Cerita Silat | Panah Kekasih | Karya Gu Long | Panah Kekasih | Cersil Sakti | Panah Kekasih pdf
Bendera Maut - Kwee Oen Keng Tongkat Setan - Seng Kie-Su Dewa Linglung - 29. Begal dari Gunung Kidul Fear Street - Terror di Akhir Pekan Pendekar Mabuk - 90. Kematian Sang Durjana
“Sepanjang hidup Yo Swan banyak melakukan kejahatan, tapi ia dapat berkenalan dengan seorang sahabat macam Tian Mong-pek, boleh dibilang hal ini merupakan satu keberuntungan baginya.” Setelah memberi hormat tiga kali didepan gundukan tanah liat, dengan sedih Tian Mong-pek baru melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan mereka sama sekali tak berhenti, tak sampai dua hari, pemandangan alam sebelah utara telaga Tong-ting telah muncul didepan mata. Sejauh mata memandang, terlihat bayangan bukit bersembunyi dibalik awan tebal. Mereka bertiga pun mencari menginap dan menangsal perut. Saat itulah tiba tiba Siau Ong-sun berkata sambil menghela napas: “Dalam hati kecilku selalu terganjal satu masalah yang sangat mencurigakan, kalau tidak diselidiki, rasanya tak lega hatiku.” “Apakah dikarenakan urusan Lan . . . . . ..” tanya Tu Hun-thian sambil tersenyum. “Benar,” sahut Siau Ong-sun sambil menghela napas, “tapi untuk menyelidiki urusan ini, tenagaku seorang masih terlalu minum, apakah saudara Tu bersedia membantuku?” “sudah seharusnya begitu . . . . .. aai, Lan Thian-jui adalah seorang pendekar besar, kalau sampai dia benar benar melakukan perbuatan yang bodoh, hal ini patut disesali.” Setelah berhenti sejenak, kembali lanjutnya: “Ketika hari itu orang berbaju hitam itu mengatakan kalau segala sesuatu ini merupakan perencanaan yang dilakukan Lan Thian-jui, aku pun pernah menaruh rasa marah dan benci kepada Lan Toa-sianseng ini, tapi sekarang kita sudah tahu kalau orang berbaju hitam itu adalah Tong Ti, tentu keadaan jadi berbeda, sebab apa yang dibeberkan Tong Ti bisa jadi merupakan siasat membolak balikkan fakta.” Walaupun perkataan ini seolah menjelaskan kepada Siau Ong-sun, padahal yang benar dia sedang menerangkan kepada Tian Mong-pek. Anak muda itu segera menghela napas panjang, katanya: “Walaupun ananda merasa bahwa semua pertanda tampaknya mengarah pada Lan Toa-sianseng, padahal siapa yang tidak berharap kalau segala sesuatunya ini hanya salah paham . . . . . .. Namun begitu teringat kalau ada berapa kejadian dilengkapi dengan bukti dan tak mungkin merupakan satu kesalah pahaman, kembali anak muda itu menghela napas. Sejujurnya hingga kini dia masih menaruh perasaan kagum atas kegagahan Lan Toa-sianseng, dia tak tega menyaksikan nama besar pendekar ini bakal hilang dengan begitu saja. Bagaimana mungkin Siau Ong-sun tidak mengetahui suara hatinya, setelah menghela napas katanya: “Persahabatanku dengan Lan Thian-jui sudah berlangsung hampir lima puluh tahun lamanya, bagaimana pun, aku pun berharap semuanya itu salah.” “Benar.” Sahut Tian Mong-pek dengan kepala tertunduk. “Kini lukamu telah sembuh, kemampuanmu sudah mampu untuk mendobrak telaga naga sarang harimau, besok kau bisa naik gunung seorang diri, bertindaklah sesuai keadaan . . . . . ..” Sesudah memandang Tu Hun—thian sekejap, lanjutnya: “Sekarang juga kita berdua harus berangkat.” Setelah kepergian kedua orang tua itu, Tian Mong-pek mulai putar otak memikirkan masalah itu, hampir semalaman dia tak mampu tidur nyenyak. Menjelang tengah malam, tiba tiba terdengar suara derap kaki kuda bergerak lewat dari luar jendela. Derap kaki kuda itu sangat ramai, sudah jelas bukan hanya terdiri dari satu ekor. Karena susah tidur, timbul rasa ingin tahu dihati kecil Tian Mong-pek, dia berniat mencari tahu apa yang terjadi, apalagi tak jauh dari sana terletak bukit Kun-san, siapa tahu para penunggang kuda itu ada hubungannya dengan panah kekasih. Berpikir begitu, dengan cepat dia betulkan pakaian, menyoren pedang hitamnya lalu melompat keluar, dalam berapa lompatan kemudian ia sudah melihat gulungan debu kuda didepan sana. Tian Mong-pek segera mengintil dari belakang, biarpun ilmu meringankan tubuhnya hebat, namun terasa