Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Panah Kekasih - 168

$
0
0
Cerita Silat | Panah Kekasih | Karya Gu Long | Panah Kekasih | Cersil Sakti | Panah Kekasih pdf

Pendekar Naga Putih - 80. Iblis Angkara Murka Panah Kekasih II - Gu Long Tom Swift - Misi Penolong Pendekar Pedang Siluman Darah - 27. Takanata Iblis Nippon Siluman Ular Putih - 25. Rahasia Kalung Permata Hijau

Bab S0. Budi dari sahabat lama. Mendengar Siau Ong-sun dapat membeberkan semua keadaan seolah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, ke tiga orang berbaju hitam itu merasa terkejut bercampur kagum, butir keringat menetes keluar membasahi topeng tembaga hijau yang menutupi wajahnya. Tiba tiba terdengar salah seorang diantaranya berseru dengan nada benci: “Bajingan benar manusia yang bernama Yo Swan, ternyata dia tidak menerangkan kalau kokcu lembah kaisar berada disini, kalau tidak, mana mungkin kami tiga bersaudara berani menyatroni kemari.” Siau Ong-sun tertawa, katanya: “Tidak bisa salahkan dia, karena dia sendiripun tidak tahu kalau aku II berada disini . . . . . . .. Sesudah berpaling memandang Tian Mong-pek sekejap, lanjutnya dengan suara dalam: “Dari sini bisa disimpulkan kalau antara Yo Swan dengan Tong Ti pasti sudah menjalin kontak, hanya tidak diketahui apakah Lan Toa-sianseng sudah mengetahui kejadian ini?” Dengan nada dendam kata Tian Mong—pek: “Menurut pendapatku, meskipun Lan Thian-jui, So Kin-soat dan Tong Ti seolah saling tidak terkait, padahal diam diam mereka sudah menjalin persekongkolan.” Orang berbaju hitam yang menjadi pimpinan itu berkilat matanya, tiba tiba ia berseru: “Dugaan Tian kongcu tepat sekali, sebenarnya semua urusan ini merupakan hasil rancangan Lan Toa-sianseng secara diam diam.” Suasana seketika jadi gaduh, para jago dan pendekar yang hadir disana saling berbisik membicarakan hal ini, siapa pun tak menyangka Lan Toa-sianseng yang begitu tersohor ternyata secara diam diam telah merancangkan rencana busuk itu. Padahal sejak awal Tian Mong-pek sudah mencurigai Lan Toa-sianseng, setelah mendapat bukti sekarang, dia semakin gusar. Hanya Siau Ong-sun seorang yang tetap tenang, tampaknya dia sedang berpikir dan sama sekali tak terpengaruh oleh perkataan itu. “Yo Swan si bajingan tengik itu kini berada dimana?” tanya Him Ceng-hiong dengan suara dalam. “Setelah memberi petunjuk arah jalan, dengan membawa luka dia segera pergi, bahkan kami sempat mengirim dua orang saudara untuk menghantarnya, mungkin saat ini sudah pergi entah kemana.” Sahut orang berbaju hitam itu. “Lantas si Tangan pencabut nyawa Tong Ti berada dimana?” tanya Tu Hun-thian. Lelaki berbaju hitam itu menghela napas panjang, sahutnya dengan kepala tertunduk: “Lo—cou-cong kami baru saja meninggal dunia, situasi dalam perguruan mengalami perubahan besar, saat ini dia sedang berada dirumah untuk berkabung.” Saat ini Tian Mong-pek baru mendengar kabar kematian Tong Bu-im, hatinya tergetar, pikirnya: “Ternyata firasat jelekku menjadi kenyataan, Tong Lojin benar benar telah mati . . . . . ..” Siau Ong-sun menghela napas panjang, ujarnya: “Bu-im lojin adalah seorang pendekar hebat, tak nyana begitu cepat dia pergi . . . . . .. padahal dunia persilatan sedang dirundung masalah, II aaai . . . . . .. Sampai