Cerita Silat | Panah Kekasih | Karya Gu Long | Panah Kekasih | Cersil Sakti | Panah Kekasih pdf
Pendekar Naga Putih - 80. Iblis Angkara Murka Panah Kekasih II - Gu Long Tom Swift - Misi Penolong Pendekar Pedang Siluman Darah - 27. Takanata Iblis Nippon Siluman Ular Putih - 25. Rahasia Kalung Permata Hijau
sambil tersenyum ujar Siau Ong-sun: “Yang mampu menghabiskan tiga ratus cawan hanya dewa arak Li Tay-pek, tapi kalau hanya menyuguhi secawan arak untuk para jago, rasanya hal ini kelewat pelit, tidak mirip ucapan seorang jago persilatan, Him tayhiap, tadi kau sudah salah bicara, maka sepantasnya dihukum dulu dengan tiga cawan arak.” Him Ceng—hiong tertawa keras. “Hahaha, sebutan locianpwee bikin cayhe malu saja, bagaimana pun, biar harus matipun cayhe akan habiskan ke tiga cawan arak itu . . . . ..” Sekonyong-konyong terdengar suara desingan angin tajam melesat lewat dari atas kepala para jago, menyusul kemudian.... duuk, duuk, duuk! Terdengar tiga benturan bergema dari atap bangunan. Terlihat tiga batang panah panjang berwarna perak melesat masuk lewat jendela dan berjajar menancap diatas tiang penglari, bukan saja batang panah berwarna keperak perakan, ukuran panah pun panjangnya istimewa. Seketika gelak tertawa berhenti, suasana jadi senyap. Kecuali Siau Ong-sun yang tetap duduk tenang, seolah tak pernah terjadi sesuatu, para jago lainnya, paling tidak ada sebagian yang berubah paras mukanya. Him Ceng—hiong segera tampil ke depan jendela, bentaknya sambil memberi hormat: “Sobat mana yang telah datang berkunjung? Boleh tahu ada urusan apa?” Padahal semua orang tahu bahwa kekuatan daya bidik ke tiga batang panah panjang itu sangat mengerikan, tapi kini, tanpa takut sedikitpun dia berdiri didepan jendela, seolah tidak kuatir menjadi sasaran tembak lawan, keberanian semacam ini benar benar luar biasa. Terdengar dari luar jendela, dibalik kegelapan, seseorang segera menjawab: “Sahabat yang berada dalam ruangan, kedatangan kami bersaudara tidak membawa niat jahat, hanya ingin masuk ke dalam ruangan saja.” Nada suara itu penuh kekuatan, jelas ilmu silat yang dimiliki sangat tangguh, dari bayangan yang bergerak dibalik kegelapan, bisa dilihat pula bahwa yang hadir bukan hanya tiga sampai lima orang saja. “Ada urusan apa?” tanya Him Ceng—hiong tetap membusungkan dada. “Ada seorang pria dan seorang wanita dari perguruan kami telah berhianat dan mencuri benda mustika milik perguruan, oleh sebab itu kami ingin menggeledah, apakah kedua orang itu berada bersama kalian.” Mendengar perkataan itu, Him Ceng—hiong kembali tertawa keras, katanya: “Sobat sekalian, kalian enggan menyebut identitas tapi bersikeras ingin masuk untuk melakukan penggeledahan, apakah kalian tidak merasa bahwa tindakanmu kelewat pandang rendah semua orang yang berada disini!” Orang diluar jendela segera tertawa seram, katanya: “setelah menjumpai Liang-gin-toh-hun-sam-ciam (tiga panah perak pencabut sukma) namun masih belum bisa menebak asal usul kami, hal ini harus disalahkan kalian yang punya mata tak berbiji.” Begitu perkataan itu disampaikan, para jago pun ramai ramai mulai berbisik. “Lambang dari perguruan manakah tiga panah perak pencabut sukma itu?” “siaute sudah banyak tahun berkelana dalam dunia persilatan, namun belum