sulit untuk mengejar kawanan kuda itu, masih untung berada ditengah malam yang hening sehingga dia dapat mengejar dengan mengikuti arah suara. Sepertanak nasi kemudian, selisih jarak mereka bertambah jauh, kini yang terdengar hanya suara derap kuda yang sayup sayup dibawa angin. Dasar Tian Mong-pek memang keras kepala, tentu saja dia tak mau balik ditengah jalan. Tenaga dalamnya saat ini amat sempurna, biar berlarian sepuluh li lagipun bukan masalah baginya. Siapa tahu pada saat itulah suara derap kaki kuda yang berada didepan sana tiba tiba berhenti, suasana jadi sangat hening. Tian Mong-pek tidak parah semangat, sambil menghimpun tenaga ia meluncur terus ke depan. Lebih kurang seratusan kaki kemudian, terlihat cahaya riak menggulung didepan mata, ternyata dia sudah tiba di tepi telaga Tong-ting. Dibawah pohon ditepi telaga, terlihat puluhan ekor kuda bergelimpangan ditanah, mulut mereka berbuih putih, tampaknya kuda kuda itu dipacu terus hingga kelelahan dan kini tinggal menunggu ajalnya. Ketika menengok lagi ketengah telaga, terlihat ada tiga buah perahu besar sedang berlayar ke tengah telaga, kini jaraknya sudah berada puluhan kaki dari tepi pantai, sedang arah mereka adalah bukit Kun-san. Tian Mong-pek tiba selangkah lebih lambat, bukan saja gagal melihat tampang puluhan orang penunggang kuda itu, diapun gagal melihat manusia mana saja yang ada diatas perahu. Tapi dia yakin antara puluhan orang penunggang kuda itu dengan perahu besar pasti punya hubungan yang erat dengan So Kin-soat yang berada diatas bukit Kun-san. Untuk sesaat dia merasa amat sedih dan masgul. Jauh memandang bukit Kun-san, yang tampak hawa kabut dan awan yang tebal, berada disudut manakah So Kin—soat saat ini? Dimanakah letak jalan masuk menuju ke perbukitan itu? Tian Mong-pek sedikitpun tak paham. Apalagi dia tahu bahwa sepanjang jalan menuju ke sana telah disiapkan begitu banyak perangkap dan jebakan, kemungkinan besar sebagian besar perangkap itu dipersiapkan untuk menghadapi dirinya. Bila Tian Mong-pek menerjang masuk secara sembarangan, mungkin sebelum bertemu So Kin-soat, dia sudah mati duluan. Kalau sampai begini, bukankah dia bakal menyesal sepanjang masa? Saat itu fajar sudah mulai menyingsing di ufuk timur, kabut tipis menyelimuti permukaan telaga Tong-ting. Sejauh mata memandang, terlihat telaga Tong-ting yang luasnya mencapai delapan ratus li itu terasa begitu luas, hembusan angin pagi yang menerpa riak, terlihat persis seperti percikan hujan dari tengah angkasa. Tian Mong-pek berdiri termangu disisi telaga, mengawasi pemandangan alam yang begitu indah, dia tak tahu harus merasa murung atau girang. sampai lama, lama kemudian, ia merasa bajunya mulai basah oleh embun pagi, namun perasaan sedih justru mengalir keluar dari lubuk hatinya. Akhirnya setelah menghela napas panjang, dia berlutut diatas tanah dan bergumam: “Suhu, walaupun tecu tak dapat mengubur jenasah kau orang tua, namun disaat iblis bengsi berhasil ditumpas, aku pasti akan menyambangi kuburanmu. Aku tahu, kau orang tua penuh welas asih, tentunya tak akan menyalahkan tecu bukan. Biarlah layonmu untuk sementara diurusi Ui Hau II sekalian..... sambil bergumam, air mata jatuh bercucuran. Sesudah tundukkan kepala termenung berapa saat, kembali bisiknya: “Ayah, dendam kau orang tua adalah dendam seluruh umat persilatan di dunia ini, ananda tak pernah sehari pun melupakannya, demi kau orang tua, demi seluruh umat persilatan dikolong langit, ananda bersumpah akan membongkar rahasia iblis jahat itu, harap kau orang tua tak usah kuatir.” Doa itu diucapkan dengan tekad yang bulat, jelas pemuda ini telah mengubah dendam pribadi menjadi dendam masyarakat, mengubah amarah jadi kekuatan. Lewat berapa saat kemudian, terdengar dia kembali berkata: “Nona Tong, budi kebaikanmu tak pernah kulupakan..... Chin locianpwee, urusanmu telah kuserahkan kepada orang yang dapat dipercaya, sampai detik terakhir, perguruan panji kain putih tak pernah terjatuh ke tangan kaum laknat.... tapi..... tapi Kiong locianpwee, aku merasa amat