disitu dia berhenti bicara dan tertunduk sedih. Setelah terhening berapa saat, ujar Tu Hun-thian: “Dalam situasi dan kondisi semacam ini, ternyata Tong Ti masih berada dirumah. Kenyataan ini sungguh membuat orang sukar percaya.” Tiba tiba dari antara para jago ada yang menimbrung: “Cayhe bisa membuktikan kalau apa yang dia katakan memang benar, baru saja cayhe tinggalkan gedung keluarga Tong . . . . . ..” Secara ringkas diapun menuturkan keadaan dalam gedung keluarga Tong waktu itu. Tu Hun—thian mendengus dingin, katanya: II “Tak disangka Tong Ti masih tahu untuk berkabung . . . . .. sambil menunjuk keluar jendela, tambahnya: “Diluar jendela tergeletak lima orang, ditambah tiga ora ng disini, apa yang hendak kita lakukan terhadap mereka?” Thio losam yang tergeletak disamping, saat itu sudah setengah sekarat, mendengar pertanyaan itu, kontan teriaknya: “Bunuh mereka . . . . . .. bunuh mereka . . . . ..” Suasana jadi gaduh, ada sebagian jago menyatakan setuju, ada pula yang menolak. Dengan suara keras Him Ceng-hiong berseru: “Lebih baik kokcu yang putuskan soal ini, kita semua tak boleh bertindak gegabah.” Siau Ong-sun berpikir sejenak, kemudian katanya: “Orang orang inipun bekerja karena perintah atasan, bukan atas dasar kemauan sendiri, menurut pendapatku, lebih baik biarkan saja mereka pergi, bagaimana menurut saudara Tu?” Biarpun Thio Lo-sam sekalian merasa tak sependapat, namun mereka tak berani buka suara. Setelah tersenyum, ujar Tu Hun-thian: “Karena kokcu berbelas kasian, sedang akupun bukan termasuk manusia gemar membunuh . . . . . . .. tanggalkan kantung senjata rahasia mereka, biarkan mereka pergi!” Seolah mendapat pengampunan, begitu mendengar keputusan tersebut, kawanan manusia berbaju hitam itu segera menanggalkan kantung senjata rahasia masing masing, kemudian sesudah menjura, tanpa bicara lagi segera beranjak pergi. “Jangan lupa dengan rekan rekan kalian diluar jendela.....” teriak Tu Hun-thian. Lalu sesudah tersenyum, katanya lagi: “Aku rasa orang orang itu pastilah murid atau cucu murid Tong Ti, ada baiknya dibebaskan semua.” Perlu diketahui, pengalamannya dalam dunia persilatan boleh dibilang nomor satu, dari sepak terjang orang orang itu, dia tahu kalau mereka hanyalah orang orang berilmu rendah, kalau bukan begitu, tak mungkin semudah itu membebaskan mereka semua. Terdengar dari luar jendela bergema suara batuk batuk, lalu terlihat delapan sosok manusia melompati pagar dengan tergopoh gopoh. Tanpa menghentikan langkahnya, ke delapan orang manusia berbaju hitam itu berlarian sejauh dua li lebih dan kemudian berhenti didalam sebuah hutan. Lelaki berbaju hitam yang menjadi pimpinan itu berseru: “Gotong dia keluar.” Dua orang anak buahnya mengiakan dan melompat ke balik pepohonan yang lebat, dari situ mereka menggotong keluar seseorang. Terlihat orang itu sangat lemah, napasnya lirih, ternyata dia bukan lain adalah Yo Swan. Ternyata pengakuan orang berbaju hitam itu yang mengatakan dia sudah dibawa jauh hanya kata kata bohong, dia hanya sembunyikan Yo Swan dibalik pepohonan, hanya saja karena terkena hawa malam, kini lukanya bertambah parah. Begitu melihat orang berbaju hitam itu kembali dengan selamat, dia jadi kegirangan, tanyanya dengan napas terengah: “Suu.... sudah