pernah mendengar soal ini!” “Thio losam, ilmu meringankan tubuhmu paling bagus, coba kau naik keatas untuk mencabut panah itu dan memeriksanya.” Tian Mong-pek dan Tu Hun-thian ingin bertindak, tapi segera dicegah Siau Ong-sun, maka merekapun duduk kembali sambil mengikuti setiap perubahan. Coba kalau bukan begitu, dengan watak mereka berdua, sudah pasti sedari tadi sudah turun tangan. Tampak seorang lelaki kurus kering segera melompat keatas tiang penglari, ternyata ilmu ginkang yang dimiliki cukup hebat. Begitu tiba diatas tiang penglari, diapun mencabut ke tiga anak panah itu satu per satu, setelah diperiksa sejenak, diapun melompat turun kembali sambil berkata: “siaute tak dapat mengenali asal usul panah perak ini.” Seseorang yang berada disisinya segera mengambil panah itu dan diperiksanya berapa saat, kemudian dengan kening berkerut katanya pula: “Diatas panah ini tak ada tulisan, pun tak ada lukisan.... aaah, agak istimewa bentuk panah ini.” “Dimana letak keistimewaannya?” tanya seseorang. “Panah ini berbentuk kepala ular, jangan jangan milik anggota kay—pang yang biasa menangkap ular.... aaah, bukan, bukan, ada yang tahu asal usul panah itu?” Him Ceng—hiong selama ini hanya mengawasi gerak gerik diluar jendela, katanya tiba tiba: “Disini hadir Siau dan Tu locianpwee, kenapa kalian tidak minta petunjuk beliau?” “Aah, betul, betul,” sahut orang yang memegang anak panah itu sambil II menggeleng, “sudah seharusnya sejak tadi . . . . .. Belum selesai ia berkata, tampak wajah Thio Lo-sam, orang yang mencabut panah dari tiang penglari itu mulai mengejang keras, dengan sinar mata ketakutan teriaknya: “Ce..... celaka..... aku . . . . . ..” “Kenapa kau?” tanya para jago kaget. Tenggorokan Thio losam hanya naik turun, tak sepatah katapun sanggup diucapkan, sepasang lengannya bergoncang kian kemari namun persendiannya sudah kaku sehingga tak mampu ditekuk. Terlihat butiran keringat sebesar kacang kedele bercucuran membasahi jidatnya, seluruh bentuk mukanya berubah, kini dia tampak menyeringai menyeramkan. Para jago merasa terperanjat, dengan mata terbelalak dan mulut melongo mereka awasi setiap perubahan dengan mulut terbungkam, tak seorangpun tahu apa yang harus diperbuat, pun tak ada orang yang berusaha menolong. Pada saat inilah Siau Ong-sun yang selama ini duduk tak bergerak melompat ke depan dengan kecepatan tinggi, mula mula dia totok dulu jalan darah di telapak tangan yang memegang ke tiga batang panah, kemudian menotolong jalan darah cian-keng-hiat di sepasang bahunya, setelah itu dia menotok pula empat belas buah jalan darah penting lainnya serta dua belas jalan darah diseputar jantung. Kecepatan geraknya tak terkirakan, dalam waktu singkat ke tiga batang panah panjang itu sudah terjatuh ke tanah. Dengan wajah serius Siau Ong-sun bungkukkan badan untuk memungut anak panah itu. Para jago segera berteriak kaget: “Panah itu pasti telah dilumuri racun hebat, hati hati kokcu, jangan sampai tersentuh.” “Betul, panah ini beracun bahkan sifat racunnya sangat ganas dan mampu merambah urat nadi melalui kulit badan, sayangnya racun semacam ini belum tentu mampu melukai diriku.” Perlu diketahui, kekuatan yang terhimpun dalam tangannya luar biasa, boleh dibilang kebal dan tak mempan dibakar, jangan lagi