bersalah II kepada kau orang tua, karena aku gagal menjaga Ling-ling . . . . . . .. Tanpa terasa dia membayangkan kelucuan Kiong Ling-ling, kemudian membayangkan pula nasib Kiong Ling-ling yang mengenaskan . . . . .. Tian Mong-pek merasa bajunya telah basah, entah basah karena embun pagi ataukah karena air mata. Kabut tipis diatas permukaan telaga semakin tebal, secerca cahaya terang mulai muncul diufuk timur, tiba tiba diantara sayupnya angin pagi, terdengar suara seorang wanita sedang menangis. suara tangisannya memilukan hati, ditengah remang-remangnya sinar pagi, suara itu terdengar lebih menusuk perasaan. Tapi saat itu masih menjelang fajar, ditepi telaga yang begini terpencil, kenapa bisa muncul suara tangisan gadis muda? Jangan jangan dia adalah gadis lemah yang baru saja dirogol orang? Mungkinkah gadis berhati lembut sedang memprotes ketidak adilan kehidupan di dunia ini? Jiwa kependekaran Tian Mong-pek seketika tumbuh, dia seolah sudah melupakan kepedihan sendiri, dengan langkah cepat ditelusurilah arah dimana berasalnya isak tangis tadi. Makin berjalan, dia semakin mendekati perbukitan Kun-san, meski alur tanah sudah mulai mendatar, namun disana sini masih terlihat gundukan kecil, seperti taburan bintang yang mengelilingi rembulan. Dibelakang sebuah gundukan bukit kecil, terlihat asap tipis mengepul ke angkasa dan tersebar ke empat penjuru. Tian Mong-pek tak berani bertindak gegabah, dia bertiarap diatas gundukan tanah itu sambil melongok ke bawah. Terlihat dua orang gadis berbaju kabung sedang berlutut ditepi telaga, didepan mereka terdapat sebuah hiolo kecil yang me mbakar dupa wangi. Isak tangis itu ternyata berasal dari dua orang gadis ini, asap yang tipis, bau harum yang lembut menciptakan satu gambaran indah yang misterius. Tian Mong-pek tertegun, pikirnya sambil menghela napas: “Tak disangka, didunia ini masih terdapat orang yang sedang bersedih hati seperti aku, sepagi ini sudah bersembahyang ditepi telaga. Kalau dilihat kepedihan mereka, sudah pasti yang dikenang adalah orang yang paling dikasihi . . . . .. aaai, bisa membuat orang lain begitu sedih, sudah pasti dia adalah orang yang luar biasa . . . . . .. bisa ditangisi gadis semacam ini, biarpun orang itu sudah mati, terhitung dia cukup punya rejeki.” Meskipun wataknya keras dan angkuh, pemuda ini termasuk orang yang melankonis, melihat orang lain sedih, hati pun ikut merasa pedih. Dua orang itu memiliki bahu yang putih, pinggang yang ramping dan memiliki rambut hitam yang panjang, terurai di belakang bahu. Orang yang disebelah kiri, bertubuh lebih kurus dan lemah, isak tangisnya yang paling memedihkan hati, terdengar ia berbisik dengan nada gemetar: II “Tian Mong-pek, paman Tian, semoga arwahmu beristirahat tenang . . . . . . .. Tian Mong-pek merasa amat terperanjat, nyaris dia terguling dari atas gundukan tanah, mimpi pun dia tak menyangka kalau dialah yang sedang dikenang dua orang gadis itu. Terdengar gadis itu berkata lagi dengan gemetar: “Sepanjang hidup, kami tak akan bisa melupakan dirimu, kau telah mati..... hidupku pun jadi tak menarik, aku . . . . .. kalau bisa aku ingin sekali menemanimu mati, tapi aku . . . . .. aku justru tak boleh mati..... tak boleh mati . . . . . ..’ sambil membelai permukaan tanah, dia menangis makin sedih. Dari sini terlihat sekali luapan rasa cinta kasihnya yang begitu murni, begitu sejati. Menyaksikan kesemuanya itu, Tian Mong-pek merasa hatinya makin kecut, kalau bisa dia ingin benar benar mati, agar bisa ditukar dengan air mata dari cinta sejati . . . . . . .. Tapi dia masih hidup segar bugar didunia ini, isak tangis itu, ucapan itu, dia merasa amat dikenal, amat dekat dihatinya, seolah berasal dari seseorang yang baru saja dikenang. Mendadak satu ingatan melintas, tak tahan lagi teriaknya keras: “Ling-ling, kau kah?” Terlihat kedua orang gadis itu membalikkan tubuh dengan badan gemetar, wajah mereka masih dibasahi air mata, mata pun masih merah bengkak karena banyak menangis. Ternyata orang yang disebelah kiri adalah Kiong Ling-ling yang