berhasil?” Pemimpin kawanan manusia berbaju hitam itu tertawa dingin, ujarnya: “Kau jangan bertanya aku dulu, aku mau tanya, sudah berapa tahun sejak So Kin—soat menunjuk kau masuk ke perguruan Au—sian—kiong?” Nada suaranya berat dan tegas, dibandingkan dengan sikap hormatnya yang menjawab setiap pertanyaan yang diajukan tadi, dia seolah merupakan dua orang yang berbeda. “Rasanya sudah hampir belasan tahun.” Jawab Yo Swan setelah tertegun. “Hmm, diwaktu biasa, kau selalu pintar, pandai bekerja, kemampuanmu tiga kali lipat melebihi orang lain, tapi selama belasan tahun, pernahkah kau berhasil melaksanakan satu tugas besar?” Diatas wajah Yo Swan yang pucat pias, segera terlintas perasaan ngeri dan ketakutan, serunya gemetar: \\ . . . . .. tapi dalam setiap tugas, siautit selalu berusaha dengan sepenuh tenaga, hanya Thian tidak membantu aku, setiap kali urusan hampir berhasil, tahu tahu saja gagal total, toa.... toasiok, kau toh sudah tahu tentang semua permasalahan ini!” Orang berbaju hitam itu tertawa dingin. “Hmm, aku hanya tahu kalau kau sok pintar, padahal sama sekali tak berguna.” “Tapi.... tapi tadi.....” “Tadi..... Hmm, Hmm, kenapa tadi?” tukas orang berbaju hitam itu gusar, “kalau bukan aku sengaja berlagak berilmu cetek dan bersikap bungkuk bungkuk macam budak, mungkin tubuhku saat ini sudah dicincang Siau Ong-sun dan Tu Hun—thian jadi delapan keping.” “Hah? Siau Ong-sun juga berada disana? Siautit benar benar tidak mengetahui akan hal ini.” “Masalah apapun kau tidak tahu, buat apa tetap hidup terus? Apalagi dengan keadaanmu sekarang, mungkin untuk hidup terus juga susah.” “Toa.... toasiok,” rengek Yo Swan, “mohon kau orang tua sudi membawa serta diriku, jangan biarkan aku tetap tinggal disini, dikemudian II hari . . . . .. dikemudian hari aku pasti akan membantu kau orang tua . . . . .. Tapi begitu melihat sorot mata orang berbaju hitam itu dingin bagaikan es, dia semakin bergidik, kata seterusnya langsung membeku di tenggorokan dan tak sanggup lagi dilanjutkan. Dengan pandangan menyeramkan orang berbaju hitam itu menatapnya, topeng setan tembaga hijau itu tampak berkilauan ditengah kegelapan malam, mimik muka semacam itu betul betul mengerikan hati. Tiba tiba dia angkat telapak tangannya..... “Toasiok, kumohon, ampuni aku..... ampuni aku!” jerit Yo Swan ketakutan. Jeritan ngeri yang memilukan hati, terdengar begitu menyayat ditengah kegelapan malam. Sayang manusia berbaju hitam itu tak pernah tergerak hatinya, telapak tangannya tetap dilanjutkan menghantam ke bawah, katanya sambil tertawa seram: “Kau sudah cacat, isi perutmu juga sudah terluka parah, percuma hidup terus di dunia ini, lebih baik toasiok beri kepuasan untukmu!” satu pukulan dahsyat langsung dihantamkan keatas dada Yo Swan. Yo Swan segera menjerit ngeri: “Tong Ti, kau.... kau . . . . ..” Sepasang kakinya mengejang, nyawa nya putus seketika. Begitulah nasib pemuda yang licik dan berhati busuk itu, bukan tewas ditangan orang yang telah dicelakai, sebaliknya malah mampus ditangan orang sendiri. Jeritan ngerinya yang terakhir kali, dipenuhi perasaan benci yang mendalam serta perasaan penyesalan. Orang berbaju hitam itu segera menendang jenasah Yo Swan ke dalam semak belukar, setelah itu dia baru melepas topeng setan tembaga