obat beracun, ketajaman golok serta bara api pun jangan harap bisa melukai sepasang tangan bajanya. Para jago yang menyaksikan hal ini merasa terkejut bercampur kagum. Tampak Siau Ong-sun memperhatikan anak panah itu berapa saat, kemudian sambil menggeleng dan menghela napas katanya: “Aku tak dapat mengenali asal usul panah perak ini, saudara Tu....” “Biar kuperiksa.” Sela Tu Hun-thian. Ia tak berani tekebur, diambilnya selembar handuk untuk membungkuk tangannya, kemudian baru menerima panah perak itu. Namun setelah diperiksa berapa saat, terlihat keningnya berkerut kencang setelah itu menggeleng berulang kali. Melihat itu Siau Ong-sun menghela napas panjang, ujarnya: “Sudah lama saudara Tu berkelana dalam dunia persilatan, selama puluhan tahun hampir seantero jagad telah dilewati, jika saudara Tu pun tak mampu mengenali asal usul panah perak ini, mungkin....” Dia menghela napas dan tidak bicara lagi. Him Ceng—hiong terlihat sangat gelisah, tanyanya: “Bagaimana dengan keadaan luka kedua orang itu?” “setelah berhasil mencegah menjalarnya racun itu ke dalam tubuh, mungkin jiwa mereka tidak berbahaya lagi, tapi lengannya.... aaai!” Siau Ong-sun menghela napas panjang. Bagi orang yang belajar silat, kehilangan lengan jauh lebih menderita daripada kehilangan nyawa, tanpa terasa para jago jadi sedih bercampur marah, teriak mereka kemudian: “Peduli siapa mereka, ayoh kita serbu keluar dan beradu jiwa dengan mereka.” Pada saat itulah, dari luar jendela kembali terdengar Seseorang berseru sambil tertawa dingin: “setelah memberi kalian cukup waktu, apakah kamu semua masih belum bisa menebak asal usul kami?” Dengan gusar bentak Him Ceng-hiong: “Kawanan tikus yang tak berani tampil diri, mana mungkin toaya sekalian ll bisa mengenali kalian . . . . .. Mendadak terdengar desingan angin tajam menyambar tiba, “Sreet!” sebutir mutiara yang ada dikopiah Him Ceng—hiong telah terhajar hingga putus jadi dua. Kecepatan serta daya serangan itu tak terlukiskan dengan kata. Biar Him Ceng—hiong seorang lelaki sejatipun, tak urung berubah hebat paras mukanya. Kembali orang diluar jendela berseru sambil tertawa seram: “Bila panah tadi mengarah tenggorokanmu, sekarang nyawamu sudah melayang. Tapi tujuan perguruan setan bengis hanya ingin menggeledah murid murtad, kami tak ingin mencelakai nyawamu.” Terdengar seorang yang lain menambahkan: “Bila tahu diri, lebih baik segera buang senjata dan membiarkan berapa orang saudara kami masuk dan melakukan penggeledahan..... kami beri kalian waktu setengah perminum teh lagi . . . . . ..” Orang yang pertama tadi kembali berkata: “sampai waktunya, bila tiada jawaban dari kalian maka kami akan melepaskan panah bersama sama, jangan harap kalian bisa keluar dari sini dalam keadaan hidup.” “Perguruan setan bengis?” bisik Siau Ong-sun dengan kening berkerut, “saudara Tu, pernah mendengar tentang perguruan ini?” “Belum pernah! Jawab Tu Hun-thian sambil menggeleng, setelah termenung sejenak, katanya lagi, “tapi kalau perguruan ini punya sedikit nama saja, seharusnya aku pasti tahu . . . . ..” Dengan kening berkerut kembali ujar Siau Ong-sun: “Senjata rahasia mereka sangat ganas, kenapa tak berani masuk kemari II melainkan hanya gertak sambal dari luar jendela? Jangan jangan.... setelah