sudah banyak tahun tak ada kabarnya, sementara gadis yang ada disebelah kanan adalah Siau-lan, si gadis kebun yang jatuh cinta kepada Tian Mong-pek waktu berada di kebun Ban-hoa-wan di lembah kaisar. Tian Mong-pek segera berlarian menuruni bukit kecil itu, sambil rentangkan lengannya, dia berseru: “Ling-ling, paman Tian belum mati . . . . . ..” Perasaan hatinya sangat tergoncang, kalau bisa, dia ingin merangkul tubuh Kiong Ling-ling dan memeluknya erat. Siapa tahu Kiong Ling-ling dan Siau-lan mundur satu langkah, dengan mata melotot seru Siau-lan: “Kau.... kau belum mati?” Tiba tiba ia menutup wajahnya dengan kedua belah tangan, lalu kabur dari situ. Tian Mong-pek jadi tertegun, tanyanya bingung: “Ke.... kenapa jadi begini?” sambil menyeka air mata, sahut Kiong Ling-ling sambil tertawa paksa: “Mungkin dia..... dia menjadi malu, maka..... maka langsung kabur.” Tiba tiba saja nada suaranya berubah jadi sangat tenang, seakan isak tangis tadi bukan berasal dari dia. Perlu diketahui, walaupun perawakan tubuhnya kurus dan lemah, namun wataknya amat keras, sama seperti Tian Mong-pek, sampai matipun tak mau mengaku kalah, kalau tidak, mana mungkin dia lebih suka ditusuk yaya nya dengan pedang daripada berbicara, lebih suka hidup menggelandang daripada mendapat perlindungan dalam lembah Kaisar. Bila Tian Mong-pek mati, dia rela menemani pemuda itu untuk pergi mati, tapi setelah tahu kalau Tian Mong-pek masih hidup, dia tak ingin pemuda itu mengetahui kalau dia sangat mencintainya. Ini dikarenakan ia sudah tumbuh dewasa, sudah menjadi gadis remaja, gadis dengan pemikirannya, gadis dengan perasaan cintanya, karena dia tahu yang sangat dicintai Tian Mong-pek adalah orang lain, bukan dirinya. Penjelasannya bagi Siau-lan, sesungguhnya merupakan suara hatinya pula, sudah barang tentu Tian Mong-pek tak dapat memahami perasaan halus gadis gadis muda itu. Untuk sesaat Tian Mong-pek jadi tertegun, dia tak habis mengerti kenapa gadis gadis itu, yang satu langsung kabur, yang lain langsung bersikap dingin, seolah yang mereka tangisi tadi bukan dirinya, seperti juga mereka merasa tak senang karena melihat dirinya belum mati. Pikirnya sambil tertawa getir: II “Mungkin mereka sangat berharap aku benar benar sudah mati.... Berpikir begitu, tanpa sadar katanya: “Aaai, mungkin aku memang jauh lebih baik mati beneran daripada hidup.” Kiong Ling-ling merasa kecut hatinya. “Paman Tian,” pikirnya, “benarkah kau tak tahu bagaimana perasaan Ling-ling kepadamu? Aaai, kau telah memiliki tambatan hati, mungkin lebih baik selamanya kau tak usah tahu.” Setelah tertawa hambar, dengan kepala tertunduk tanyanya: “Apakah bibi Siau baik baik saja?” Seandainya Tian Mong-pek mengetahui perasaan hatinya, seharusnya diapun dapat menangkap nada sedih dibalik pertanyaan itu, namun dikarenakan ia enggan menunjukkan perasaan hatinya yang sejati, terpaksa Tian Mong-pek hanya menjawab: “Baik.” Walaupun dia merasa Kiong Ling-ling semakin tumbuh besar, diapun dapat merasakan sikap terhadap dirinya yang semakin dingin dan hambar, melihat raut mukanya yang makin cantik, sudah jauh dari wajah kurus seorang bocah cilik dimasa lalu, pemuda ini ikut merasa gembira, kata nya lagi sambil tertawa: “Ling-ling, beritahu paman, kenapa kau bisa sampai disini?” “Tak lama setelah aku dan enci siau—lan kabur dari lembah kaisar, belum lama hidup bergelandangan, kami telah bertemu dengan seseorang yang berhati sangat baik.” Dia sama sekali tidak mengungkit bagaimana dia bersama Siau-lan hidup menderita karena kedinginan dan kelaparan, diapun tidak menyinggung seandainya Siau-lan tidak memiliki ilmu silat, mereka berdua telah diperkosa orang. Ini dikarenakan dia tak ingin Tian Mong-pek merasa sedih karena dia, merasa bersalah karena dia. Hanya jawabnya hambar: “Melihat kami berdua sangat mengenaskan, nyonya yang baik hati itupun membawa kami pulang kemari.” “Disini? Di bukit Kun-san?” tergerak hati Tian Mong-pek. “Betul, dia mengajak kami naik ke Kun-san dan tinggal di sebuah perkampungan . . . . . . .. “Apakah nvonva yang baik hati itu adalah So Kin-soat?” tanya Tian