hijaunya dan menghembuskan napas panjang, katanya sambil tertawa terbahak: “Siau Ong-sun, sekarang kau pasti sudah mengenali diriku bukan!” Ditengah kegelapan malam, terlihat wajahnya kurus kering dan menyeramkan, dia tak lain adalah Tong Ti. Orang lain menyangka dia masih berada dalam ruang rahasia sambil berkabung, siapa yang tahu kalau dia justru sudah berada disini? Ke tujuh orang manusia berbaju hitam lainnya berdiri dengan muka serius, saking takutnya, mereka sampai tak berani menghembuskan napas panjang. Terdengar Tong Ti bergumam: “Tian Mong-pek wahai Tian Mong-pek, walaupun hari ini aku tak dapat membunuhmu, tapi asal aku berhasil tiba lebih dulu di bukit Kun-san, kau toh tetap tak bisa meloloskan diri.” Waktu itu, Tu Hun—thian sedang mengobati luka racun panah dari Thio Lo-sam berdua, sementara Siau Ong-sun telah masuk ke dalam ruang rahasia untuk mengobati luka dalam Tian Mong-pek. Keadaan luka yang diderita Tian Mong-pek teramat susah untuk diobati, andaikata dia tidak bertemu Siau Ong-sun tepat waktu, mungkin seluruh ilmu silat yang dimiliki tak dapat pulih kembali seperti sedia kala. Tapi kini dia telah bertemu Siau Ong-sun yang tiba tepat waktu, itu berarti keadaan lukanya sudah tidak menguatirkan lagi, Siau Hui-uh tahu akan kemampuan ayahnya, maka diapun dapat pergi dengan perasaan lega. Kendatipun begitu, Siau Ong-sun dan Tian Mong-pek tetap membutuhkan waktu satu harian penuh sebelum dapat keluar dari ruang rahasia, saat itu wajah Siau Ong-sun tampak sayu dan letih, sebaliknya wajah Tian Mong-pek jauh lebih ceria daripada sebelumnya. Para jago pun menyambut kesembuhan itu dengan riang gembira. Hingga keesokan hari ke tiga, ketika fajar baru saja menyingsing, Siau Ong-sun, Tu Hun—thian serta Tian Mong-pek baru berangkat meninggalkan tempat itu. Him Ceng-hiong dengn memimpin para jago menghantar hingga satu li lebih sebelum berpisah. Dalam pada itu Siau Ong-sun bertiga melakukan perjalanan diiringi gurauan dan perbincangan, sekalipun tidak dilakukan dengan terburu buru, namun dengan ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki, perjalanan itu terhitung cukup cepat. Setelah berjalan lebih kurang satu li, tiba tiba Tian Mong—pek menemukan satu kejadian yang aneh, serunya tanpa sadar: “Apa itu?” Siau Ong-sun dan Tu Hun-thian memiliki ketajaman mata yang luar biasa, mereka pun segera melihat keanehan itu. Terlihat dua baris semut putih bergerak Secara rombongan ditepi jalan, satu rombongan berjalan memasuki semak belukar, sementara barisan yang lain merangkak keluar dari semak. Kawanan semut itu aneh bentuknya, bentuk tubuh mereka sebesar beras ketan, satu kali lipat lebih besar dari semut pada umumnya, bahkan sewaktu merangkak, gerakannya cepat sekali. Tanpa terasa mereka bertiga menghentikan langkahnya. “Dibalik semak itu pasti ada yang aneh,” ujar Tian Mong-pek, “coba ananda tengok ke dalam sana.” sambil berkata, dia segera melompat masuk ke balik semak belukar. Siau Ong-sun saling bertukar pandangan sekejap dengan Tu Hun—thian. II “saudara Tu, ujar Siau Ong-sun kemudian, “pengetahuanmu amat luas, sudah pasti tahu bukan apa nama dari semut jenis itu?” “Semut pemakan mayat!” Tiba tiba terdengar Tian Mong-pek menjerit kaget sambil mundur tiga langkah, badannya