menyapu sekejap seputar tempat itu, tambahnya: “Jangan jangan jumlah mereka tak banyak, jago yang lihay pun sedikit hingga yang bisa dilakukan hanya gertak sambal?” Hampir semua jago yang hadir merupakan jago kawakan yang pernah berkelana hampir puluhan tahun, setelah mendengar perkataan Siau Ong-sun ini, mereka jadi tersadar. “Betul.” “Sayang luka dalamku belum sembuh,” sela Tian Mong-pek sambil menghela napas, “kalau tidak..... kalau tidak.... aaai!” “Kalau tidak, kau akan menyerbu keluar paling dulu bukan?” sambung Siau Ong-sun sambil tersenyum. II “Kalau tidak, sejak tadi aku sudah menyerbu keluar. Kata Tian Mong-pek sambil tertawa getir. “serbu keluar . . . . .. serbu keluar . . . . . ..” teriak para jago. “Jangan gegabah,” cegah Siau Ong-sun dengan nada dalam, “musuh ditempat gelap, kita ditempat terang, bila menyerbu keluar, pasti akan jatuh korban dipihak kita, apalagi..... menurut pendapatku, dibalik kesemuanya ini pasti ada sesuatu.” “Sesuatu apa?” “Aku belum bisa menebak apa itu,” kata Siau Ong-sun setelah termenung sejenak, “tapi tak ada salahnya untuk diselidiki..... Him tayhiap, harap mundur selangkah, biar aku berbicara dengan dia.” “Turut perintah!” Him Ceng—hiong segera mundur dari posisinya. Saat itulah dari luar jendela kembali melesat masuk tiga batang panah panjang, lalu dari balik kegelapan terdengar seseorang membentak: “Batas waktu sudah habis . . . . . ..” “Harap tunggu sejenak lagi, aku ingin minta petunjuk dulu.” Ujar Siau Ong-sun. “Setuju atau tidak terserah kau, apa lagi yang ingin ditanyakan?” jawab orang diluar jendela sambil tertawa dingin. “Apakah sobat sekalian datang dari bukit orang Biau? Apakah perguruan setan bengis merupakan partai yang pernah menghajar Tiam-cong-pat-kiam hingga terluka parah?” Orang diluar jendela itu termenung sejenak, kemudian tertawa seram. “Hahaha. Ternyata kau punya pengetahuan luas, dugaanmu tepat sekali, bahkan sampai urusan Tiam-Cong-pay yang pernah dihancurkan pun tahu dengan jelas.” Para jago saling bertukar pandangan dengan perasaan tak habis mengerti, pikir mereka: “Pengetahuan kokcu lembah kaisar memang mengagumkan, akhirnya dia teringat juga dengan asal usul perguruan setan bengis.” Sebaliknya Tu Hun-thian berpikir dengan keheranan: “Sejak kapan di wilayah Tin—lam muncul perguruan setan bengis, kapan pula Tiam-cong-pat-kiam dihajar orang sampai terluka parah? Kalau sampai peristiwa yang menggetar sukma ini pernah terjadi dalam dunia persilatan, kenapa aku tak pernah tahu?” Biarpun pelbagai kecurigaan berkecamuk dalam benaknya, namun tak sepatah kata pun yang diucapkan. Tampak sinar mata Siau Ong-sun berkilat, tampaknya ia semakin yakin dengan dugaannya, dengan suara dalam segera katqanya: “Tiam-cong-pat-kiam yang begitu tangguh pun keok ditangan partai kalian, cayhe mana berani membangkang perintah?” “jadi kau setuju?” “Betul, dipersilahkan kalian mengutus orang untuk melakukan penggeledahan.” Para jago semakin melongo, kali ini mereka berdiri dengan mata terbelalak, tidak tahu permainan setan apa yang sedang dilakukan Bulim cianpwee ini, masa seorang Kokcu dari lembah kaisar bakal bersikap hormat dan takut kepada orang lain? Tapi karena kokcu lembah kaisar sudah setuju, tentu saja orang lain tak berani membantah, hanya Tu Hun-thian Vang tahu, sudah pasti tindakan Siau