Bendera Maut - Kwee Oen Keng Tongkat Setan - Seng Kie-Su Dewa Linglung - 29. Begal dari Gunung Kidul Fear Street - Terror di Akhir Pekan Pendekar Mabuk - 90. Kematian Sang Durjana
“Sepanjang hidup Yo Swan banyak melakukan kejahatan, tapi ia dapat berkenalan dengan seorang sahabat macam Tian Mong-pek, boleh dibilang hal ini merupakan satu keberuntungan baginya.” Setelah memberi hormat tiga kali didepan gundukan tanah liat, dengan sedih Tian Mong-pek baru melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan mereka sama sekali tak berhenti, tak sampai dua hari, pemandangan alam sebelah utara telaga Tong-ting telah muncul didepan mata. Sejauh mata memandang, terlihat bayangan bukit bersembunyi dibalik awan tebal. Mereka bertiga pun mencari menginap dan menangsal perut. Saat itulah tiba tiba Siau Ong-sun berkata sambil menghela napas: “Dalam hati kecilku selalu terganjal satu masalah yang sangat mencurigakan, kalau tidak diselidiki, rasanya tak lega hatiku.” “Apakah dikarenakan urusan Lan . . . . . ..” tanya Tu Hun-thian sambil tersenyum. “Benar,” sahut Siau Ong-sun sambil menghela napas, “tapi untuk menyelidiki urusan ini, tenagaku seorang masih terlalu minum, apakah saudara Tu bersedia membantuku?” “sudah seharusnya begitu . . . . .. aai, Lan Thian-jui adalah seorang pendekar besar, kalau sampai dia benar benar melakukan perbuatan yang bodoh, hal ini patut disesali.” Setelah berhenti sejenak, kembali lanjutnya: “Ketika hari itu orang berbaju hitam itu mengatakan kalau segala sesuatu ini merupakan perencanaan yang dilakukan Lan Thian-jui, aku pun pernah menaruh rasa marah dan benci kepada Lan Toa-sianseng ini, tapi sekarang kita sudah tahu kalau orang berbaju hitam itu adalah Tong Ti, tentu keadaan jadi berbeda, sebab apa yang dibeberkan Tong Ti bisa jadi merupakan siasat membolak balikkan fakta.” Walaupun perkataan ini seolah menjelaskan kepada Siau Ong-sun, padahal yang benar dia sedang menerangkan kepada Tian Mong-pek. Anak muda itu segera menghela napas panjang, katanya: “Walaupun ananda merasa bahwa semua pertanda tampaknya mengarah pada Lan Toa-sianseng, padahal siapa yang tidak berharap kalau segala sesuatunya ini hanya salah paham . . . . . .. Namun begitu teringat kalau ada berapa kejadian dilengkapi dengan bukti dan tak mungkin merupakan satu kesalah pahaman, kembali anak muda itu menghela napas. Sejujurnya hingga kini dia masih menaruh perasaan kagum atas kegagahan Lan Toa-sianseng, dia tak tega menyaksikan nama besar pendekar ini bakal hilang dengan begitu saja. Bagaimana mungkin Siau Ong-sun tidak mengetahui suara hatinya, setelah menghela napas katanya: “Persahabatanku dengan Lan Thian-jui sudah berlangsung hampir lima puluh tahun lamanya, bagaimana pun, aku pun berharap semuanya itu salah.” “Benar.” Sahut Tian Mong-pek dengan kepala tertunduk. “Kini lukamu telah sembuh, kemampuanmu sudah mampu untuk mendobrak telaga naga sarang harimau, besok kau bisa naik gunung seorang diri, bertindaklah sesuai keadaan . . . . . ..” Sesudah memandang Tu Hun—thian sekejap, lanjutnya: “Sekarang juga kita berdua harus berangkat.” Setelah kepergian kedua orang tua itu, Tian Mong-pek mulai putar otak memikirkan masalah itu, hampir semalaman dia tak mampu tidur nyenyak. Menjelang tengah malam, tiba tiba terdengar suara derap kaki kuda bergerak lewat dari luar jendela. Derap kaki kuda itu sangat ramai, sudah jelas bukan hanya terdiri dari satu ekor. Karena susah tidur, timbul rasa ingin tahu dihati kecil Tian Mong-pek, dia berniat mencari tahu apa yang terjadi, apalagi tak jauh dari sana terletak bukit Kun-san, siapa tahu para penunggang kuda itu ada hubungannya dengan panah kekasih. Berpikir begitu, dengan cepat dia betulkan pakaian, menyoren pedang hitamnya lalu melompat keluar, dalam berapa lompatan kemudian ia sudah melihat gulungan debu kuda didepan sana. Tian Mong-pek segera mengintil dari belakang, biarpun ilmu meringankan tubuhnya hebat, namun terasa sulit untuk mengejar kawanan kuda itu, masih untung