kelihatan limbung. Buru buru Tu Hun—thian bertanya: “Apakah didalam semak ada sesosok mayat?” Ketika Tian Mong-pek berpaling, terlihat wajahnya pucat pias bagai mayat, rasa ngeri dan seram terpancar dari matanya. “Mayat itu . . . . .. mayat itu adalah.... adalah . . . . ..” Dari mimik mukanya, Siau Ong-sun serta Tu Hun—thian segera tahu kalau jenasah yang berada dalam semak belukar itu tentu seseorang yang dikenal, dengan kening berkerut mereka berdua ikut melompat masuk ke dalam semak. Diantara semak belukar, terlihat sesosok mayat membujur kaku disitu, walaupun mayat itu sudah digigit ribuan semut pemakan bangkai hingga hancur tak karuan, namun raut mukanya masih dapat dikenal, dia tak lain adalah Yo Swan. Kedua orang itu merasa terperanjat, untuk sesaat mereka pun berdiri termangu. sambil menghela napas dengan nada berat, ujar Tu Hun-thian: “siapa menanam kebusukan, akhirnya harus menuai kebusukan pula, bocah ini keblinger karena kepintarannya, terakhir toh dia harus menerima akhir yang tragis.” Ketika berpaling, dilihatnya Siau Ong-sun sedang menghentakkan kakinya berulang kali sambil tertawa getir, katanya: “Tak kusangka kita berdua tetap tertipu oleh muslihat orang lain.” “Tertipu siapa . . . . . ..” tanya Tu Hun—thian dengan kening berkerut, tapi setelah berpikir sejenak, sahutnya, “Aah, betul, Tong Ti, sudah pasti pemimpin dari rombongan manusia berbaju hitam itu adalah penyamaran dari Tong Ti.” Kembali Siau Ong-sun tertawa getir. “Sayang kita telah teledor saat itu dan tidak perintahkan mereka untuk melepas topengnya, aaai, setelah melepas harimau kembali ke gunung, kerepotan yang bakal kita hadapi pasti akan semakin banyak.” Bagaimana pun, kedua orang ini adalah jago-jago berpengalaman, pandangan serta analisa mereka jauh melebihi orang awam, dari keadaan mayat Yo Swan, mereka segera dapat menebak duduk perkara yang sebenarnya. Tian Mong-pek tampak sangat sedih, dia tak tega menyaksikan keadaan Yo Swan yang mengenaskan, pintanya dengan kepala tertunduk: II “Ananda mempunyai satu permintaan . . . . . .. Belum sampai dia mengajukan permintaannya, Siau Ong-sun telah menyela: “Biarpun Yo Swan licik dan jahat, kematiannya kelewat mengenaskan, apakah kau hendak mengubur jenasahnya?” II “Bagaimana pun, ananda pernah angkat saudara dengan dia, ucap Tian Mong-pek sedih, “sekalipun dia . . . . . . ..” sambil menghela napas Tu Hun-thian memotong: “Meskipun dia tega kepadamu, namun kau tak boleh kehilangan rasa setia kawan . . . . .. aaai, baiklah. Kau sulut api terlebih dulu disekeliling jenasahnya.” “Kenapa harus memasang api?” tanya Tian Mong-pek tertegun. “Kalau tidak dibakar, bagaimana caramu untuk mengusir kawanan semut putih itu?” “Memalukan!” pikir Tian Mong-pek, maka diapun menyulut api disekitar semak belukar itu, dengan menggunakan asap yang tebal dia usir kawanan semut putih itu, kemudian ditengah hutan ia menggali sebuah liang dan mengubur jenasah Yo Swan. Tu Hun-thian memandang Siau Ong-sun sekejap, ujarnya kemudian sambil menghela napas: “Sepanjang hidup Yo Swan banyak melakukan kejahatan, tapi ia dapat berkenalan dengan seorang sahabat macam Tian Mong-pek, boleh dibilang hal ini merupakan satu keberuntungan baginya.”

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423