Pendekar Naga Putih - 80. Iblis Angkara Murka Panah Kekasih II - Gu Long Tom Swift - Misi Penolong Pendekar Pedang Siluman Darah - 27. Takanata Iblis Nippon Siluman Ular Putih - 25. Rahasia Kalung Permata Hijau
sambil tersenyum ujar Siau Ong-sun: “Yang mampu menghabiskan tiga ratus cawan hanya dewa arak Li Tay-pek, tapi kalau hanya menyuguhi secawan arak untuk para jago, rasanya hal ini kelewat pelit, tidak mirip ucapan seorang jago persilatan, Him tayhiap, tadi kau sudah salah bicara, maka sepantasnya dihukum dulu dengan tiga cawan arak.” Him Ceng—hiong tertawa keras. “Hahaha, sebutan locianpwee bikin cayhe malu saja, bagaimana pun, biar harus matipun cayhe akan habiskan ke tiga cawan arak itu . . . . ..” Sekonyong-konyong terdengar suara desingan angin tajam melesat lewat dari atas kepala para jago, menyusul kemudian.... duuk, duuk, duuk! Terdengar tiga benturan bergema dari atap bangunan. Terlihat tiga batang panah panjang berwarna perak melesat masuk lewat jendela dan berjajar menancap diatas tiang penglari, bukan saja batang panah berwarna keperak perakan, ukuran panah pun panjangnya istimewa. Seketika gelak tertawa berhenti, suasana jadi senyap. Kecuali Siau Ong-sun yang tetap duduk tenang, seolah tak pernah terjadi sesuatu, para jago lainnya, paling tidak ada sebagian yang berubah paras mukanya. Him Ceng—hiong segera tampil ke depan jendela, bentaknya sambil memberi hormat: “Sobat mana yang telah datang berkunjung? Boleh tahu ada urusan apa?” Padahal semua orang tahu bahwa kekuatan daya bidik ke tiga batang panah panjang itu sangat mengerikan, tapi kini, tanpa takut sedikitpun dia berdiri didepan jendela, seolah tidak kuatir menjadi sasaran tembak lawan, keberanian semacam ini benar benar luar biasa. Terdengar dari luar jendela, dibalik kegelapan, seseorang segera menjawab: “Sahabat yang berada dalam ruangan, kedatangan kami bersaudara tidak membawa niat jahat, hanya ingin masuk ke dalam ruangan saja.” Nada suara itu penuh kekuatan, jelas ilmu silat yang dimiliki sangat tangguh, dari bayangan yang bergerak dibalik kegelapan, bisa dilihat pula bahwa yang hadir bukan hanya tiga sampai lima orang saja. “Ada urusan apa?” tanya Him Ceng—hiong tetap membusungkan dada. “Ada seorang pria dan seorang wanita dari perguruan kami telah berhianat dan mencuri benda mustika milik perguruan, oleh sebab itu kami ingin menggeledah, apakah kedua orang itu berada bersama kalian.” Mendengar perkataan itu, Him Ceng—hiong kembali tertawa keras, katanya: “Sobat sekalian, kalian enggan menyebut identitas tapi bersikeras ingin masuk untuk melakukan penggeledahan, apakah kalian tidak merasa bahwa tindakanmu kelewat pandang rendah semua orang yang berada disini!” Orang diluar jendela segera tertawa seram, katanya: “setelah menjumpai Liang-gin-toh-hun-sam-ciam (tiga panah perak pencabut sukma) namun masih belum bisa menebak asal usul kami, hal ini harus disalahkan kalian yang punya mata tak berbiji.” Begitu perkataan itu disampaikan, para jago pun ramai ramai mulai berbisik. “Lambang dari perguruan manakah tiga panah perak pencabut sukma itu?” “siaute sudah banyak tahun berkelana dalam dunia persilatan, namun belum pernah mendengar soal ini!” “Thio losam, ilmu