berada ditengah malam yang hening sehingga dia dapat mengejar dengan mengikuti arah suara. Sepertanak nasi kemudian, selisih jarak mereka bertambah jauh, kini yang terdengar hanya suara derap kuda yang sayup sayup dibawa angin. Dasar Tian Mong-pek memang keras kepala, tentu saja dia tak mau balik ditengah jalan. Tenaga dalamnya saat ini amat sempurna, biar berlarian sepuluh li lagipun bukan masalah baginya. Siapa tahu pada saat itulah suara derap kaki kuda yang berada didepan sana tiba tiba berhenti, suasana jadi sangat hening. Tian Mong-pek tidak parah semangat, sambil menghimpun tenaga ia meluncur terus ke depan. Lebih kurang seratusan kaki kemudian, terlihat cahaya riak menggulung didepan mata, ternyata dia sudah tiba di tepi telaga Tong-ting. Dibawah pohon ditepi telaga, terlihat puluhan ekor kuda bergelimpangan ditanah, mulut mereka berbuih putih, tampaknya kuda kuda itu dipacu terus hingga kelelahan dan kini tinggal menunggu ajalnya. Ketika menengok lagi ketengah telaga, terlihat ada tiga buah perahu besar sedang berlayar ke tengah telaga, kini jaraknya sudah berada puluhan kaki dari tepi pantai, sedang arah mereka adalah bukit Kun-san. Tian Mong-pek tiba selangkah lebih lambat, bukan saja gagal melihat tampang puluhan orang penunggang kuda itu, diapun gagal melihat manusia mana saja yang ada diatas perahu. Tapi dia yakin antara puluhan orang penunggang kuda itu dengan perahu besar pasti punya hubungan yang erat dengan So Kin-soat yang berada diatas bukit Kun-san. Untuk sesaat dia merasa amat sedih dan masgul. Jauh memandang bukit Kun-san, yang tampak hawa kabut dan awan yang tebal, berada disudut manakah So Kin—soat saat ini? Dimanakah letak jalan masuk menuju ke perbukitan itu? Tian Mong-pek sedikitpun tak paham. Apalagi dia tahu bahwa sepanjang jalan menuju ke sana telah disiapkan begitu banyak perangkap dan jebakan, kemungkinan besar sebagian besar perangkap itu dipersiapkan untuk menghadapi dirinya. Bila Tian Mong-pek menerjang masuk secara sembarangan, mungkin sebelum bertemu So Kin-soat, dia sudah mati duluan. Kalau sampai begini, bukankah dia bakal menyesal sepanjang masa? Saat itu fajar sudah mulai menyingsing di ufuk timur, kabut tipis menyelimuti permukaan telaga Tong-ting. Sejauh mata memandang, terlihat telaga Tong-ting yang luasnya mencapai delapan ratus li itu terasa begitu luas, hembusan angin pagi yang menerpa riak, terlihat persis seperti percikan hujan dari tengah angkasa. Tian Mong-pek berdiri termangu disisi telaga, mengawasi pemandangan alam yang begitu indah, dia tak tahu harus merasa murung atau girang. sampai lama, lama kemudian, ia merasa bajunya mulai basah oleh embun pagi, namun perasaan sedih justru mengalir keluar dari lubuk hatinya. Akhirnya setelah menghela napas panjang, dia berlutut diatas tanah dan bergumam: “Suhu, walaupun tecu tak dapat mengubur jenasah kau orang tua, namun disaat iblis bengsi berhasil ditumpas, aku pasti akan menyambangi kuburanmu. Aku tahu, kau orang tua penuh welas asih, tentunya tak akan menyalahkan tecu bukan. Biarlah layonmu untuk sementara diurusi Ui Hau II sekalian..... sambil bergumam, air mata jatuh bercucuran. Sesudah tundukkan kepala termenung berapa saat, kembali bisiknya: “Ayah, dendam kau orang tua adalah dendam seluruh umat persilatan di dunia ini, ananda tak pernah sehari pun melupakannya, demi kau orang tua, demi seluruh umat persilatan dikolong langit, ananda bersumpah akan membongkar rahasia iblis jahat itu, harap kau orang tua tak usah kuatir.” Doa itu diucapkan dengan tekad yang bulat, jelas pemuda ini telah mengubah dendam pribadi menjadi dendam masyarakat, mengubah amarah jadi kekuatan. Lewat berapa saat kemudian, terdengar dia kembali berkata: “Nona Tong, budi kebaikanmu tak pernah kulupakan..... Chin locianpwee, urusanmu telah kuserahkan kepada orang yang dapat dipercaya, sampai detik terakhir, perguruan panji kain putih tak pernah terjatuh ke tangan kaum laknat.... tapi..... tapi Kiong locianpwee, aku merasa amat bersalah II kepada kau orang tua, karena aku