu saja, aku yakin panggilan gak-hu (ayah mertua) masih belum berani kau gunakan.” Kontak gelak tertawa menggema dalam ruangan. Terbongkar rahasia hatinya, merah padam paras muka Tian Mong-pek, katanya: “Setelah cianpwee berhasil mengejar...Gak..... Gak-hu, penyakit putrimu pasti sudah pulih kembali bukan.” sebagai pemuda yang keras kepala, semakin orang mengatakan ia tak berani memanggil Gak-hu, pemuda ini justru makin sengaja menggunakannya. Tu Hun-thian dan Siau Ong-sun saling bertukar pandangan sambil tertawa, sementara para jago segera bertepuk tangan sambil bersorak sorai. Ujar Tu Hun-thian kemudian: “Setelah berunding dengan Gak-hu mu, aku merasa lebih baik penyakit putriku tak usah disembuhkan saja.” “Kenapa?” tanya Tian Mong-pek keheranan. Sekilas bayangan gelap melintas diwajah Tu Hun-thian, sahutnya sambil menghela napas: “Terkadang, ada sementara orang akan merasa jauh lebih menderita disaat sadar ketimbang sewaktu masih linglung.” Ucapan itu mengandung maksud yang sangat dalam, tapi Tian Mong-pek segera menangkap maksudnya, dia jadi sedih dan ikut menundukkan kepala. Bayangkan saja, andai Tu Kuan tersadar dari linglungnya, melihat kekasih hatinya telah menjadi menantu orang lain, sedang dia sendiri justru menjadi bini orang lain, penderitaan semacam ini mungkin akan jauh lebih berat dan sukar ditahan oleh siapapun. Daripada begitu, bukankah jauh lebih baik membiarkan dia tetap linglung tapi kehidupannya lebih aman tenteram, mungkin dia akan jauh lebih bahagia. sebetulnya maksud Tu Hun-thian dengan menjelaskan keadaan tersebut adalah agar Tian Mong-pek tidak merasa bersalah, tapi begitu Tian Mong—pek memahami keadaan yang sebenarnya, rasa bersalah serta penderitaannya malah semakin bertambah. Melihat mimik wajah pemuda itu, Tu Hun-thian segera bertanya sambil tertawa: “Apa yang kau sedihkan? Anak Kuan bisa melewati hidupnya dalam ketenteraman, kau seharusnya ikut gembira.” II “Tapi.... tapi . . . . . .. “Hahaha, jelek jelek Tong Yan masih terhitung putra seorang tokoh dunia persilatan, dia sangat pantas mendampingi anak Kuan. Lohu merasa puas sekali bisa mendapat menantu macam dia.” Melihat kebesaran jiwa tokoh persilatan ini, Tian Mong-pek merasa kagum dan berterima kasih, tanpa terasa dia pun jatuhkan diri berlutut. Selama ini Siau Ong-sun hanya duduk sambil tersenyum, tiba tiba selanya: “Barusan aku sudah terima seorang putri angkat, maukah saudara Tu menerima pula seorang putra angkat?” Tu Hun-thian tertegun, tapi dia segera menangkap maksudnya, tak kuasa dia tertawa terbahak bahak. “Hahaha, mana berani lohu terima penghormatan seperti ini.... mana II berani..... Biar bicara begitu, matanya mengawasi terus Tian Mong-pek, sejujurnya dia merasa sangat bersedia, hanya menunggu pemuda itu menyampaikan niatnya sendiri. sudah pasti Tian Mong-pek paham, pikirnya: “Aku sudah banyak bersalah terhadap dia ayah dan anak, bisa jadi anak II angkatnya, paling tidak bisa mengurangi rasa bersalahku.... Tanpa ragu lagi dia pun menyembah sambil berseru: “Ayah diatas, terimalah penghormatan dari ananda.” Dengan hormat sekali diapun menyembah sembilan kali. Dimasa lalu, dia tak pernah sudi berlutut dihadapan orang lain, tapi kali ini dia bersujud dengan hati ikhlas. Para jago kembali bertepuk tangan sambil bersorak sorai, sementara Him Ceng-hiong buru buru menghidangkan sayur dan arak. Tu Hun-thian kegirangan setengah mati, sambil tertawa terbahak bahak serunya: “Hahaha, bagus, bagus, selama ini lohu menyesal karena tak berputra, tak disangka menjelang masuk tanah, aku berhasil menerima seorang putra yang jauh lebih ampuh dari diriku.” Dipegangnya lengan Tian Mong-pek lalu diamati berapa kejap, dia memandang seolah baru kali pertama bertemu pemuda itu, tentu saja hal ini membuat Tian Mong-pek jadi rikuh. Terdengar Tu Hun-thian berkata lagi: “Bagus, anak baik, lelaki sejati . . . . . .. aai, jika almarhum istriku dapat menyaksikan kejadian hari ini, dia.... dia pasti akan sangat kegirangan.” Rasa girang, terharu dan terima kasih membuat orang tua ini meski masih tertawa, namun air matanya telah bercucuran, tangannya gemetar keras, jelas hatinya sedang bergolak. Tian Mong-pek sendiripun merasa darah panas bergolak dihatinya, dia ikut sesenggukan hingga tak mampu bicara. Siau Ong-sun menonton dari samping sambil tersenyum, dari balik mata yang bening terlihat pula cahaya air mata, rupanya kakek inipun dibuat trenyuh oleh adegan didepan mata. Saat itulah Him Ceng-hiong melompat naik keatas mimbar dan berseru lantang: “sebetulnya kami persiapkan kalangan ini dengan harapan akan terbentuk pertahanan yang lebih kokoh dari dinding baja, susah bagi orang lain melewatinya, siapa sangka . . . . ..” Sambil menuding kearah Siau Ong-sun sekalian, terusnya: “Tapi bagi berapa orang Bulim cianpwee ini, ternyata tempat seperti ini sama seperti tempat bebas tanpa hambatan, bisa pergi datang dengan leluasa, kenyataan ini sebetulnya membuat siaute merasa sedih sekali.” Sesudah membusungkan dada, dengan suara yang lebih nyaring terusnya: “Tapi hari ini, andaikata bukan kehadiran berapa orang cianpwee ini, mungkin perguruan panji kain putih sudah berantakan tak karuan, ditempat inipun tak mungkin bisa diselenggarakan banyak kejadian yang menggembirakan. Oleh sebab itu kesedihan kami kini telah berubah jadi kegembiraan, sekarang juga akan siaute perintahkan untuk menghidangkan arak dan sayur, kami berharap locianpwee sekalian mau meneguk arak bersama kami.” Perkataan itu segera disambut dengan tempik sorak para hadirin. “Ucapan Him toako betul sekali . . . . . ..” teriak para jago, “tapi kalau hanya satu tegukan rasanya masih terlalu kurang, bukan begitu Him toako?” “Hahaha, betul, betul, satu cawan kelewat sedikit, mari kita menghabiskan tiga ratus cawan.” Sambil tersenyum ujar Siau Ong-sun: “Yang mampu menghabiskan tiga ratus cawan hanya dewa arak Li Tay-pek, tapi kalau hanya menyuguhi secawan arak untuk para jago, rasanya hal ini kelewat pelit, tidak mirip ucapan seorang jago persilatan, Him tayhiap,

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>