meringankan tubuhmu paling bagus, coba kau naik keatas untuk mencabut panah itu dan memeriksanya.” Tian Mong-pek dan Tu Hun-thian ingin bertindak, tapi segera dicegah Siau Ong-sun, maka merekapun duduk kembali sambil mengikuti setiap perubahan. Coba kalau bukan begitu, dengan watak mereka berdua, sudah pasti sedari tadi sudah turun tangan. Tampak seorang lelaki kurus kering segera melompat keatas tiang penglari, ternyata ilmu ginkang yang dimiliki cukup hebat. Begitu tiba diatas tiang penglari, diapun mencabut ke tiga anak panah itu satu per satu, setelah diperiksa sejenak, diapun melompat turun kembali sambil berkata: “siaute tak dapat mengenali asal usul panah perak ini.” Seseorang yang berada disisinya segera mengambil panah itu dan diperiksanya berapa saat, kemudian dengan kening berkerut katanya pula: “Diatas panah ini tak ada tulisan, pun tak ada lukisan.... aaah, agak istimewa bentuk panah ini.” “Dimana letak keistimewaannya?” tanya seseorang. “Panah ini berbentuk kepala ular, jangan jangan milik anggota kay—pang yang biasa menangkap ular.... aaah, bukan, bukan, ada yang tahu asal usul panah itu?” Him Ceng—hiong selama ini hanya mengawasi gerak gerik diluar jendela, katanya tiba tiba: “Disini hadir Siau dan Tu locianpwee, kenapa kalian tidak minta petunjuk beliau?” “Aah, betul, betul,” sahut orang yang memegang anak panah itu sambil II menggeleng, “sudah seharusnya sejak tadi . . . . .. Belum selesai ia berkata, tampak wajah Thio Lo-sam, orang yang mencabut panah dari tiang penglari itu mulai mengejang keras, dengan sinar mata ketakutan teriaknya: “Ce..... celaka..... aku . . . . . ..” “Kenapa kau?” tanya para jago kaget. Tenggorokan Thio losam hanya naik turun, tak sepatah katapun sanggup diucapkan, sepasang lengannya bergoncang kian kemari namun persendiannya sudah kaku sehingga tak mampu ditekuk. Terlihat butiran keringat sebesar kacang kedele bercucuran membasahi jidatnya, seluruh bentuk mukanya berubah, kini dia tampak menyeringai menyeramkan. Para jago merasa terperanjat, dengan mata terbelalak dan mulut melongo mereka awasi setiap perubahan dengan mulut terbungkam, tak seorangpun tahu apa yang harus diperbuat, pun tak ada orang yang berusaha menolong. Pada saat inilah Siau Ong-sun yang selama ini duduk tak bergerak melompat ke depan dengan kecepatan tinggi, mula mula dia totok dulu jalan darah di telapak tangan yang memegang ke tiga batang panah, kemudian menotolong jalan darah cian-keng-hiat di sepasang bahunya, setelah itu dia menotok pula empat belas buah jalan darah penting lainnya serta dua belas jalan darah diseputar jantung. Kecepatan geraknya tak terkirakan, dalam waktu singkat ke tiga batang panah panjang itu sudah terjatuh ke tanah. Dengan wajah serius Siau Ong-sun bungkukkan badan untuk memungut anak panah itu. Para jago segera berteriak kaget: “Panah itu pasti telah dilumuri racun hebat, hati hati kokcu, jangan sampai tersentuh.” “Betul, panah ini beracun bahkan sifat racunnya sangat ganas dan mampu merambah urat nadi melalui kulit badan, sayangnya racun semacam ini belum tentu mampu melukai diriku.” Perlu diketahui, kekuatan yang terhimpun dalam tangannya luar biasa, boleh dibilang kebal dan tak mempan dibakar, jangan lagi obat beracun, ketajaman golok serta bara api