gagal menjaga Ling-ling . . . . . . .. Tanpa terasa dia membayangkan kelucuan Kiong Ling-ling, kemudian membayangkan pula nasib Kiong Ling-ling yang mengenaskan . . . . .. Tian Mong-pek merasa bajunya telah basah, entah basah karena embun pagi ataukah karena air mata. Kabut tipis diatas permukaan telaga semakin tebal, secerca cahaya terang mulai muncul diufuk timur, tiba tiba diantara sayupnya angin pagi, terdengar suara seorang wanita sedang menangis. suara tangisannya memilukan hati, ditengah remang-remangnya sinar pagi, suara itu terdengar lebih menusuk perasaan. Tapi saat itu masih menjelang fajar, ditepi telaga yang begini terpencil, kenapa bisa muncul suara tangisan gadis muda? Jangan jangan dia adalah gadis lemah yang baru saja dirogol orang? Mungkinkah gadis berhati lembut sedang memprotes ketidak adilan kehidupan di dunia ini? Jiwa kependekaran Tian Mong-pek seketika tumbuh, dia seolah sudah melupakan kepedihan sendiri, dengan langkah cepat ditelusurilah arah dimana berasalnya isak tangis tadi. Makin berjalan, dia semakin mendekati perbukitan Kun-san, meski alur tanah sudah mulai mendatar, namun disana sini masih terlihat gundukan kecil, seperti taburan bintang yang mengelilingi rembulan. Dibelakang sebuah gundukan bukit kecil, terlihat asap tipis mengepul ke angkasa dan tersebar ke empat penjuru. Tian Mong-pek tak berani bertindak gegabah, dia bertiarap diatas gundukan tanah itu sambil melongok ke bawah. Terlihat dua orang gadis berbaju kabung sedang berlutut ditepi telaga, didepan mereka terdapat sebuah hiolo kecil yang me mbakar dupa wangi. Isak tangis itu ternyata berasal dari dua orang gadis ini, asap yang tipis, bau harum yang lembut menciptakan satu gambaran indah yang misterius. Tian Mong-pek tertegun, pikirnya sambil menghela napas: “Tak disangka, didunia ini masih terdapat orang yang sedang bersedih hati seperti aku, sepagi ini sudah bersembahyang ditepi telaga. Kalau dilihat kepedihan mereka, sudah pasti yang dikenang adalah orang yang paling dikasihi . . . . .. aaai, bisa membuat orang lain begitu sedih, sudah pasti dia adalah orang yang luar biasa . . . . . .. bisa ditangisi gadis semacam ini, biarpun orang itu sudah mati, terhitung dia cukup punya rejeki.” Meskipun wataknya keras dan angkuh, pemuda ini termasuk orang yang melankonis, melihat orang lain sedih, hati pun ikut merasa pedih. Dua orang itu memiliki bahu yang putih, pinggang yang ramping dan memiliki rambut hitam yang panjang, terurai di belakang bahu. Orang yang disebelah kiri, bertubuh lebih kurus dan lemah, isak tangisnya yang paling memedihkan hati, terdengar ia berbisik dengan nada gemetar: II “Tian Mong-pek, paman Tian, semoga arwahmu beristirahat tenang . . . . . . .. Tian Mong-pek merasa amat terperanjat, nyaris dia terguling dari atas gundukan tanah, mimpi pun dia tak menyangka kalau dialah yang sedang dikenang dua orang gadis itu. Terdengar gadis itu berkata lagi dengan gemetar: “Sepanjang hidup, kami tak akan bisa melupakan dirimu, kau telah mati..... hidupku pun jadi tak menarik, aku . . . . .. kalau bisa aku ingin sekali menemanimu mati, tapi aku . . . . .. aku justru tak boleh mati..... tak boleh mati . . . . . ..’ sambil membelai permukaan tanah, dia menangis makin sedih. Dari sini terlihat sekali luapan rasa cinta kasihnya yang begitu murni, begitu sejati. Menyaksikan kesemuanya itu, Tian Mong-pek merasa hatinya makin kecut, kalau bisa dia ingin benar benar mati, agar bisa ditukar dengan air mata dari cinta sejati . . . . . . .. Tapi dia masih hidup segar bugar didunia ini, isak tangis itu, ucapan itu, dia merasa amat dikenal, amat dekat dihatinya, seolah berasal dari seseorang yang baru saja dikenang. Mendadak satu ingatan melintas, tak tahan lagi teriaknya keras: “Ling-ling, kau kah?” Terlihat kedua orang gadis itu membalikkan tubuh dengan badan gemetar, wajah mereka masih dibasahi air mata, mata pun masih merah bengkak karena banyak menangis. Ternyata orang yang disebelah kiri adalah Kiong Ling-ling yang sudah banyak tahun tak ada kabarnya, sementara