pun jangan harap bisa melukai sepasang tangan bajanya. Para jago yang menyaksikan hal ini merasa terkejut bercampur kagum. Tampak Siau Ong-sun memperhatikan anak panah itu berapa saat, kemudian sambil menggeleng dan menghela napas katanya: “Aku tak dapat mengenali asal usul panah perak ini, saudara Tu....” “Biar kuperiksa.” Sela Tu Hun-thian. Ia tak berani tekebur, diambilnya selembar handuk untuk membungkuk tangannya, kemudian baru menerima panah perak itu. Namun setelah diperiksa berapa saat, terlihat keningnya berkerut kencang setelah itu menggeleng berulang kali. Melihat itu Siau Ong-sun menghela napas panjang, ujarnya: “Sudah lama saudara Tu berkelana dalam dunia persilatan, selama puluhan tahun hampir seantero jagad telah dilewati, jika saudara Tu pun tak mampu mengenali asal usul panah perak ini, mungkin....” Dia menghela napas dan tidak bicara lagi. Him Ceng—hiong terlihat sangat gelisah, tanyanya: “Bagaimana dengan keadaan luka kedua orang itu?” “setelah berhasil mencegah menjalarnya racun itu ke dalam tubuh, mungkin jiwa mereka tidak berbahaya lagi, tapi lengannya.... aaai!” Siau Ong-sun menghela napas panjang. Bagi orang yang belajar silat, kehilangan lengan jauh lebih menderita daripada kehilangan nyawa, tanpa terasa para jago jadi sedih bercampur marah, teriak mereka kemudian: “Peduli siapa mereka, ayoh kita serbu keluar dan beradu jiwa dengan mereka.” Pada saat itulah, dari luar jendela kembali terdengar Seseorang berseru sambil tertawa dingin: “setelah memberi kalian cukup waktu, apakah kamu semua masih belum bisa menebak asal usul kami?” Dengan gusar bentak Him Ceng-hiong: “Kawanan tikus yang tak berani tampil diri, mana mungkin toaya sekalian ll bisa mengenali kalian . . . . .. Mendadak terdengar desingan angin tajam menyambar tiba, “Sreet!” sebutir mutiara yang ada dikopiah Him Ceng—hiong telah terhajar hingga putus jadi dua. Kecepatan serta daya serangan itu tak terlukiskan dengan kata. Biar Him Ceng—hiong seorang lelaki sejatipun, tak urung berubah hebat paras mukanya. Kembali orang diluar jendela berseru sambil tertawa seram: “Bila panah tadi mengarah tenggorokanmu, sekarang nyawamu sudah melayang. Tapi tujuan perguruan setan bengis hanya ingin menggeledah murid murtad, kami tak ingin mencelakai nyawamu.” Terdengar seorang yang lain menambahkan: “Bila tahu diri, lebih baik segera buang senjata dan membiarkan berapa orang saudara kami masuk dan melakukan penggeledahan..... kami beri kalian waktu setengah perminum teh lagi . . . . . ..” Orang yang pertama tadi kembali berkata: “sampai waktunya, bila tiada jawaban dari kalian maka kami akan melepaskan panah bersama sama, jangan harap kalian bisa keluar dari sini dalam keadaan hidup.” “Perguruan setan bengis?” bisik Siau Ong-sun dengan kening berkerut, “saudara Tu, pernah mendengar tentang perguruan ini?” “Belum pernah! Jawab Tu Hun-thian sambil menggeleng, setelah termenung sejenak, katanya lagi, “tapi kalau perguruan ini punya sedikit nama saja, seharusnya aku pasti tahu . . . . ..” Dengan kening berkerut kembali ujar Siau Ong-sun: “Senjata rahasia mereka sangat ganas, kenapa tak berani masuk kemari II melainkan hanya gertak sambal dari luar jendela? Jangan jangan.... setelah menyapu sekejap seputar tempat itu, tambahnya: “Jangan jangan jumlah mereka tak banyak, jago yang lihay pun sedikit hingga yang bisa dilakukan hanya gertak sambal?” Hampir semua jago yang hadir merupakan jago kawakan yang pernah berkelana hampir puluhan tahun, setelah mendengar perkataan Siau Ong-sun ini, mereka jadi tersadar. “Betul.” “Sayang luka dalamku belum sembuh,” sela Tian Mong-pek sambil menghela napas, “kalau tidak..... kalau tidak.... aaai!” “Kalau tidak, kau akan menyerbu keluar paling dulu bukan?” sambung Siau Ong-sun sambil tersenyum. II “Kalau tidak, sejak tadi aku sudah menyerbu keluar. Kata Tian Mong-pek sambil tertawa getir. “serbu keluar . . . . .. serbu keluar . . . . . ..” teriak para jago. “Jangan gegabah,” cegah Siau Ong-sun dengan nada dalam, “musuh ditempat gelap, kita ditempat terang, bila menyerbu keluar, pasti akan jatuh korban dipihak kita, apalagi..... menurut pendapatku, dibalik kesemuanya ini pasti ada sesuatu.” “Sesuatu apa?” “Aku belum bisa menebak apa itu,” kata Siau Ong-sun setelah termenung sejenak, “tapi tak ada salahnya untuk diselidiki..... Him tayhiap, harap mundur selangkah, biar aku berbicara dengan dia.” “Turut perintah!” Him Ceng—hiong segera mundur dari posisinya. Saat itulah dari luar jendela kembali melesat masuk tiga batang panah panjang, lalu dari balik kegelapan terdengar seseorang membentak: “Batas waktu sudah habis . . . . . ..” “Harap tunggu sejenak lagi, aku ingin minta petunjuk dulu.” Ujar Siau Ong-sun. “Setuju atau tidak terserah kau, apa lagi yang ingin ditanyakan?” jawab orang diluar jendela sambil tertawa dingin. “Apakah sobat sekalian datang dari bukit orang Biau? Apakah perguruan setan bengis merupakan partai yang pernah menghajar Tiam-cong-pat-kiam hingga terluka parah?” Orang diluar jendela itu termenung sejenak, kemudian tertawa seram. “Hahaha. Ternyata kau punya pengetahuan luas, dugaanmu tepat sekali, bahkan sampai urusan Tiam-Cong-pay yang pernah dihancurkan pun tahu dengan jelas.” Para jago saling bertukar pandangan dengan perasaan tak habis mengerti, pikir mereka: “Pengetahuan kokcu lembah kaisar memang mengagumkan, akhirnya dia teringat juga dengan asal usul perguruan setan bengis.” Sebaliknya Tu Hun-thian berpikir dengan keheranan: “Sejak kapan di wilayah Tin—lam muncul perguruan setan bengis, kapan pula Tiam-cong-pat-kiam dihajar orang sampai terluka parah? Kalau sampai peristiwa yang menggetar sukma ini pernah terjadi dalam dunia persilatan, kenapa aku tak pernah tahu?” Biarpun pelbagai kecurigaan berkecamuk dalam benaknya, namun tak sepatah kata pun yang diucapkan. Tampak sinar mata Siau Ong-sun berkilat, tampaknya ia semakin yakin dengan dugaannya, dengan suara dalam segera katqanya: “Tiam-cong-pat-kiam yang begitu tangguh pun keok ditangan partai kalian, cayhe mana berani membangkang perintah?” “jadi kau setuju?” “Betul, dipersilahkan kalian mengutus orang untuk melakukan penggeledahan.” Para jago semakin melongo, kali ini mereka berdiri dengan mata terbelalak, tidak tahu permainan setan apa yang sedang dilakukan Bulim cianpwee ini, masa seorang Kokcu dari lembah kaisar bakal bersikap hormat dan takut kepada orang lain? Tapi karena kokcu lembah kaisar sudah setuju, tentu saja orang lain tak berani membantah, hanya Tu Hun-thian Vang tahu, sudah pasti tindakan Siau