gadis yang ada disebelah kanan adalah Siau-lan, si gadis kebun yang jatuh cinta kepada Tian Mong-pek waktu berada di kebun Ban-hoa-wan di lembah kaisar. Tian Mong-pek segera berlarian menuruni bukit kecil itu, sambil rentangkan lengannya, dia berseru: “Ling-ling, paman Tian belum mati . . . . . ..” Perasaan hatinya sangat tergoncang, kalau bisa, dia ingin merangkul tubuh Kiong Ling-ling dan memeluknya erat. Siapa tahu Kiong Ling-ling dan Siau-lan mundur satu langkah, dengan mata melotot seru Siau-lan: “Kau.... kau belum mati?” Tiba tiba ia menutup wajahnya dengan kedua belah tangan, lalu kabur dari situ. Tian Mong-pek jadi tertegun, tanyanya bingung: “Ke.... kenapa jadi begini?” sambil menyeka air mata, sahut Kiong Ling-ling sambil tertawa paksa: “Mungkin dia..... dia menjadi malu, maka..... maka langsung kabur.” Tiba tiba saja nada suaranya berubah jadi sangat tenang, seakan isak tangis tadi bukan berasal dari dia. Perlu diketahui, walaupun perawakan tubuhnya kurus dan lemah, namun wataknya amat keras, sama seperti Tian Mong-pek, sampai matipun tak mau mengaku kalah, kalau tidak, mana mungkin dia lebih suka ditusuk yaya nya dengan pedang daripada berbicara, lebih suka hidup menggelandang daripada mendapat perlindungan dalam lembah Kaisar. Bila Tian Mong-pek mati, dia rela menemani pemuda itu untuk pergi mati, tapi setelah tahu kalau Tian Mong-pek masih hidup, dia tak ingin pemuda itu mengetahui kalau dia sangat mencintainya. Ini dikarenakan ia sudah tumbuh dewasa, sudah menjadi gadis remaja, gadis dengan pemikirannya, gadis dengan perasaan cintanya, karena dia tahu yang sangat dicintai Tian Mong-pek adalah orang lain, bukan dirinya. Penjelasannya bagi Siau-lan, sesungguhnya merupakan suara hatinya pula, sudah barang tentu Tian Mong-pek tak dapat memahami perasaan halus gadis gadis muda itu. Untuk sesaat Tian Mong-pek jadi tertegun, dia tak habis mengerti kenapa gadis gadis itu, yang satu langsung kabur, yang lain langsung bersikap dingin, seolah yang mereka tangisi tadi bukan dirinya, seperti juga mereka merasa tak senang karena melihat dirinya belum mati. Pikirnya sambil tertawa getir: II “Mungkin mereka sangat berharap aku benar benar sudah mati.... Berpikir begitu, tanpa sadar katanya: “Aaai, mungkin aku memang jauh lebih baik mati beneran daripada hidup.” Kiong Ling-ling merasa kecut hatinya. “Paman Tian,” pikirnya, “benarkah kau tak tahu bagaimana perasaan Ling-ling kepadamu? Aaai, kau telah memiliki tambatan hati, mungkin lebih baik selamanya kau tak usah tahu.” Setelah tertawa hambar, dengan kepala tertunduk tanyanya: “Apakah bibi Siau baik baik saja?” Seandainya Tian Mong-pek mengetahui perasaan hatinya, seharusnya diapun dapat menangkap nada sedih dibalik pertanyaan itu, namun dikarenakan ia enggan menunjukkan perasaan hatinya yang sejati, terpaksa Tian Mong-pek hanya menjawab: “Baik.” Walaupun dia merasa Kiong Ling-ling semakin tumbuh besar, diapun dapat merasakan sikap terhadap dirinya yang semakin dingin dan hambar, melihat raut mukanya yang makin cantik, sudah jauh dari wajah kurus seorang bocah cilik dimasa lalu, pemuda ini ikut merasa gembira, kata nya lagi sambil tertawa: “Ling-ling, beritahu paman, kenapa kau bisa sampai disini?” “Tak lama setelah aku dan enci siau—lan kabur dari lembah kaisar, belum lama hidup bergelandangan, kami telah bertemu dengan seseorang yang berhati sangat baik.” Dia sama sekali tidak mengungkit bagaimana dia bersama Siau-lan hidup menderita karena kedinginan dan kelaparan, diapun tidak menyinggung seandainya Siau-lan tidak memiliki ilmu silat, mereka berdua telah diperkosa orang. Ini dikarenakan dia tak ingin Tian Mong-pek merasa sedih karena dia, merasa bersalah karena dia. Hanya jawabnya hambar: “Melihat kami berdua sangat mengenaskan, nyonya yang baik hati itupun membawa kami pulang kemari.” “Disini? Di bukit Kun-san?” tergerak hati Tian Mong-pek. “Betul, dia mengajak kami naik ke Kun-san dan tinggal di sebuah perkampungan . . . . . . .. “Apakah nvonva yang baik hati itu adalah So Kin-soat?” tanya Tian